Jakarta (ANTARA News) - Ogah menipu kata hati dengan buru-buru mengucapkan "Arrivederci" kepada mereka yang mencintai sepak bola sebagai karnaval, Carlo Ancelotti mengajak publik agar saling menukar suka cita dan saling menukar canda-tawa seraya menumbuhkan cinta.
Sorot mata sebagai dasar dari setiap konflik manusia seakan dikoreksi kemudian diganti Carletto dengan tatapan berbelaskasih kepada sesama. Lantas, bukankah ia telah dipecat dari kubu The Blues?
Maret 2011, ia dinobatkan sebagai pelatih terbaik Premier League bersama defender David Luiz. Akhir Mei 2011, Carlo Ancelotti didepak dari Chelsea meskipun ada embel-embel pemanis kata dari elite klub, "Ia akan selalu diterima di Stamford Bridge...atas posisinya dalam sejarah kami."
Teringat akan beningnya mata air Trevi di kota abadi Roma, Ancelotti memaknai sepak bola sebagai karnaval. Baginya, sepak bola mengkritik kekuasaan yang mengandalkan prinsip roti dan sirkus atau makanan dan hiburan. Meminjam bahasa sehari-hari yang tidak njlimet, nonton dan nikmati aja sepak bola, enggak usah dan enggak perlu mikir politik.
Bagi warga Roma, hidup itu pendek tetapi seni itu abadi (bahasa Latin: Ars Longa, Vita Brevis). Mereka ingin agar hidup yang pendek diisi dengan terus mencintai dan terus menumbuhkan nostalgia akan segala yang indah. Canda tawa dalam karnaval sepak bola.
Tertawa merangkul kematian, kata orang Roma. Yang diterima Carletto justru sebaliknya, yakni pemecatan. Pemecatan dalam karier seorang pelatih bola sama halnya dengan mengulangi kredo konflik yang dipopulerkan filsuf Jean Paul Sartre.
Dalam konflik, "aku takluk dan tunduk saja kepadanya. Sementara dia menatapku, aku menemukan diriku sendiri". Dan Carletto tahu betul bahwa karnaval sepak bola memuat sadisme.
Dua jam setelah kalah 0-1 dari Everton, para petinggi Chelsea seakan membuka kotak Pandora bagi Chelsea. Sampai-sampai seorang pengamat sepakbola Inggris menulis judul ulasannya sebagai episode gila (dan sadistis) di opera sabun Stamford Bridge. Episode gila dan sadistis?
Mata publik terarah kepada pemilik Chelsea Roman Abramovich. Raja minyak asal Rusia itu dituding sebagai sosok yang haus gelar tanpa mau peduli dengan jalannya proses alias ia suka "yang instan-instan" saja.
Dengan dimodali anggota skuad yang boleh dibilang tidak lagi muda usia, tulis Jason Burt dalam harian Telegraph, Abramovich kini sedang bergelut dan bergulat dengan kata cukup adalah cukup yang merupakan intipati dari mencintai.
Sejak mendarat dari AC Milan akhir musim 2008-2009, pada musim pertamanya, pelatih asal Italia itu membawa Chelsea menjuarai Piala FA dan Premier League. Dia telah lebih dulu mencintai sebelum dicintai. Carletto berkata, aku harus kehilangan diriku agar aku dapat menemukan diriku.
Musim ini, pasukannya memang tidak membawa gelar apa-apa buat Abramovich. Chelsea terjangkit paceklik gelar. Bos mana yang tidak murka dengan berkata bahwa cukup adalah cukup, karena gelar adalah gelar. Bagi bilioner Rusia itu, sepak bola telah menimba makna kemenduaan dan kemunafikan. Ia berguru kepada filsuf Rousseau.
Pada abad kesembilan belas, Rousseau menyatakan bahwa topeng memuat kemenduaan dan kemunafikan yang justru ada dalam karnaval. Bagi Abramovich, sepak bola sebagai karnaval hendaknya dimainkan sebagai laga kehidupan yang disesaki dengan topeng-topeng kehidupan. Caranya, isilah hidup dengan sikap kurang beradab meski diwarnai semangat canda tawa. Itulah esensi sepak bola.
Akibatnya, di Piala Carling, Chelsea terdepak pada putaran ketiga. Di Piala FA, mereka tersingkir di putaran keempat. Di Liga Champions, mereka terbuang di babak perempat final.
"Penampilan musim lalu jauh dari harapan dan klub merasa ini adalah waktu yang tepat untuk membuat perubahan musim ini sebagai persiapan menghadapi musim depan," kata manajemen Chelsea melalui situs resminya.
Dan Ancelotti mendefinisikan cukup adalah cukup dalam kegembiraan mencintai Chelsea. "Klub harus menilai pekerjaan saya dan bersikap obyektif. Jika mereka memutuskan untuk mengganti manajer, itu bukan masalah," ujarnya. "Anda tak akan melihat saya menangis atau melakukan sesuatu. Saya akan menerima keputusan klub dan mencari `solusi` lain. Ini sepak bola," katanya pula.
Mencintailah, kata Ancelotti. Dalam pengorbanan, Carletto ada dan ia mengutamakan orang lain. Ia tampil di laga sepak bola Inggris sebagai pemberian diri bagi orang lain. Ia mengisi hari-harinya di Stamford Bridge dengan mengukir kegembiraan bagi orang lain.
Pemain sayap Chelsea, Florent Malouda punya ungkapan menarik. "Hanya karena kami telah terlempar di tiga kompetisi (Liga Champions, Piala FA, dan Piala Carling), orang di luar klub mengatakan kami seharusnya mengubah segalanya. Semua orang ingin memberikan tekanan kepada Ancelotti, tetapi dia benar-benar tenang. Dia tahu bahwa tim mendukungnya. Itu yang paling penting baginya," katanya seperti dilansir dari Daily Telegraph.
Setelah Ancelotti hengkang, kini sejumlah nama pelatih beken ngantre ke Chelsea. Sebut saja, Guus Hiddink, Andre Villas-Boas, Marco van Basten, Harry Redknapp, Mark Hughes. Mereka perlu berguru kepada mantan pelatih Juventus itu yang selalu berujar kepada anak buahnya, mencintailah dengan segenap hati dan sepenuh budi.
Bagi pria yang lahir di Reggiolo, Italia, cinta sejati adalah cinta yang mengakui cita-cita hidup orang lain dan menghormati pandangan hidupnya, bukan dengan menghidup-hidupkan konflik. Jangan lupa, masih ada satu nostalgia sarat duka di hati kubu Chelsea.
Satu pekerjaan rumah bagi pelatih pengganti Carletto, menghapus kenangan pedih tahun 2010. Waktu itu, Chelsea kalah mengejutkan 0-3 di kandang atas Sunderland dan menang hanya sekali dalam sembilan lama setelah itu. Ini nasib terburuk Chelsea dalam 15 tahun!
(A024)
Kata Ancelotti, Mencintailah!
24 Mei 2011 12:48 WIB
Manajer Sepakbola Chelsea, Carlo Ancelotti. (FOTO ANTARA/REUTERS/Stringer)
Pewarta: A.A. Ariwibowo
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2011
Tags: