IPW: Kasus buruh di Banten perlu pendekatan keadilan restoratif
27 Desember 2021 19:08 WIB
Arsip foto - Sejumlah buruh memasuki ruang kerja Gubernur Banten di kawasan pusat pemerintahan Provinsi Banten (KP3B) saat aksi unjuk rasa dio Serang, pada Rabu malam (22/12). ANTARA/Mulyana.
Jakarta (ANTARA) - Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso mengatakan laporan Gubernur Banten kepada buruh diperlukan pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif.
“Proses hukum atas laporan Gubernur Banten perlu direspon secara proporsional dan profesional. Bahkan bila perlu diterapkan 'restorative justice' dalam kasus ini bila memenuhi syarat untuk itu,” kata Sugeng dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Sugeng mengatakan IPW berpendapat bahwa unjuk rasa adalah hak warga negara untuk menyampaikan aspirasi di muka umum. Termasuk para buruh di Banten yang memperjuangkan hak-haknya karena hal tersebut adalah keniscayaan dalam demokrasi.
Baca juga: Gubernur Banten sesalkan aksi massa buruh paksa masuk ruang kerjanya
Akan tetapi, kata dia, hak demokrasi itu dibatasi dengan penghormatan atas hukum yang mengatur ketertiban umum dan hak-hak dari pihak lainnya.
“Karena itu tidak dibenarkan melakukan pelanggaran hukum mengatasnamakan demokrasi dalam bentuk unjuk rasa," ujarnya.
Kata Sugeng, IPW juga menyoroti sikap para pejabat Pemprov Banten, dimana tidak ada pejabat yang representatif menerima unjuk rasa buruh tersebut.
“Karena sikap abai mendengar aspirasi buruh dengan tidak adanya gubernur atau sekdaprov yang menerima, juga bisa menjadi pemicu adanya unras yang kebablasan tersebut,” ungkap Sugeng.
Sebelumnya, beberapa oknum buruh menerobos masuk ke dalam ruang kerja Gubernur Banten pada aksi demo menuntut revisi upah minimum propinsi, Rabu (22/12).
Atas ulah beberapa oknum buruh tersebut, Gubernur Banten melalui kuasa hukumnya Asep Abdullah Busro pada Jumat (24/12) melaporkan kasus itu ke Polda Banten.
Setelah menerima laporan, Polda Banten pun bergerak cepat dengan mengamankan para pelaku, yakni AP (46), SH (33), SR (22), SWP (20), OS (28) dan MHF (25).
Mereka disangkakan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 170 KUHP tentang pengrusakan terhadap barang secara bersama-sama dan Pasal 207 KUHP tentang dengan sengaja di muka umum menghina suatu kekuasaan yang ada di Indonesia.
Baca juga: Buruh Tangerang Raya tolak penetapan UMK Banten 2022
Baca juga: Serikat pekerja apresiasi langkah cepat vaksinasi Polri bagi buruh
“Proses hukum atas laporan Gubernur Banten perlu direspon secara proporsional dan profesional. Bahkan bila perlu diterapkan 'restorative justice' dalam kasus ini bila memenuhi syarat untuk itu,” kata Sugeng dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.
Sugeng mengatakan IPW berpendapat bahwa unjuk rasa adalah hak warga negara untuk menyampaikan aspirasi di muka umum. Termasuk para buruh di Banten yang memperjuangkan hak-haknya karena hal tersebut adalah keniscayaan dalam demokrasi.
Baca juga: Gubernur Banten sesalkan aksi massa buruh paksa masuk ruang kerjanya
Akan tetapi, kata dia, hak demokrasi itu dibatasi dengan penghormatan atas hukum yang mengatur ketertiban umum dan hak-hak dari pihak lainnya.
“Karena itu tidak dibenarkan melakukan pelanggaran hukum mengatasnamakan demokrasi dalam bentuk unjuk rasa," ujarnya.
Kata Sugeng, IPW juga menyoroti sikap para pejabat Pemprov Banten, dimana tidak ada pejabat yang representatif menerima unjuk rasa buruh tersebut.
“Karena sikap abai mendengar aspirasi buruh dengan tidak adanya gubernur atau sekdaprov yang menerima, juga bisa menjadi pemicu adanya unras yang kebablasan tersebut,” ungkap Sugeng.
Sebelumnya, beberapa oknum buruh menerobos masuk ke dalam ruang kerja Gubernur Banten pada aksi demo menuntut revisi upah minimum propinsi, Rabu (22/12).
Atas ulah beberapa oknum buruh tersebut, Gubernur Banten melalui kuasa hukumnya Asep Abdullah Busro pada Jumat (24/12) melaporkan kasus itu ke Polda Banten.
Setelah menerima laporan, Polda Banten pun bergerak cepat dengan mengamankan para pelaku, yakni AP (46), SH (33), SR (22), SWP (20), OS (28) dan MHF (25).
Mereka disangkakan Pasal 160 KUHP tentang penghasutan, Pasal 170 KUHP tentang pengrusakan terhadap barang secara bersama-sama dan Pasal 207 KUHP tentang dengan sengaja di muka umum menghina suatu kekuasaan yang ada di Indonesia.
Baca juga: Buruh Tangerang Raya tolak penetapan UMK Banten 2022
Baca juga: Serikat pekerja apresiasi langkah cepat vaksinasi Polri bagi buruh
Pewarta: Fauzi
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2021
Tags: