"Kita anggap aja buruh itu ibarat anak, dan gubernur adalah bapaknya. Perlakuan bapak ke anak tentu harus bijak sehingga dapat memaafkan dan tidak perlu memenjarakan mereka," kata Mochamad Husen saat dihubungi di Lebak, Selasa.
Mereka para buruh itu ingin menyampaikan tuntutan kenaikan revisi upah UMP pada Gubernur WH. Namun, Gubernur Banten saat itu tidak ada, sehingga buruh memasuki ruangan WH.
Baca juga: IPW: Kasus buruh di Banten perlu pendekatan keadilan restoratif
Baca juga: Gubernur Banten sesalkan aksi massa buruh paksa masuk ruang kerjanya
Perbuatan buruh itu anggap saja hal yang wajar dan tidak perlu berlanjut ke hukum, katanya.
Menurut dia, pihaknya tidak setuju enam buruh yang masuk ruangan Gubernur WH dipenjara atas perbuatan dugaan anarkis.
Enam buruh jadi tersangka setelah kuasa hukum Gubernur WH melaporkan kepada aparat kepolisian.
Sementara, Dosen Wasilatul Falah Rangkasbitung Encep Haerudin mengatakan Gubernur Banten tidak bijak memenjarakan oknum buruh.
Mestinya duduk bersama gubernur, perwakilan buruh dan pengusaha/asosiasi pengusaha untuk mencari solusi yang saling menguntungkan.
"Kami sangat menyayangkan seorang pemimpin memenjarakan rakyatnya, " katanya.
Ke-enam buruh itu antara lain berinisial AP (46), warga Tigaraksa, Tangerang, SH (33), warga Citangkil, Cilegon, SR (22), warga Cikupa, Tangerang, SWP (20), warga Kresek, Tangerang, OS (28), warga Cisoka, Tangerang, dan MHF (25), warga Cikedal, Pandeglang.
Para buruh itu dikenakan Pasal 207 KUHP tentang secara sengaja dimuka umum menghina sesuatu kekuasaan negara dengan duduk di meja kerja gubernur, mengangkat kaki di atas meja kerja gubernur dan tindakan tidak etis lainnya, dengan ancaman pidana 18 bulan penjara, terhadap 4 tersangka.
Sedangkan,dua tersangka OS (28) dan MHF (25) dikenakan Pasal 170 KUHP tentang pengrusakan terhadap barang secara bersama-sama dengan ancaman pidana 5 tahun 6 bulan penjara.
"Kami mengimbau kepada masyarakat untuk menyampaikan aspirasi sesuai UU yang berlaku, “ katanya.