Prospek besar, bisnis maritim dinilai butuh perbaikan regulasi
28 Desember 2021 23:44 WIB
Tangkapan layar - Wakil Ketua Umum I Indonesian National Shipowners Association (INSA) Darmansyah Tanamas dalam webinar bertajuk "Linking Investment and Business Prospects cof Integrated Marine Logistics in Indonesia : An Outlook 2022" yang diselenggarakan Energy and Mining Editor Society (E2S) di Jakarta, Selasa (28/12/2021). ANTARA/Faisal Yunianto.
Jakarta (ANTARA) - Prospek bisnis pelayaran di Indonesia dinilai masih sangat besar sehingga memerlukan dukungan semua stakeholder termasuk kebutuhan untuk memperbaiki regulasi perpajakan yang berdampak pada daya saing industri pelayaran nasional.
Pendapat tersebut dikemukakan Wakil Ketua Umum I Indonesian National Shipowners Association (INSA) Darmansyah Tanamas dalam webinar bertajuk Linking Investment and Business Prospects cof Integrated Marine Logistics in Indonesia : An Outlook 2022, yang diselenggarakan Energy and Mining Editor Society (E2S) di Jakarta, Selasa.
Menurut Darmansyah, industri pelayaran nasional terkena dampak dari beberapa regulasi perpajakan termasuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor 186 Tahun 2019 mengenai objek pajak yang dianggap mengganggu.
“Ini tentunya berdampak pada rendahnya daya saing pelayaran nasional. Kami sedang usaha untuk dapat keringanan atau insentif dari pemerintah,” katanya dalam keterangan tertulis.
Industri pelayaran nasional, lanjut Darmansyah, berharap penyerahan jasa angkutan umum di laut dibebaskan dari pengenaan pajak PPN untuk selamanya. Kemudian, pembelian kapal impor, spare part dan alat kesehatan kapal juga perlu dibebaskan dari pengenaan PPN.
“Kru kapal di atas kapal termasuk dalam kategori natura dan bukan penghasilan kru kapal, jasa penyewaan kapal, dibebaskan dari pengenaan PPN,” katanya.
Di sisi lain, Darmansyah menilai porsi pelayaran nasional yang hanya 9 persen untuk kargo luar negeri kurang optimal. Hal ini disebabkan antara lain skema kontrak ekspor untuk kargo dari Indonesia ke luar menggunakan skema FOB (Free on Board). Pada skema ini pembeli mempunyai kewajiban menyediakan kapal. Dengan demikian pembeli akan mencari kapal yang memang sudah mempunyai networking atau relationship yang baik dengan mereka.
“Pembeli produk Indonesia biasanya sudah mempunyai sister company di shipping industry. Ini yang menjadi hambatan. Diharapkan ada perubahan dari skema FOB ke Cost and Freight (CnF), dimana eksportir yang menyediakan kapal,” kata Darmansyah Tanamas.
Baca juga: INSA optimistis dunia pelayaran membaik di 2022
Baca juga: INSA: Perusahaan pelayaran sudah maksimal lakukan efisiensi
Pembicara lainnya, pengamat ekonomi energi Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti PhD mengatakan peluang bisnis integrasi maritim di Indonesia akan didominasi oleh kebutuhan industri, terutama untuk energi fosil seperti batu bara, minyak mentah dan BBM. Ketika akses ditambah dengan integrated marine management, maka bisa mengurangi biaya transportasi.
"Ketika akses mudah, pasokan bertambah dan harga akan semakin efisien. Karena itu, aksesibilitas menjadi hal yang penting. Ini harus didukung dengan demand yang kuat,” katanya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping (PIS) Erry Widiastono mengatakan perusahaannya bertransformasi dari sub holding shipping menjadi subholding marine logistics. Sebanyak lima terminal besar Pertamina diserahkan ke PIS. Kini bisnis PIS menjadi tiga, yakni shipping, terminal BBM dan LPG, lalu marine logistic.
“Kami semua menghadapi tantangan yang menuntut perubahan bisnis dan perubahan dari company itu sendiri. Tidak hanya PIS, saya yakin semua pelaku bisnis logistic provider khususnya di bidang migas menuntut adanya perubahan,” kata Erry.
PIS menghadapi tantangan dan peluang strategis yang menuntut perubahan internal. Saat ini di Indonesia GDP masih ada potensi tumbuh. Pertumbuhan akan berbanding lurus dengan konsumsi energi. Untuk menghadapi tantangan, peluang dan perubahan lingkup energi, PIS bertransformasi menjadi integrated marine logistic company. Transformasi ini dilakukan melalui dua tahap restrukturisasi.
Menurut Erry, PIS juga berkomitmen mendukung dekarbonisasi. Untuk tahapan green operation dilakukan melalui rendah sulfur, mengurangi konsumsi bahan bakar dengan pengurangan kecepatan kargo, pembersihan lambung kapal secara berkala, minimum ballast navigation, pengoptimalan rencana pelayaran, kemudian ada ballast water treatment system, dan instalasi scrubber.
“Kami juga akan terapkan green cargo dengan penggunaan LNG, LPG, dan biodiesel. Untuk green port mengurangi port time dengan meminimalisasi polusi udara di pelabuhan, mengurangi emisi gas CO2 dengan mengatur kecepatan kapal keluar masuk pelabuhan mengubah bahan bakar infrastruktur pelabuhan,” katanya.
Baca juga: Ekspor CPO dan batu bara dongkrak kinerja angkutan laut
Baca juga: Kadin dorong pengembangan digitalisasi di industri maritim
Pendapat tersebut dikemukakan Wakil Ketua Umum I Indonesian National Shipowners Association (INSA) Darmansyah Tanamas dalam webinar bertajuk Linking Investment and Business Prospects cof Integrated Marine Logistics in Indonesia : An Outlook 2022, yang diselenggarakan Energy and Mining Editor Society (E2S) di Jakarta, Selasa.
Menurut Darmansyah, industri pelayaran nasional terkena dampak dari beberapa regulasi perpajakan termasuk Peraturan Menteri Keuangan Nomor 186 Tahun 2019 mengenai objek pajak yang dianggap mengganggu.
“Ini tentunya berdampak pada rendahnya daya saing pelayaran nasional. Kami sedang usaha untuk dapat keringanan atau insentif dari pemerintah,” katanya dalam keterangan tertulis.
Industri pelayaran nasional, lanjut Darmansyah, berharap penyerahan jasa angkutan umum di laut dibebaskan dari pengenaan pajak PPN untuk selamanya. Kemudian, pembelian kapal impor, spare part dan alat kesehatan kapal juga perlu dibebaskan dari pengenaan PPN.
“Kru kapal di atas kapal termasuk dalam kategori natura dan bukan penghasilan kru kapal, jasa penyewaan kapal, dibebaskan dari pengenaan PPN,” katanya.
Di sisi lain, Darmansyah menilai porsi pelayaran nasional yang hanya 9 persen untuk kargo luar negeri kurang optimal. Hal ini disebabkan antara lain skema kontrak ekspor untuk kargo dari Indonesia ke luar menggunakan skema FOB (Free on Board). Pada skema ini pembeli mempunyai kewajiban menyediakan kapal. Dengan demikian pembeli akan mencari kapal yang memang sudah mempunyai networking atau relationship yang baik dengan mereka.
“Pembeli produk Indonesia biasanya sudah mempunyai sister company di shipping industry. Ini yang menjadi hambatan. Diharapkan ada perubahan dari skema FOB ke Cost and Freight (CnF), dimana eksportir yang menyediakan kapal,” kata Darmansyah Tanamas.
Baca juga: INSA optimistis dunia pelayaran membaik di 2022
Baca juga: INSA: Perusahaan pelayaran sudah maksimal lakukan efisiensi
Pembicara lainnya, pengamat ekonomi energi Universitas Padjadjaran Yayan Satyakti PhD mengatakan peluang bisnis integrasi maritim di Indonesia akan didominasi oleh kebutuhan industri, terutama untuk energi fosil seperti batu bara, minyak mentah dan BBM. Ketika akses ditambah dengan integrated marine management, maka bisa mengurangi biaya transportasi.
"Ketika akses mudah, pasokan bertambah dan harga akan semakin efisien. Karena itu, aksesibilitas menjadi hal yang penting. Ini harus didukung dengan demand yang kuat,” katanya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping (PIS) Erry Widiastono mengatakan perusahaannya bertransformasi dari sub holding shipping menjadi subholding marine logistics. Sebanyak lima terminal besar Pertamina diserahkan ke PIS. Kini bisnis PIS menjadi tiga, yakni shipping, terminal BBM dan LPG, lalu marine logistic.
“Kami semua menghadapi tantangan yang menuntut perubahan bisnis dan perubahan dari company itu sendiri. Tidak hanya PIS, saya yakin semua pelaku bisnis logistic provider khususnya di bidang migas menuntut adanya perubahan,” kata Erry.
PIS menghadapi tantangan dan peluang strategis yang menuntut perubahan internal. Saat ini di Indonesia GDP masih ada potensi tumbuh. Pertumbuhan akan berbanding lurus dengan konsumsi energi. Untuk menghadapi tantangan, peluang dan perubahan lingkup energi, PIS bertransformasi menjadi integrated marine logistic company. Transformasi ini dilakukan melalui dua tahap restrukturisasi.
Menurut Erry, PIS juga berkomitmen mendukung dekarbonisasi. Untuk tahapan green operation dilakukan melalui rendah sulfur, mengurangi konsumsi bahan bakar dengan pengurangan kecepatan kargo, pembersihan lambung kapal secara berkala, minimum ballast navigation, pengoptimalan rencana pelayaran, kemudian ada ballast water treatment system, dan instalasi scrubber.
“Kami juga akan terapkan green cargo dengan penggunaan LNG, LPG, dan biodiesel. Untuk green port mengurangi port time dengan meminimalisasi polusi udara di pelabuhan, mengurangi emisi gas CO2 dengan mengatur kecepatan kapal keluar masuk pelabuhan mengubah bahan bakar infrastruktur pelabuhan,” katanya.
Baca juga: Ekspor CPO dan batu bara dongkrak kinerja angkutan laut
Baca juga: Kadin dorong pengembangan digitalisasi di industri maritim
Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021
Tags: