Serikat Petani sebut komitmen kedaulatan pangan 2022 harus diperkuat
5 Januari 2022 19:05 WIB
Petani menyirami pohon kangkungnya di lahan pertanian kawasan Papanggo, Jakarta Utara, Selasa (30/11/2021). Di tengah pembangunan yang masif di perkotaan yang menyebabkan menyempitnya lahan pertanian, para petani di kawasan tersebut menggantungkan hidup dengan menyewa lahan tak terpakai untuk bercocok tanam kangkung, bayam, ubi, dan daun kemangi. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/aww.
Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI) Agus Ruli Ardiansyah mengatakan komitmen pemerintah dalam menjalankan kedaulatan pangan secara nasional harus diperkuat di tahun 2022, yang ke depanya akan berdampak pada kesejahteraan petani.
“Kita sudah mendapat momentum dengan putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonsitusional bersyarat. Artinya UU Pangan yang kemarin terdampak, harus kembali difungsikan kembali seperti semula dimana pengutamaan produksi dalam negeri harus menjadi pokok utama penyediaan pangan Indonesia, tidak tergantung impor," kata Agus Ruli dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Agus Ruli menekankan bahwa transisi menuju kedaulatan pangan juga menjadi kunci penting untuk mengatasi masalah-masalah petani seperti ketergantungan di tahap produksi yaitu terkait benih, pupuk, maupun pestisida dan distribusi seperti persoalan tengkulak dan korporasi.
“Dalam konteks pemenuhan sarana produksi, dengan beralih dari sistem pertanian yang bercorak revolusi hijau menjadi agroekologi, maka secara signifikan akan mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk subsidi, dan lebih berdampak positif bagi lingkungan serta berkelanjutan. SPI juga memandang pemerintah dapat mengalokasikan anggaran, yang sebelumnya untuk subsidi pupuk ke bentuk subsidi harga, untuk menjamin stabilitas dan kesejahteraan petani," katanya.
Baca juga: Demi petani dan kedaulatan pangan RI, Belarus pun dijajaki
Sementara untuk distribusi, menurut Agus Ruli, peran dari koperasi baik itu produsen maupun konsumen menjadi vital untuk mewujudkan mata rantai perdagangan yang adil ke depannya.
Dia juga menyebutkan masalah terkait akses terhadap pupuk bersubsidi dan mahalnya pupuk non-subsidi masih menjadi keluhan petani secara keseluruhan.
“Permasalahan akses terhadap pupuk bersubsidi menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dipecahkan oleh pemerintah. Desember lalu juga sudah ada catatan dari Ombudsman mengenai tata kelola yang bermasalah. Untuk data petani yang menerima bantuan, ini penting untuk segera dibenahi,” katanya.
Baca juga: DPD: Indonesia perlu miliki kemandirian dan kedaulatan pangan
Dia berharap pemerintah mengakomodir para petani yang belum terdata, khususnya petani yang terhimpun di luar kelompok tani maupun gabungan kelompok tani. Agus Ruli menjelaskan bahwa Undang-Undang (UU) Perlindungan dan Pemberdayaan Petani mengakui kelembagaan petani lainnya yang menghimpun petani seperti organisasi dan serikat-serikat petani.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa NTP nasional pada Desember 2021 sebesar 108,34 atau naik 1,08 persen dibandingkan bulan sebelumnya yakni 107,18. Kenaikan NTP nasional disebabkan Indeks Harga yang Diterima oleh Petani (lt) naik sebesar 1,72 persen lebih tinggi dibanding kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) sebesar 0,63 persen.
Kenaikan NTP nasional tersebut ditopang oleh subsektor-subsektor NTP yang menunjukkan tren positif pada Desember 2021 lalu. Kenaikan subsektor NTP yang paling signifikan terjadi di subsektor hortikultura (6,38 persen); perkebunan rakyat (0,91 persen); dan perikanan (0,76 persen), lalu diikuti subsektor tanaman pangan (0,40 persen).
Baca juga: Mentan sebut karantina pertanian jadi pertahanan kedaulatan pangan
Agus Ruli memaparkan bahwa kondisi NTP nasional di tahun 2021 masih belum memuaskan. Menurutnya, kenaikan NTP sepanjang tahun 2021 masih ditopang oleh NTP tanaman perkebunan rakyat, yang konsisten naik sejak Juli hingga Desember tahun 2021.
