BNPT sebut antikearifan lokal keagamaan karakter kelompok radikal
4 Januari 2022 15:46 WIB
Tangkapan layar Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid dalam seminar kebangsaan dan kepemudaan bertajuk “Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Radikalisme dan Terorisme” yang disiarkan langsung di kanal YouTube MT Darul Hasyimi Jogja, dipantau dari Jakarta, Selasa (4/1/2022). ANTARA/Tri Meilani Ameliya
Jakarta (ANTARA) - Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol R Ahmad Nurwakhid mengatakan kelompok radikal dan teroris berkarakter antibudaya dan antikearifan lokal keagamaan.
“Kelompok radikal dan terorisme ini biasanya memiliki karakter antibudaya dan antikearifan lokal keagamaan,” ujar R Ahmad Nurwakhid, saat menjadi narasumber dalam seminar kebangsaan dan kepemudaan bertajuk “Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Radikalisme dan Terorisme” yang dilaksanakan secara hybrid dan disiarkan langsung di kanal YouTube MT Darul Hasyimi Jogja, dipantau dari Jakarta, Selasa.
Lebih lanjut, Ahmad Nurwakhid menyampaikan pengertian anti tersebut bukan berarti kelompok radikal serta teroris tidak melakukan hal-hal yang berkaitan dengan budaya dan kearifan lokal keagamaan, melainkan mereka membenci kegiatan seperti itu.
Kemudian, ia pun menyampaikan contoh kearifan lokal keagamaan yang dibenci oleh kelompok radikal dan teroris, yaitu tahlilan dan yasinan yang kerap dilakukan umat Muslim di Indonesia.
“Anti di sini adalah sikap membenci dengan menebarkan justifikasi bid’ah, sesat, bahkan mengkafir-kafirkan bangsa Indonesia yang melakukan hal-hal terkait budaya dan kearifan lokal keagamaan, seperti tahlilan dan yasinan,” ujar dia.
Oleh karena itu, ujar Ahmad Nurwakhid, segenap bangsa Indonesia perlu mewaspadai karakter antibudaya dan antikearifan lokal keagamaan, agar tidak terpapar radikalisme serta terorisme.
Kemudian, ia juga menyampaikan, seperti yang umum diketahui, kelompok radikal dan teroris bersikap anti terhadap pemerintahan yang sah.
Baca juga: Infiltrasi kelompok radikal ke aparatur negara kerap tidak disadari
Namun, kata dia, pengertian anti tersebut bukan berarti kelompok radikal dan teroris bersikap kritis ataupun memosisikan diri sebagai pihak oposisi terhadap pemerintahan yang sah.
“Anti di sini bukan berarti kritis dan bukan berarti menjadi oposisi. Di era demokrasi, oposisi yang konstruktif dan menjadi check and balancing diperbolehkan. Kritis juga wajib. Jadi, kita harus kritis menghadapi sesuatu yang tidak baik, tidak benar, dan tidak proporsional,” ujar Ahmad Nurwakhid.
Kelompok radikal dan teroris, kata dia, bersikap anti terhadap pemerintahan yang sah dengan memengaruhi masyarakat untuk tidak memercayai pemerintah melalui tindakan menyebar hoaks, adu domba, dan fitnah terkait kinerja pemerintah.
Oleh karena itu, ia memandang sikap kritis yang sepatutnya diberikan oleh masyarakat terhadap kinerja pemerintah yang sah, agar tidak tergolong ke dalam kelompok radikal dan terorisme adalah memberikan kritik membangun, memuat solusi, dan menyampaikannya dengan etika budi pekerti.
“Kritisnya tidak dengan nyinyir, menyebarkan hoaks, konten-konten provokatif, adu domba, fitnah, dan lain sebagainya,” ujar dia.
Baca juga: Pakar sebut kelompok radikal pengaruhi masyarakat lintas agama
Baca juga: BNPT: Waspadai pengaburan sejarah oleh kelompok radikal dan intoleran
“Kelompok radikal dan terorisme ini biasanya memiliki karakter antibudaya dan antikearifan lokal keagamaan,” ujar R Ahmad Nurwakhid, saat menjadi narasumber dalam seminar kebangsaan dan kepemudaan bertajuk “Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Radikalisme dan Terorisme” yang dilaksanakan secara hybrid dan disiarkan langsung di kanal YouTube MT Darul Hasyimi Jogja, dipantau dari Jakarta, Selasa.
Lebih lanjut, Ahmad Nurwakhid menyampaikan pengertian anti tersebut bukan berarti kelompok radikal serta teroris tidak melakukan hal-hal yang berkaitan dengan budaya dan kearifan lokal keagamaan, melainkan mereka membenci kegiatan seperti itu.
Kemudian, ia pun menyampaikan contoh kearifan lokal keagamaan yang dibenci oleh kelompok radikal dan teroris, yaitu tahlilan dan yasinan yang kerap dilakukan umat Muslim di Indonesia.
“Anti di sini adalah sikap membenci dengan menebarkan justifikasi bid’ah, sesat, bahkan mengkafir-kafirkan bangsa Indonesia yang melakukan hal-hal terkait budaya dan kearifan lokal keagamaan, seperti tahlilan dan yasinan,” ujar dia.
Oleh karena itu, ujar Ahmad Nurwakhid, segenap bangsa Indonesia perlu mewaspadai karakter antibudaya dan antikearifan lokal keagamaan, agar tidak terpapar radikalisme serta terorisme.
Kemudian, ia juga menyampaikan, seperti yang umum diketahui, kelompok radikal dan teroris bersikap anti terhadap pemerintahan yang sah.
Baca juga: Infiltrasi kelompok radikal ke aparatur negara kerap tidak disadari
Namun, kata dia, pengertian anti tersebut bukan berarti kelompok radikal dan teroris bersikap kritis ataupun memosisikan diri sebagai pihak oposisi terhadap pemerintahan yang sah.
“Anti di sini bukan berarti kritis dan bukan berarti menjadi oposisi. Di era demokrasi, oposisi yang konstruktif dan menjadi check and balancing diperbolehkan. Kritis juga wajib. Jadi, kita harus kritis menghadapi sesuatu yang tidak baik, tidak benar, dan tidak proporsional,” ujar Ahmad Nurwakhid.
Kelompok radikal dan teroris, kata dia, bersikap anti terhadap pemerintahan yang sah dengan memengaruhi masyarakat untuk tidak memercayai pemerintah melalui tindakan menyebar hoaks, adu domba, dan fitnah terkait kinerja pemerintah.
Oleh karena itu, ia memandang sikap kritis yang sepatutnya diberikan oleh masyarakat terhadap kinerja pemerintah yang sah, agar tidak tergolong ke dalam kelompok radikal dan terorisme adalah memberikan kritik membangun, memuat solusi, dan menyampaikannya dengan etika budi pekerti.
“Kritisnya tidak dengan nyinyir, menyebarkan hoaks, konten-konten provokatif, adu domba, fitnah, dan lain sebagainya,” ujar dia.
Baca juga: Pakar sebut kelompok radikal pengaruhi masyarakat lintas agama
Baca juga: BNPT: Waspadai pengaburan sejarah oleh kelompok radikal dan intoleran
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2022
Tags: