Jakarta (ANTARA News) - Pelaksana tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan penguatan rupiah hingga Rp8.500 per dolar AS harus diwaspadai karena dapat menganggu surplus neraca perdagangan.

"Kita mesti hati-hati untuk menjaga agar tidak sampai defisit dalam trade balance (neraca perdagangan). Selama positif tidak apa-apa, tapi kalau sudah mulai dekat menuju defisit, BI harus menekan agar rupiah berada pada tingkat yang lebih kompetitif," ujarnya di Jakarta, Rabu.

Ia menjelaskan fenomena apresiasi rupiah ini lebih disebabkan oleh dolar AS uyang sedang depresiasi dan ini merupakan keuntungan bagi rupiah karena mata uang di negara-negara lain juga mengalami hal yang sama.

"Kita masih untung karena semua mengalami depresiasi dan itu yang kita harapkan terus menerus, semua terdepresiasi sehingga pola ekspor impor kita tidak terganggu," ujarnya.

Bambang mengatakan daya saing ekspor Indonesia dapat terganggu apabila apresiasi rupiah terus berlangsung, namun ada juga komoditas barang yang terbantu dengan kondisi ini karena komponen impornya cukup besar.

"Ada juga komoditi yang tertolong dengan adanya apresiasi karena dia impor kontennya cukup besar, jadi meskipun dia ekspor, dia ditolong biaya produksi yang lebih murah, tetapi tidak semua," tambahnya.

Bambang menginginkan asumsi rupiah paling ideal ditahan pada Rp8.700-8.800 dengan mempertimbangkan saat ini lebih sering terjadi depresiasi dolar AS.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan Indonesia cenderung menurun dalam beberapa bulan terakhir.

Nilai total ekspor 16,52 miliar dolar AS selama April sedang impornya 14,89 miliar dolar AS, masih ada surplus 1,53 miliar dolar AS, kata BPS.

"Meskipun surplus tapi kalau dilihat surplusnya makin menurun dari bulan-bulan sebelumnya," kata Deputi Kepala BPS Bidang Statistik, Distribusi, dan Jasa, Djamal.(*)

S034/R010