Komnas Perempuan: Penyebaran hoaks hambat penanganan kekerasan seksual
31 Desember 2021 20:51 WIB
Tangkapan layar Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah dalam webinar nasional MAARIF Institute For Culture And Humanity bertajuk “Refleksi Akhir Tahun 2021 tentang Kebebasan Beragama, Toleransi, dan Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia, dipantau dari Jakarta, Jumat (31/12/2021). ANTARA/Tri Meilani Ameliya.
Jakarta (ANTARA) - Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah mengatakan penyebaran hoaks yang menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat menghambat upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di Indonesia.
"Masih ada kesalahpahaman karena adanya hoaks terkait dengan upaya PPKS atau pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, entah itu isu zina, LGBT, merusak keluarga, ataupun dianggap bertentangan dengan Pancasila dan agama," ujar Alimatul Qibtiyah.
Ia mengemukakan hal tersebut saat menjadi pemateri dalam webinar nasional MAARIF Institute For Culture And Humanity bertajuk Refleksi Akhir Tahun 2021 tentang Kebebasan Beragama, Toleransi, dan Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia dipantau dari Jakarta, Jumat.
Seperti yang diketahui, penyebaran hoaks tersebut terjadi terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang dimunculkan oleh pemerintah pada tahun 2021. Salah satunya adalah Pasal 5 ayat (2) huruf l dan m Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Beberapa pihak secara masif menyebarkan pandangan keliru bahwa aturan itu melegalkan zina. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa kekerasan seksual mencakup tindakan menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, menggosokkan bagian tubuh kepada tubuh korban, serta membuka pakaian korban tanpa persetujuannya.
Penjelasan itu mengundang kesalahpahaman beberapa pihak yang memandang ketentuan tersebut melegalkan perbuatan zina. Mereka menganggap apabila disetujui korban, berarti tidak termasuk ke dalam kekerasan seksual.
Selain penyebaran hoaks, Alimatul Qibtiyah juga memandang jangkauan sosialisasi isu-isu tentang perempuan berperspektif moderat dan progresif yang belum maksimal turut menghambat upaya pencegahan serta penanganan kekerasan seksual di Indonesia.
Ia mengutarakan bahwa para pembuat kebijakan pun belum semuanya berkomitmen menyambut baik upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
"Komitmen pembuat kebijakan belum semuanya menyambut baik upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan," ucap Alimatul Qibtiyah.
Dengan demikian, kata dia, faktor-faktor penghambat sekaligus tantangan itu perlu diatasi pada tahun 2022 sehingga upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual tidak hanya mengalami kemajuan dalam segi regulasi dan dukungan beberapa pihak, tetapi juga terkait dengan implementasinya.
Baca juga: Pengamat sebut RUU TPKS harus memuat isu hubungan suami-istri
Baca juga: Pengamat: RUU TPKS dan RUU PDP harus jadi prioritas utama pada 2022
"Masih ada kesalahpahaman karena adanya hoaks terkait dengan upaya PPKS atau pencegahan dan penanganan kekerasan seksual, entah itu isu zina, LGBT, merusak keluarga, ataupun dianggap bertentangan dengan Pancasila dan agama," ujar Alimatul Qibtiyah.
Ia mengemukakan hal tersebut saat menjadi pemateri dalam webinar nasional MAARIF Institute For Culture And Humanity bertajuk Refleksi Akhir Tahun 2021 tentang Kebebasan Beragama, Toleransi, dan Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia dipantau dari Jakarta, Jumat.
Seperti yang diketahui, penyebaran hoaks tersebut terjadi terhadap beberapa peraturan perundang-undangan yang dimunculkan oleh pemerintah pada tahun 2021. Salah satunya adalah Pasal 5 ayat (2) huruf l dan m Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Beberapa pihak secara masif menyebarkan pandangan keliru bahwa aturan itu melegalkan zina. Dalam pasal tersebut, disebutkan bahwa kekerasan seksual mencakup tindakan menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, menggosokkan bagian tubuh kepada tubuh korban, serta membuka pakaian korban tanpa persetujuannya.
Penjelasan itu mengundang kesalahpahaman beberapa pihak yang memandang ketentuan tersebut melegalkan perbuatan zina. Mereka menganggap apabila disetujui korban, berarti tidak termasuk ke dalam kekerasan seksual.
Selain penyebaran hoaks, Alimatul Qibtiyah juga memandang jangkauan sosialisasi isu-isu tentang perempuan berperspektif moderat dan progresif yang belum maksimal turut menghambat upaya pencegahan serta penanganan kekerasan seksual di Indonesia.
Ia mengutarakan bahwa para pembuat kebijakan pun belum semuanya berkomitmen menyambut baik upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
"Komitmen pembuat kebijakan belum semuanya menyambut baik upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan," ucap Alimatul Qibtiyah.
Dengan demikian, kata dia, faktor-faktor penghambat sekaligus tantangan itu perlu diatasi pada tahun 2022 sehingga upaya pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual tidak hanya mengalami kemajuan dalam segi regulasi dan dukungan beberapa pihak, tetapi juga terkait dengan implementasinya.
Baca juga: Pengamat sebut RUU TPKS harus memuat isu hubungan suami-istri
Baca juga: Pengamat: RUU TPKS dan RUU PDP harus jadi prioritas utama pada 2022
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021
Tags: