Jakarta (ANTARA) - Sepanjang sejarah republik ini hingga 2020, jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Perikanan Tangkap tercatat tidak pernah menembus angka Rp1 triliun.

Namun, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengungkapkan bahwa pada paruh terakhir Desember 2021, diketahui bahwa jumlah PNBP perikanan tersebut diketahui sudah hampir mencapai Rp1 triliun.

Bila dilihat berdasarkan data terakhir per 21 Desember malam, maka diketahui jumlahnya mencapai sekitar Rp920 miliar, dan KKP masih memiliki waktu sekitar sepekan untuk dapat mencapai Rp1 triliun.

Jumlah tersebut melesat melampaui capaian-capaian tahun sebelumnya, di mana realisasi PNBP Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap pada tahun-tahun sebelumnya adalah Rp643,6 miliar pada 2020, Rp559,7 miliar pada 2019, dan Rp519,33 miliar pada 2018.

Merefleksikan diri sejak dirinya memegang tampuk kepemimpinan di KKP sejak 23 Desember 2021, Menteri Trenggono mengaku bahwa dirinya sempat stres selama beberapa bulan terkait dengan PNBP perikanan karena kerap dihubungi oleh kementerian lain terkait mengenai PNBP perikanan, apakah bisa menembus angka tahun lalu.

Namun, dirinya bangga bahwa KKP pada tahun 2021 ini sudah bisa melakukan banyak hal termasuk mencapai jumlah PNBP 2021 yang meningkat pesat dibanding tahun sebelumnya. "Tahun 2022, kalau kita menggunakan tagline accelerate (akselerasi/percepatan), insya Allah kita akan bisa lebih cepat lagi," katanya.

Trenggono mengingat bagaimana saat dirinya mencanangkan bahwa potensi PNBP perikanan di tanah aAir sebetulnya bisa mencapai Rp12 triliun per tahun, maka banyak yang mencemooh serta tidak sedikit yang mempercayai hal tersebut.

Padahal, dirinya menyatakan telah melakukan perhitungan beserta evaluasi dari data-data internasional sehingga hal itu diyakini dapat tercapai, apalagi potensi produksi kelautan dan perikanan nasional sekitar Rp224 triliun.

Peningkatan PNBP pada tahun-tahun mendatang juga dinilai bakal terbantu dengan kebijakan penangkapan terukur yang bakal dijalankan pada 2022.

Dalam sejumlah kesempatan, Menteri Kelautan dan Perikanan juga menyebut bahwa kebijakan penangkapan terukur yang digaungkan pihaknya akan dapat membuka lapangan kerja sekaligus memberikan peluang bagi anak muda menjadi wirausahawan perikanan.

Hal itu, ujar Trenggono, karena peluang usaha terbuka lebar baik di bidang perikanan tangkap, budidaya, pemasaran, maupun pengolahan hasil perikanan. Apalagi, lanjutnya, pemerintah telah memberi kemudahan dalam hal perizinan berusaha serta pinjaman modal yang dapat dimanfaatkan untuk membangun maupun pengembangan usaha yang dirintis.

Ia berpendapat, kebijakan penangkapan terukur yang mulai diimplementasikan pada tahun 2022 di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) juga memberi peluang usaha cukup besar, di antaranya usaha pembuatan es, docking kapal, pemasaran hasil perikanan, hingga rumah makan di pelabuhan.

Bukan hal baru

KKP menyatakan bahwa konsep penangkapan terukur bukan hal baru. Filosofi konsep tersebut adalah berdasarkan kepada esensi pembatasan penangkapan ikan yang perlu dilakukan untuk menjaga jumlah stok ikan di kawasan perairan.

Dirjen Perikanan Tangkap KKP Zaini memaparkan dengan pengendalian penangkapan terukur maka pengendalian dilakukan dengan perizinan, yang dilakukan dengan adanya hasil tangkapan pelaku usaha perikanan berdasarkan kuota.

Dalam konteks Indonesia, maka Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berdasarkan kontrak (gabungan praproduksi dan pascaproduksi atau jumlah tangkapan yang didaratkan), sehingga pemasukan negara dapat diproyeksikan berdasarkan hasil alokasi sumber daya ikan.

Berdasarkan data KKP, total jumlah tangkapan yang diperbolehkan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, total ada 9,45 juta ton per tahun, dengan nilai produksi total seluruh Indonesia berdasarkan jumlah tersebut diperkirakan dapat mencapai hingga sekitar Rp229,3 triliun.

Dirjen Perikanan Tangkap KKP juga membantah tudingan bahwa penerapan kuota dalam tangkapan perikanan akan menghambat nelayan lokal, karena KKP dijamin akan mengakomodir nelayan lokal untuk mendapatkan kuota.

Zaini menuturkan pihaknya saat ini juga sedang melakukan pendataan di berbagai wilayah pengelolaan perikanan di beragam daerah Republik Indonesia, termasuk pelaku usaha yang sudah eksis.

Ia menegaskan bahwa konsep penangkapan terukur di Indonesia juga dipastikan tidak membolehkan kapal ikan asing, tetapi yang boleh masuk hanyalah modal yang berasal dari pihak asing.

Pengamat kelautan Abdul Halim meminta kebijakan penangkapan terukur yang akan diterapkan KKP pada 2022 harus dapat mengantisipasi potensi monopoli kuota penangkapan ikan oleh sejumlah pihak.

Menurut Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan itu, potensi bisa berpusatnya kuota perikanan kepada satu pihak berisiko menimbulkan diskriminasi perlakuan kepada warga negara, khususnya mereka yang berprofesi sebagai nelayan tradisional.

Ia berpendapat bahwa monopoli kuota perikanan juga berimbas pada privatisasi dan komersialisasi wilayah pesisir. "Jika hal ini terjadi, nelayan kecil kehilangan aksesnya ke laut dan aksesnya untuk menangkap ikan di laut sebagai mata pencaharian," katanya.

Ia juga menyoroti tentang prasyarat utama dalam penerapan konsep kebijakan penangkapan terukur, termasuk kuota penangkapan di dalamnya, apakah sudah tersosialisasikannya Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).

Meski sudah banyak sekali provinsi yang telah mengesahkan RZWP3K mereka, lanjutnya, tetapi pertanyaannya apakah RZWP3K tersebut sudah tersosialisasikan dengan baik kepada masyarakat perikanan, khususnya yang berskala kecil.

KKP bakal menerapkan kebijakan penangkapan terukur dengan memberlakukan zonasi di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) ke dalam tiga zonasi, yaitu zonasi penangkapan ikan berbasis kuota, zona penangkapan ikan non kuota, dan zona penangkapan ikan terbatas.

Dalam menentukan kuota tersebut, KKP menggunakan basis data yang dikeluarkan oleh Komnas Kajiskan yang tujuannya untuk menjaga populasi ikan di tiap zona. Sedangkan cara untuk memastikan ikan yang ditangkap sesuai dengan kuota dan zonasinya, KKP menyiapkan teknologi pengawasan berbasis satelit.

Pengawasan perikanan

Menteri Trenggono menegaskan bahwa pengawasan perikanan adalah salah satu hal vital dalam menjaga kesehatan laut, apalagi KKP menempatkan aspek kesehatan ekologi sebagai panglima pembangunan sektor kelautan dan perikanan nasional, karena kesehatan ekosistem laut akan menghasilkan ekonomi yang berkelanjutan.

Menurut dia, bila hanya fokus kepada ekonomi tetapi ekologinya hancur, maka hal itu juga akan merusak kondisi perekonomian ke depannya. Contohnya, bila sumber daya ikan diambil secara serampangan, maka ekonominya hanya akan naik sebentar, tetapi ke depannya tidak akan bisa berkembang lagi karena sumber daya ikannya jadi menipis.

Ekologi sebagai panglima juga selaras dengan konsep ekonomi biru yang saat ini sedang digaungkan oleh pemerintah. Potensi ekonomi biru di Indonesia diperkirakan mencapai 1,33 miliar dolar AS dan mampu menyerap 45 juta lapangan kerja.

Ekonomi biru dinilai akan menjaga kesehatan laut, peluang investasi, lapangan pekerjaan, ekonomi nasional karena distribusi pertumbuhan ekonomi terutama Indonesia timur, sehingga juga meningkatkan taraf hidup masyarakat di daerah.

Terkait pengawasan, KKP juga telah meluncurkan Database of Indonesian Vessels Authorized to Fish for Tuna (DIVA Tuna) untuk meningkatkan transparansi data berbagai kapal penangkap ikan tuna dan sejenisnya yang beroperasi di perairan nasional.

DIVA Tuna juga menyajikan daftar kapal penangkap tuna yang terdaftar di Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs). Sistem yang dikembangkan terintegrasi secara menyeluruh dengan sistem informasi kapal daerah di bawah 30 GT dan sistem informasi perizinan kapal ikan pusat berukuran di atas 30 GT.

KKP juga telah melakukan simulasi terkait penerapan sanksi administrasi berdasarkan UU Cipta Kerja, terkait dengan pengawasan mekanisme penangkapan terukur yang kerap digaungkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono.

Dirjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Laksda TNI Adin Nurawaluddin menyatakan kesiapan aparat dalam penerapan sanksi berdasarkan UU Cipta Kerja dipandang penting dalam rangka penerapan pengawasan penangkapan terukur dan merespons arus utama penegakan hukum saat ini yang lebih mendorong pendekatan untuk mencegah dan/atau memulihkan kerusakan sumber daya.

Adin juga menjelaskan bahwa perubahan paradigma penegakan hukum khususnya terkait dengan penerapan sanksi administratif sebagaimana amanat Undang-Undang Cipta Kerja memerlukan kesepahaman pemikiran dan persepsi antar aparat penegakan hukum di lapangan. Hal tersebut, lanjutnya, penting agar ada kesamaan standar dalam penanganan pelanggaran di bidang kelautan dan perikanan.

Tercatat pula bahwa selama tahun 2021 ini, KKP telah menangkap lebih dari 166 kapal pencuri ikan sebagai upaya untuk menyeimbangkan aktivitas perekonomian dengan menjaga kondisi ekologi dari ekosistem perairan nasional.

Pada periode yang sama juga telah memeriksa total sebanyak 2.672 kapal (2.606 kapal ikan Indonesia dan 66 kapal ikan asing). Dari pemeriksaan tersebut, KKP melalui PSDKP juga telah menangani sebanyak 212 kasus hukum, di mana sebanyak 157 kasus dilanjutkan ke proses hukum pidana dan sebanyak 144 kasus telah memperoleh putusan yang inkrah atau berkekuatan hukum tetap.

Selama tahun 2021 ini pula, KKP tercatat telah berhasil mengamankan hingga sejumlah 101 pelaku aktivitas destructive fishing atau penangkapan ikan dengan cara yang merusak.

Dengan pengawasan sektor kelautan dan perikanan yang tepat, maka diyakini kebijakan penangkapan terukur pada tahun 2022 akan terlaksana dengan baik sehingga PNBP juga diharapkan dapat melesat kembali.

Baca juga: KKP: PNBP Perikanan 2021 hampir capai Rp1 triliun
Baca juga: KNTI: Pembangunan pesisir jangan menitikberatkan kepada capaian PNBP
Baca juga: KKP: PNBP Perikanan akan kembali untuk kepentingan nelayan