Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi IV DPR RI Viva Yoga Mauladi mengatakan, impor sapi asal Australia merusak tata niaga peternakan sapi di tanah air.

Ia juga mendesak pemerintah menghentikan impor jerohan, daging sapi beku (forzen), sesuai rekomendasi Komisi IV DPR RI.

"Menurut saya, pemerintah harus stop impor sapi dari Australia. Adanya impor ini menjadi penyebab utama gagalnya peternakan sapi di Indonesia," kata Viva kepada antaranews.com, Jakarta, Jumat.

Ia juga menyebutkan, membanjirnya daging impor dengan harga murah telah merusak tata niaga dan harga daging di dalam negeri.

"Petani ternak selalu merugi sehingga tingkat kesejahteraan menurun akibat membanjirnya daging dari luar di pasaran," ujar anggota DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional itu.

Viva menambahkan, pemerintah harus mengevaluasi tata niaga daging yang terindikasi ada kartel dan mafia daging yang mengontrol harga sehingga membuat pemerintah tidak berdaya dan berakibat mematikan peternakan sapi nasional.

"Saat ini Indonesia sangat susah impor sapi betina unggul dari Australia untuk dibudidayakan di Indonesia. Lebih baik melakukan budidaya sapi lokal potong, misalnya sapi Bali, sapi-sapi Madura, sapi Aceh, dan lainnya secara intensif dan serius dengan menggunakan teknologi modern," ujarnya.

Untuk mencukupi kebutuhan protein, lanjutnya, tidak harus dari daging sapi. Bisa dari kerbau, ikan, dan sebagainya.

"Mengapa mengkonsumsi daging sapi, disamping karena gizi, tetapi juga karena status sosial dan pengaruh budaya barat saja," sebut dia.

Pemerintah, kata Ketua DPP PAN itu, harus merealisasikan janjinya mencapai target swasembada daging sapi (disamping swasembada beras, jagung, kedele, gula, dan garam) di tahun 2014.

"Janji pemerintah untuk swasembada daging tercapai di tahun 2005, gagal. Kemudian berjanji lagi di 2009 namun gagal lagi. Jangan sampai pemerintah ingkar janji lagi di 2014. Untuk itu upaya serius, sungguh-ssungguh harus dilakukan pemerintah," ungkapnya.

Viva menilai, alasan Australia menghentikan ekspor sapi karena ada beberapa rumah potong hewan yang menistakan sapi-sapi Australia terlalu mengada-ada yang sebenarrnya sudah ada aturannya, baik dari agama maupun UU.

Ia menyebutkan, Soal Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), RPH dan kesejahteraan hewan (animal welfare) sudah diatur di UU 6/1967 tentang Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan Peraturan Mentan 13/2010 tentang Persyaratan RPH Hewan Ruminansia dan Unit Penangan Daging (Meat Cutting Plant).

Di pasal 66 UU 18/ 2009, misalnya, disebutkan bahwa pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus dilakukan di RPH dan mengikuti cara penyembuhan yang memenuhi kaidah kesmavet dan animal welfare.

"Pemotongan dan pembunuhan hewan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut dan tertekan, penganiayaan dan penyalagunaan dan perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari penyiksaan," kata Viva.

Penyiksaan terhadap sapi yang akan dipotong, disamping melanggar UU, tidak manusiawi, juga bertentangan dengan nilai agama. Pemerintah harus mengusut tuntas pelaku sadis itu agar tidak terulang lagi. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat relijius, beradab, bukan masyarakat barbar.

"Pemerintah harus serius mengontrol kualitas RPH agar memenuhi standar higienis, aman, kesmawet, dan animal welfare. Harus ada sanksi administratif bila ada RPH yang melanggar untuk keselamatan konsumen," ungkap dia.

Pemerintah Federal Australia, melalui Menteri Pertanian Joe Ludwig memutuskan menghentikan ekspor sapi ke Indonesia karena ada beberapa rumah Pemotongan Hewan (RPH) Indonesia melakukan peniksaan dan penganiayaan terhadap sapi Australis yang akan dipotong.

Penghentian impor ini menurutnya hanya di 12 RPH saja, seperti disiarkan di ABC's Four Corners.(*)
(Zul)