Jakarta (ANTARA) - Peneliti Institute of Economics Development and Finance (Indef) Agus Herta Sumarto mengatakan pemerintah perlu duduk bersama dengan pelaku usaha dan tenaga kerja untuk merumuskan aturan pengupahan dalam turunan Undang-Undang Cipta Kerja.

"Kita coba cari win-win solution untuk menguntungkan seluruh pihak baik tenaga kerja maupun pelaku usaha," kata Agus dalam diskusi daring yang dipantau di Jakarta, Senin.

Menurut dia, sistem pengupahan tenaga kerja semestinya juga bergantung pada produktivitas tenaga kerja.

Sementara, pada PP No 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang merupakan turunan dari UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, kenaikan upah tenaga kerja diukur berdasarkan salah satu unsur di antara inflasi atau pertumbuhan ekonomi.

"Selain itu ada bobot tambahan yang akan mengurangi tingkat kenaikan upah tenaga kerja tiap tahun. Ini dapat diprotes keras oleh teman-teman tenaga kerja, " kata Agus.

Di sisi lain, pelaku usaha juga dapat dirugikan apabila kenaikan upah tenaga kerja setiap tahun tidak sesuai dengan produktivitasnya.

Berdasarkan data Organisasi Perdagangan Eksternal Jepang (JETRO) tahun 2020, produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di urutan kelima dibandingkan negara-negara lain di Asia dengan rata-rata produksi sebesar 26 ribu dolar AS per tahun. Produktivitas tenaga kerja Indonesia ini pun lebih rendah dibandingkan Singapura, China, Jepang, dan Malaysia.

Sementara itu kenaikan gaji tenaga kerja Indonesia yang ratar-rata 7,1 persen secara year on year relatif lebih tinggi dibandingkan China dan Thailand yang kenaikan upahnya rata-rata sebesar 5,4 dan 3,9 persen per tahun.

"Jadi sepertinya memang tujuan pemerintah membuat UU Cipta Kerja pemerintah ingin mengubah kondisi pasar tenaga kerja yang diharapkan dengan perubahan itu dapat lebih atraktif bagi pelaku usaha untuk menanamkan modalnya," imbuhnya.

Namun demikian, ia mengatakan diperlukan sistem pengupahan yang adil sehingga tidak mengurangi kesejahteraan tenaga kerja ataupun merugikan pelaku usaha dengan mempertimbangkan produktivitas tenaga kerja.

"Sehingga saya kira kalau mau diubah dengan produktivitas itu, bukan dengan bobot yang menjadi pengurangnya. Juga bukan dengan menjadikan pertumbuhan ekonomi atau inflasi untuk dipilih salah satu sebagai penambah," ucapnya.

Selain terkait upah tenaga kerja, ia menilai pemerintah juga masih perlu membenahi permasalahan lain seperti korupsi dan birokrasi yang tidak efisien guna menarik lebih banyak investasi masuk ke Indonesia.

"Berdasarkan survey Ease of Doing Business (EoDB) yang paling dibutuhkan adalah memberantas korupsi dan efisiensi birokrasi. Memang ada soal tenaga kerja tapi bila dibanding korupsi dan efisiensi birokrasi sepertinya soal tenaga kerja masih kalah genting untuk dibenahi," katanya