Surabaya (ANTARA News) - Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa meminta pembangunan jalan tol alternatif Porong - Gempol dipercepat untuk menanggulangi kemacetan di kawasan Jalan Raya Porong yang tidak jauh dari lokasi luapan lumpur Lapindo.

"Selama ini, kami (pemerintah pusat) terus mendesak agar upaya penanggulangan kemacetan di Jalan Raya Porong bisa teratasi dan masyarakat bisa menikmati jalan tol baru," katanya di sela kunjungan ke Universitas Muhammadiyah Surabaya, Senin.

Ia menegaskan bahwa pemerintah memang tidak memberi batasan waktu, tapi pihaknya terus mendesak agar jalan tol cepat selesai. "Tentang masalah pendanaan sudah tidak ada masalah kok," ujar Hatta Radjasa.

Hanya saja, pihaknya mengakui permasalahan lambatnya pembangunan jalan tol akibat dari sulitnya pembebasan lahan yang terkena dampak, karena proses negoisasi antara pemerintah dengan sebagian pemilik lahan masih belum menemui kata sepakat.

"Tapi kami tidak bisa memaksa rakyat atau pemilik lahan. Namun tetap ada upaya negoisasi agar permasalahan segera terselesaikan," tukas Hatta yang juga Ketua Umum DPP PAN tersebut.

Terkait aksi massa yang melakukan unjuk rasa meminta 45 RT korban luapan lumpur Lapindo agar dimasukkan dalam peta terdampak, ia mengatakan, Gubernur Jatim Soekarwo sudah membawa persoalan itu ke pemerintah pusat dan saat ini sedang diusulkan.

Ke-45 RT yang minta dimasukkan ke dalam peta terdampak yakni, tujuh RT di Desa Besuki, 18 RT di Mindi, 12 RT di Ketapang, dan delapan RT di Panotan.

Bahkan, untuk memastikan perhatian pemerintah, ratusan warga korban dampak Lumpur Lapindo sudah menggelar demo dan menutup Jalan Raya Porong sebelum akhirnya bisa diredam petugas.

"Sudah diusulkan dan kami harap sabar karena masih dilakukan kajian dari lembaga independen. Kalau memang membahayakan, maka harus diselamatkan dan segera diperhatikan," tukasnya.

Disinggung tentang rencana pengeboran baru oleh PT Lapindo, Hatta mengaku belum mengetahui secara pasti.

Namun, lanjut dia, jika memang tetap dilaksanakan, maka hal itupun harus melalui pembahasan panjang antara BP Migas dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) serta pihak terkait lainnya.

(ANTARA/S026)