Jambi (ANTARA) - Mengakhiri 2021 masih dalam situasi pandemi COVID-19 dan telah bermutasi menjadi virus omicron yang penularannya dinilai jauh lebih cepat dibanding varian sebelumnya, pandemi ini telah meluluhlantahkan peradaban dunia baik ekonomi dan kehidupan bermasyarakat.

Selain diramaikan mutasi omicron yang telah ditemukan di wisma atlet Kemayoran Jakarta, pekan lalu, ini juga masih diramaikan kasus sengketa tanah ulayat milik masyarakat adat.

Masyarakat adat adat menuntut hak ulayatnya yang sudah dimiliki dan dikelola secara turun temurun harus berhadapan dengan pemerintah daerah dan pengusaha, kata Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Adat (Apha) Indonesia, Dr Laksanto Utomo.

Negara Indonesia menganut pluralitas dalam bidang hukum. Ada tiga sistem hukum yang keberadaan nya diakui negara dan hingga kini masih tetap berlaku yakni hukum barat (baca termasuk konvensi), hukum agama dan hukum adat, oleh karenanya masih banyak masyarakat yang menggunakan hukum adat dalam mengatur kegiatan sehari-harinya serta dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang ada.

Setiap wilayah di Indonesia mempunyai tata hukum adat nya masing-masing untuk mengatur kehidupan bermasyarakat yang beraneka ragam yang sebagian besar hukum adat itu tidak dalam bentuk aturan yang tertulis.

Seorang antropolog dari Universitas Leiden Belanda Van Vollehoven yang mendalami hukum adat di Hindaia Belanda, (Indonesia) meninggal pada 1933 atau 12 tahun sebelum Indonesia merdeka.

Vollehoven yang dijuluki bapak hukum adat, karena pemikirannya hingga kini masih diserap dalam berbagai pembuatan peraturan perundang-undangan, hukum adat, keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dimodifikasikan, artinya hukum adat suatu norma atau peraturan tidak tertulis tetapi berlaku.

Norma tersebut dibuat guna mengatur tingkah laku masyarakat dan memiliki sanksi hukum berlaku di lingkungan mereka itu. Meskipun norma itu tidak tertulis, semua ahli hukum internasional sependapat bahwa keberlakuan hukum adat wajib diakui dan dilindungi oleh negara, termasuk aset tanah yang dikuasai dari dulu hingga kini, kata Laksanto Utomo.

"Oleh karenanya, dalam amandemen Undang-undang Dasar 1945 (baca pasca reformasi) Pof Dr Amien Rais, Ginandjar Kartasamita, Ir Sucipto dan kawan-kanwan menilai penting untuk menambahkan salah satu pasal khusus tentang perlindungan kaum adat beserta tanahnya, karena terlihat secara nyata eksistensi mereka kian terpinggirkan," katanya.

Merujuk pasal 18 B ayat (2) UUD RI menyebutkan 'Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang'.

"Itu artinya negara telah hadir mengakui dan akan melindungi keberadaan hukum adat serta konstitusional haknya dalam sistem hukum Indonesia," kata Laksanto Utomo.

Jauh sebelum reformasi, Presiden Soekarno dalam menyusun UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Agraria, sudah memasukkan masalah pengakuan dan perlindungan itu dalam Pasal 3 UU tersebut antara lain, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat.

Sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Dalam perspektif itu, keberadaan hukum adat tidak boleh pertentangan dengan peratuan yang lebih tinggi, seperti UU yang menyangkut investasi dan lainnya, namun perlu diingat keberadaan hukum adat dan hak tanah ulayat, dilindungi oleh hukum dasar UU (UUD RI), UU Pokok Agraria sebagai hukum positif nasional.

Laksanto mengutamakan, sehingga merupakan amanah konstitusi yang tidak tidak dapat dikesampingkan lantaran mereka tidak mempunyai kekuasaan atau daya paksa dalam mempertahankan hak-haknya.

Baca juga: KSP bantu mendorong pemenuhan hak Suku Anak Dalam Jambi

Amanah jangan diciderai
Sementara itu Yusuf MS pengajar hukum adat mengakui dan melindungi kaum adat dan hak ulayatnya, merupakan amanah konstitusi khuussnya Pasal 18 B UUD RI. Dengan demikian, mengakhiri tahun 2021 dan akan memasuki tahun baru 2022, seyoginya semua pejabat pemerintah pusat dan daerah termasuk aparat Kepolisian dan TNI sama-sama menjaga dan melindungi kaum adat dan kepemiliknnya jangan justru menciderai konstitusi.

Kasus sengketa lahan miliki masyarakat adat Dayak Modang Long Wai di Desa Long Bentuk, Kecamatan Busang, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Masyarakat adat menuntut hak ulayatnya yang digunakan oleh Perusahaan Perkebunan Sawit dimana penggunaan lahan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Kutai Timur pada 2006 memberikan hak 14.350 hektare lahan untuk membuka perkebunan sawit di atas lahan yang dikuasai oleh kaum adat.

Eksploitasi pariwisata juga terjadi di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dimana eksploitasi pariwisata ini berpotensi menimbulkan erosi kultural, berdampak ekologi dimana perjumpaan antara kebijakan yang dikemas dalam “hukum negara“ (baik yang dibuat pemerintah daerah maupun pemerintah pusat) tidak dapat bersimbiosis yang saling menunjang dalam lingkup sosial lokal (kawasan kultural), yang di dalamnya terdapat masyarakat hukum adat.

Atas contoh kasus di atas untuk mengakhiri tahun 2021, tentu para praktisi hukum adat yang tergabung dalam Assosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia merasa prihatin terhadap terjadinya sengketa tanah ulayat yang menimpa masyarakat adat di Indonesia.

"Masyarakat adat yang dengan kearifan lokalnya notabene adalah penjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan menjadi korban dari kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Pusat maupun Daerah sehingga masyarakat adat harus tersingkirkan dari tanah adat milik mereka sendiri," kata Yusuf.

Guna melindungi hal itu, sejak lama para pengajar hukum adat berjuang untuk mengajukan RUU Masyarakat Hukum Adat, namun harapan itu hingga akhir tahun tidak juga terealisasi, sampai akhir 2021 yang masih dilanda Pandemi COVID-19, masyarakat adat telah menunjukkan kedisiplinan dan kepatuhan mereka dalam memutus rantai penyebaran virus itu.

Kearifan masyarakat adat telah berperan membantu meringankan beban masyarakat. Kebiasaan gotong rotong, sanitasi lingkungan secara tradisional serta membagikan sebagian hasil panen sebagai kearifan lokal masyarakat adat dalam kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan.

"Oleh karenanya, semua pihak perlu menjaga dan mengamalkan amanah konstitusi UUD RI dan peraturan lainnya seperti Perpres No 7 Tahun 2005, jo Perpress Nomor 39 Tahun 2005 tentang sistem dan politik hukum Indonesia yang perlu menghormati serta memperkuat kearifan lokal dan hukum adat," kata Yusuf.

Semoga pemerintah bersama DPR pada 2022 nanti tetap berkomitmen kuat untuk membahas dan pengesahan RUU MHA menjadi Undang-Undang, sebagai impian masyarakat adat Indonesia.

Baca juga: Kapolda Jambi kumpulkan tokoh masyarakat dan adat

Baca juga: Anggota DPR: Perlu kemauan politik selesaikan RUU Masyarakat Adat