Jakarta (ANTARA) - Jenama Bhumi Skincare membuat kemasan isi ulang ramah lingkungan demi mengurangi sampah, dimana Indonesia menghasilkan 3,5 juta ton sampah plastik per tahun.

“Kami melihat, isu lingkungan sedang marak dan sampah plastik bertambah setiap tahun. Indonesia sendiri menghasilkan 33 juta ton sampah setiap tahun, dan rata-rata merupakan sampah plastik yang tidak bisa didaur ulang secara alami,” kata pemilik Bhumi Skincare, Ahmad Rashed, dikutip dari siaran resmi, Sabtu.

Dalam proses pengembangan produk kecantikan refill pack, ia memikirkan cara agar konsumen bisa mendapatkan manfaat produk kecantikan, tanpa menimbulkan masalah baru, yaitu sampah plastik. Jenama ini kemudian membuat refill pack yang kemasannya biodegradable dan berkelanjutan.

“Karena terbuat dari craft paper, kemasan refill pack tersebut akan terurai secara alami dengan cepat dan mudah. Di dalam kemasan tidak terdapat lapisan plastik sama sekali. Kami juga memastikan bahwa kemasan itu compatible dengan moisturizer yang kami produksi."

Dia mengatakan, refill pack ini adalah aksi konkret kami dalam melawan isu lingkungan terkait sampah plastik. Aksi ini didukung juga oleh organisasi Indonesia Biru Foundation yang bergerak dalam peningkatan literasi kelautan bagi masyarakat juga mengingatkan tentang pentingnya pengurangan sampah plastik.

Andre Saputra, pendiri Indonesia Biru Foundation, mengungkapkan bahwa sampah yang kita hasilkan masih jauh lebih besar daripada kapasitas pengolahan sampah. Artinya, masih banyak sampah yang tidak dikelola dengan tepat.

Sampah plastik yang tidak dikelola dengan benar kemungkinan besar akan terbawa sampai ke pantai dan laut. Untuk daerah yang mengandalkan wisata pantai, sampah ini akan merusak pemandangan. Dampaknya, lokasi wisata yang seharusnya cantik dan bersih tak lagi menarik untuk dikunjungi.

Namun, ada dampak dari sampah plastik yang sangat mengganggu kehidupan hewan-hewan di bawah laut. Andre bercerita, di bawah laut kantong plastik itu terlihat seperti ubur-ubur, yang menjadi makanan penyu. Tapi, karena tidak bisa membedakan antara plastik dan ubur-ubur, maka penyu memakan plastik tersebut, sehingga kemudian banyak yang mati.

“Ketika diautopsi, di dalam perutnya ditemukan banyak plastik. Hal yang sama terjadi pada biota laut yang besar, seperti paus. Apa pun yang ditangkap oleh mulutnya akan masuk ke perut, termasuk sampah plastik. Inilah kenapa banyak paus yang mati dan kemudian terdampar di pantai,” kata Andre.

Baca juga: Inovator asal RI menangi kompetisi se-ASEAN atasi sampah plastik

Baca juga: Penggunaan plastik masa pandemi dikhawatirkan tingkatkan sampah laut

Baca juga: Pentingnya bijak sampah plastik sejak dini