Jakarta (ANTARA News) - Pengamat ekonomi Universitas Indonesia Dr Syamsul Hadi mengatakan bahwa industri rokok nasional menghadapi beberapa tekanan terkait persoalan di dalam negeri maupun persaingan bisnis dengan perusahaaan asing sejenis.

Pada diskusi dan bedah buku "Kriminalisasi Berujung Monopoli" Syamsul mengungkapkan adanya hambatan tarif berupa bea masuk produk tembakau yaitu di Amerika Serikat 350 persen, Jepang 40 persen dan China 57 persen.

"Sedangkan hambatan non tarif menyangkut subsidi untuk petani tembakau di negara lain," katanya di Gedung DPR/MPR di Senayan Jakarta, Senin.

Ia mengemukakan, subsidi untuk petani tembakau di AS pada 2009 mencapai 203 juta dolar AS.

Pada Juni 2009, Pemerintah AS mengeluarkan larangan peredaran semua jenis rokok, kecuali jenis menthol. "Ini merupakan langkah proteksi terhadap rokok impor dari luar negeri, khususnya rokok kretek dari Indonesia," kata dosen ekonomi politik internasional itu.

Industri rokok juga menghadapi tekanan dari dalam negeri berupa kenaikan cukai rokok yang terjadi terus-menerus.

"Cukai rokok praktis setiap tahun naik. Tahun 2009 naik 10 persen, tahun 2011 naik 5,9 persen. Hal ini menyebabkan gelombang PHK dalam industri rokok karena kenaikan biaya produksi," katanya.

Pemerintah dalam hal ini Dirjen Bea dan Cukai menyatakan pada 2015 hingga 2020, pemerintah tidak lagi mengutamakan cukai sebagai alat penerimaan negara, melainkan sebagai alat pembatasan konsumsi rokok untuk kesehatan.

Persoalan kenaikan harga minyak dunia yang akan terus terjadi, akan menjadi beban APBN karena meningkatnya subsidi.

"Apakah utang, baik dalam bentuk utang negeri maupun penerbitan surat utang oleh pemerintah, lebih dipilih sebagai alternatif ketimbang cukai rokok yang merupakan industri yang sangat kuat akarnya di dalam negeri," katanya.

Selain itu, menurut dia, adanya regulasi-regulasi antirokok dan kriminalisasi kegiatan merokok yang disponsori oleh lembaga-lembaga internasional yang punya kepentingan bisnis tertentu, baik yang bersifat lembaga antarnegara maupun lembaga nonpemerintah.

"Beban industri rokok nasional berupa standarisasi, kenaikan cukai yang terus-menerus dan regulasi-regulasi yang dipromosikan oleh kepentingan internasional tidak hanya masuk lewat pemerintah pusat, tetapi justru lebih gencar masuk melalui pintu pemerintah daerah seiring dengan penerapan otonomi daerah," kata Syamsul yang juga anggota Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI).

Hasilnya, kata dia, perusahaan-perusahaan asing di bidang rokok, makin menguasai pasar Indonesia, sementara perusahaan-perusahaan farmasi inetrnasional yang mengampanyekan produk-produk antinikotin bersiap meraup untung dari proyek besar untuk mengatasi penyakit akibat merokok.

Mengenai konstibusi industri rokok, dia menjelaskan, penerimaan negara yang berasal dari cukai rokok mencapai Rp62,759 triliun pada 2011, sedangkan konstribusi bagi penciptaan lapangan kerja adalah 1,25 juta orang bekerja di ladang cengkeh dan sekurangnya 10 juta orang terlibat langsung dalam industri rokok.

Menurut data Indonesia Berdikari (2010), 24,4 juta orang terlibat secara tidak langsung dalam industri rokok.

Untuk kontribusi terhadap ekonomi daerah, dia menjelaskan, Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCT) di Kabupaten Temanggung mencapai Rp10,05 miliar pada 2009 (25,9 dari PAD Temanggung) dan Rp13,67 miliar pada 2010 (24,81 persen dari PAD Temanggung).

Di samping Kediri, Malang dan lain-lain, daerah yang terhidupi industri rokok adalah Kudus. Tahun 2009, Kudus menyumbang Rp15,1 triliun dari total pendapatan cukai nasional yang sekitar Rp60 triliun. Jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor ini adalah 84.988 orang.

Daerah yang terhidupi sektor yang terkait dengan bisnis rokok adalah Kabupaten Minahasa yang merupakan penghasil cengkeh terbesar di Indonesia. Kesejahteraan rakyat di sana sangat tergantung dari cengkeh.

(S023/B013)