"Kita lihat bagaimana NTP tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan kerap kali terseok-seok dan berada di bawah standar impas. Upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani harus lebih komprehensif lagi ke depannya," katanya.
Baca juga: Peningkatan kesejahteraan petani-nelayan bangun kedaulatan pangan RI
“Kita sudah mendapat momentum dengan putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonsitusional bersyarat. Artinya UU Pangan yang kemarin terdampak, harus kembali difungsikan kembali seperti semula dimana pengutamaan produksi dalam negeri harus menjadi pokok utama penyediaan pangan Indonesia, tidak tergantung impor," kata Agus Ruli dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Agus Ruli menekankan bahwa transisi menuju kedaulatan pangan juga menjadi kunci penting untuk mengatasi masalah-masalah petani seperti ketergantungan di tahap produksi yaitu terkait benih, pupuk, maupun pestisida dan distribusi seperti persoalan tengkulak dan korporasi.
“Dalam konteks pemenuhan sarana produksi, dengan beralih dari sistem pertanian yang bercorak revolusi hijau menjadi agroekologi, maka secara signifikan akan mengurangi ketergantungan petani terhadap pupuk subsidi, dan lebih berdampak positif bagi lingkungan serta berkelanjutan. SPI juga memandang pemerintah dapat mengalokasikan anggaran, yang sebelumnya untuk subsidi pupuk ke bentuk subsidi harga, untuk menjamin stabilitas dan kesejahteraan petani," katanya.
Baca juga: Demi petani dan kedaulatan pangan RI, Belarus pun dijajaki
Sementara untuk distribusi, menurut Agus Ruli, peran dari koperasi baik itu produsen maupun konsumen menjadi vital untuk mewujudkan mata rantai perdagangan yang adil ke depannya.
Dia juga menyebutkan masalah terkait akses terhadap pupuk bersubsidi dan mahalnya pupuk non-subsidi masih menjadi keluhan petani secara keseluruhan.
“Permasalahan akses terhadap pupuk bersubsidi menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dipecahkan oleh pemerintah. Desember lalu juga sudah ada catatan dari Ombudsman mengenai tata kelola yang bermasalah. Untuk data petani yang menerima bantuan, ini penting untuk segera dibenahi,” katanya.
Baca juga: DPD: Indonesia perlu miliki kemandirian dan kedaulatan pangan
Dia berharap pemerintah mengakomodir para petani yang belum terdata, khususnya petani yang terhimpun di luar kelompok tani maupun gabungan kelompok tani. Agus Ruli menjelaskan bahwa Undang-Undang (UU) Perlindungan dan Pemberdayaan Petani mengakui kelembagaan petani lainnya yang menghimpun petani seperti organisasi dan serikat-serikat petani.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa NTP nasional pada Desember 2021 sebesar 108,34 atau naik 1,08 persen dibandingkan bulan sebelumnya yakni 107,18. Kenaikan NTP nasional disebabkan Indeks Harga yang Diterima oleh Petani (lt) naik sebesar 1,72 persen lebih tinggi dibanding kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (lb) sebesar 0,63 persen.
Kenaikan NTP nasional tersebut ditopang oleh subsektor-subsektor NTP yang menunjukkan tren positif pada Desember 2021 lalu. Kenaikan subsektor NTP yang paling signifikan terjadi di subsektor hortikultura (6,38 persen); perkebunan rakyat (0,91 persen); dan perikanan (0,76 persen), lalu diikuti subsektor tanaman pangan (0,40 persen).
Baca juga: Mentan sebut karantina pertanian jadi pertahanan kedaulatan pangan
Agus Ruli memaparkan bahwa kondisi NTP nasional di tahun 2021 masih belum memuaskan. Menurutnya, kenaikan NTP sepanjang tahun 2021 masih ditopang oleh NTP tanaman perkebunan rakyat, yang konsisten naik sejak Juli hingga Desember tahun 2021.
"Kita lihat bagaimana NTP tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan kerap kali terseok-seok dan berada di bawah standar impas. Upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani harus lebih komprehensif lagi ke depannya," katanya.
Baca juga: Peningkatan kesejahteraan petani-nelayan bangun kedaulatan pangan RI
Pewarta: Aditya Ramadhan
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2022
Tags: