Jakarta (ANTARA) - Hanya butuh waktu 50 menit naik subway dari Tokyo ke Museum Ramen di Shin-Yokohama, Jepang untuk merasakan pengalaman makan ramen dengan nuansa masa lampau.

Begitu menuruni tangga di dalam museum, rasanya seperti melakukan teleportasi ke masa lalu. Isi museum ini memang merupakan replika suasana jalanan di kota tua Shitamachi, Jepang pada tahun 1958, tahun saat ramen instan pertama di dunia ditemukan.

Baca juga: Beasiswa Ajinomoto ke Jepang kembali dibuka

Dua lantai di museum yang berdiri pada 6 Maret 1994, taman hiburan bertema makanan pertama dunia, itu disulap seperti jalanan yang dipenuhi kedai-kedai ramen yang bervariasi. Tentu saja kedainya dibuat seperti terletak dalam gedung yang sudah tua, tapi cara pemesanannya modern, menggunakan mesin yang terletak di luar kedai. Poster-poster jadul Jepang menghiasi bagian atas dari replika gedung-gedung lawas Negeri Sakura.

Setiap kedai menawarkan menu yang berbeda, bisa diintip sebelumnya di laman resmi yang membeberkan bahan-bahan serta jenis mie dan kuah yang dipakai. Anda bisa mengecek di laman resmi, mie jenis apa yang disajikan kedai-kedai di museum, apakah itu mie yang teksturnya tipis, tebal, keriting atau mie hirauchi.

Jenis kuah dan pugasan yang disajikan dalam mangkuk ramen juga dijelaskan dalam laman resmi. Tersedia menu vegetarian dan menu yang tidak memakai daging babi, sebuah bahan yang lazim ada di ramen.

Baca juga: Tempat nikmati keindahan bunga sakura, dari Jepang hingga Indonesia
Museum Ramen di Shin-Yokohama, Jepang, Oktober 2019 (ANTARA/Nanien Yuniar)


Baca juga: Terbang naik pesawat berhias Pokemon di Jepang

Baca juga: Bandara Haneda di Tokyo yang biasa ramai kini lengang

Baca juga: Jepang kembangkan sistem pelacak untuk pelancong dari luar negeri

Museum Ramen di Shin-Yokohama, Jepang, Oktober 2019 (ANTARA/Nanien Yuniar)


Pada akhir pekan sebelum pandemi, suasana di dalam museum ramen terlihat sangat ramai. Orang-orang mengantre untuk masuk ke barisan menuju kedai ramen incaran mereka. Sambil mengantre, Anda bisa mengamati cara memesan di mesin otomatis. Untungnya ada pilihan bahasa Inggris, sehingga Anda tetap bisa memilih ramen yang diinginkan meski tak mengerti bahasa Jepang.

Baca juga: Jepang habiskan 3,7 miliar dolar AS untuk dukung kampanye perjalanan

Tak cuma memilih menu, pengunjung museum bisa memilih porsi yang diinginkan, yakni porsi kecil dan porsi reguler. Bila ingin mampir ke lebih dari satu kedai ramen, lebih baik pesan porsi kecil agar tidak kekenyangan sebelum beranjak ke tempat kedua.

Setelah memuaskan perut keroncongan di kedai-kedai ramen, sempatkan diri untuk mengabadikan foto di lantai selanjutnya. Banyak sudut menarik yang disulap seperti gang-gang sempit yang muncul di film puluhan tahun lalu. Detail-detailnya menakjubkan. Anda bahkan bisa menemukan tirai pintu masuk menuju rumah pemandian umum, yang ternyata merupakan akses menuju tangga.

Baca juga: Adaptasi kebiasaan baru, di Jepang tak boleh ciuman di bar
Museum Ramen di Shin-Yokohama, Jepang, Oktober 2019 (ANTARA/Nanien Yuniar)


Di sebuah pojok, Anda akan menemukan warung lawas ala Jepang yang menjual permen-permen zaman dulu, juga mainan-mainan yang dulu diperebutkan oleh anak-anak sepulang sekolah.

Dagashi-ya, begitu warung permen jadul ini disebut, mengingatkan kita pada apa yang dulu juga terjadi di Indonesia, dimana anak-anak jajan bareng di warung, mencari permen atau camilan untuk dinikmati bersama-sama. Anda juga bisa menikmati minuman ringan dan minuman alkohol di kafe bernama Kateko, juga es krim populer dari Hokkaido.

Ilusi masa lalu segera menghilang ketika Anda keluar dari area kedai ramen, tetapi Anda masih bisa mencerna berbagai informasi seputar ramen yang terpampang secara rapi di bagian galeri. Pengunjung bisa membaca sejarah ramen di Jepang, aneka mangkok ramen, juga melihat dinding yang penuh dengan aneka kemasan ramen serta bacaan dan komik yang mengangkat tema ramen.


Baca juga: Penumpang kereta di Tokyo bisa pantau kondisi gerbong lewat aplikasi

Baca juga: Kenapa banyak garis merah dan kuning di fasilitas publik Jepang?

Baca juga: Pilih tur ke Jepang atau Eropa?