Jakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mendorong upaya rehabilitasi dalam penanganan kasus enam pelajar sekolah menengah pertama (SMP) di Buleleng, Bali yang membuat konten pornografi.

"Saya berharap kasus ini ditangani tuntas secara hukum dan juga diberikan pendampingan rehabilitasi. Jangan biarkan anak-anak ini terjebak dalam perilaku yang salah dan membahayakan masa depannya. Diperlukan rehabilitasi fisik, spiritual, mental, moral dan sosial untuk pemulihan anak-anak tersebut," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Bintang Puspayoga melalui siaran pers, di Jakarta, Jumat.

Penyelesaian perkara ini diharapkan dapat dituntaskan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Baca juga: KPPPA: Dibutuhkan komitmen semua pihak lindungi anak dari pornografi

Di samping proses hukum, Menteri Bintang meminta agar para terduga pelaku dapat diberikan rehabilitasi sebagai upaya pemulihan atas perilaku salah mereka sesuai dengan Sistem Peradilan Pidana Anak.

Pihaknya juga mendesak masyarakat untuk menghentikan dan tidak menyebarkan video tersebut lewat media apa pun.

"Penyebaran video tersebut berbahaya apalagi jika jatuh ke tangan anak-anak. Risiko jangka panjang mengintai orang yang kecanduan pornografi karena dapat merusak sistem saraf otak, juga merangsang tubuh, fisik dan emosi yang diikuti perilaku seksual. Anak-anak berisiko menjadi pelaku pornografi hingga terjebak dalam dunia prostitusi, baik sebagai pelaku, korban ataupun saksi,” ujar Menteri Bintang.

Saat ini Kemen PPPA telah menurunkan tim Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 ke Buleleng, Bali untuk mengidentifikasi kasus tersebut dan memastikan semua pihak melakukan perannya dalam memberikan penanganan dan pendampingan terhadap anak secara komprehensif.

Berdasarkan hasil pemeriksaan Unit PPA Satreskrim Polres Buleleng, diketahui pelaku sering menonton video porno di handphone.

Kasus ini melibatkan tujuh anak berhadapan dengan hukum, yakni enam laki-laki dan satu perempuan.

Baca juga: KPPPA : 66,6 persen anak saksikan pornografi di media "online"

Bintang menjelaskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pada proses penyelesaian perkara, Anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH) perlu diupayakan untuk Diversi. Hal ini tidak dimaksudkan untuk membenarkan perbuatan pelaku, tetapi untuk memperbaiki perilakunya.

Pada proses Diversi perlu keterlibatan 3 (tiga) pihak, di antaranya penyidik, pekerja sosial dan Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan (PK Bapas).

Menteri Bintang menambahkan bahwa selain pendampingan, pemda juga perlu memastikan ABH mendapatkan pengasuhan yang layak.

Pada kasus ini, ada indikasi masih perlunya peningkatan pengetahuan dan kemampuan orang tua dalam mengasuh, menuntun, membimbing, membesarkan dan melindungi anak-anaknya.

"Ada dua alternatif yang bisa dilakukan sebagai upaya pemulihan, pertama pemda memastikan adanya pendampingan dan penguatan kapasitas bagi para orang tua ABH atau menyediakan pengasuhan alternatif secara perorangan (orang tua asuh), atau ditempatkan sementara pada lembaga rehabilitasi sebagai bagian dari proses pemulihan," kata Menteri.

Baca juga: KPPPA minta pemerkosa dan pembunuh anak dijerat pasal berlapis