BPHN: Perkuat peran paralegal atasi belum meratanya PBH dan advokat
20 Desember 2021 13:01 WIB
Tangkapan layar - Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Widodo Ekatjahjana dalam webinar nasional bertajuk “Refleksi 10 Tahun UU Bantuan Hukum: Akses terhadap Keadilan di Tengah Pandemi”, dipantau dari Jakarta, Senin (20/12/2021). ANTARA/Tri Meilani Ameliya.
Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Widodo Ekatjahjana mengatakan penguatan peran paralegal diperlukan untuk mengatasi keberadaan pemberi bantuan hukum (PBH) dan advokat yang belum merata di seluruh Indonesia.
“Perlu upaya atau langkah-langkah strategis terhadap belum meratanya jumlah PBH dan keberadaan advokat di seluruh Indonesia, yaitu dengan memperkuat peran paralegal,” ujar Widodo Ekatjahjana saat menjadi pembicara kunci webinar nasional bertajuk “Refleksi 10 Tahun UU Bantuan Hukum: Akses terhadap Keadilan di Tengah Pandemi”, dipantau dari Jakarta, Senin.
Menurutnya, penguatan peran paralegal sebagai seseorang berketerampilan hukum, namun bukan merupakan pengacara profesional dapat bermanfaat bagi masyarakat yang terkena masalah hukum, terutama yang kurang mampu secara ekonomi atau buta hukum sehingga dapat memperoleh bantuan untuk memperjuangkan keadilan.
Ia menyampaikan terdapat tiga pihak utama dalam penyelenggaraan bantuan hukum di Indonesia.
Baca juga: Menteri LHK: MPA Paralegal upaya pengendalian kebakaran hutan di tapak
Pertama adalah negara melalui Kemenkumham sebagai penyelenggara. Lalu kedua, ada PBH yang terdiri atas organisasi bantuan hukum (OBH) yang telah terakreditasi oleh Menteri Hukum dan HAM. Selanjutnya, ada pula masyarakat, khususnya mereka yang kurang mampu secara ekonomi dan buta hukum sebagai pihak penerima bantuan hukum.
Namun sejauh ini, ujar Widodo, periode akreditasi dari tahun 2019-2021 terhadap PBH belum menunjukkan persebarannya yang merata di seluruh kabupaten/kota di Indonesia.“Dalam periode akreditasi tahun 2019 sampai dengan 2021, sementara waktu baru terjaring 524 pemberi bantuan hukum. Tentu saja, 524 PBH belum merata di setiap kabupaten/kota, tetapi baru tersebar di 215 kabupaten/kota,” ungkapnya.
Baca juga: LBH Jakarta apresiasi capaian 10 tahun implementasi UU Bantuan Hukum
Baca juga: Catatan 2021 - LBH Jakarta: Aduan terbanyak terkait masyarakat urban
Widodo menyampaikan bahwa masyarakat Indonesia di perdesaan masih mengalami kesulitan untuk memperoleh bantuan hukum, terlebih desa di 62 kabupaten/kota dari 11 provinsi yang dikategorikan sebagai wilayah terluar, terpencil, dan tertinggal.
Meskipun di antara mereka ada yang mampu secara ekonomi, katanya, layanan bantuan hukum masih sulit untuk ditemukan karena terkendala akses, pengetahuan, dan penghubung melalui PBH.
“Mereka yang tinggal jauh dari pusat-pusat layanan bantuan hukum kesulitan berhubungan dengan pengacara dan advokat yang lebih banyak berbasis di daerah perkotaan,” ucap Widodo.
Oleh karena itu, kata Widodo, penguatan peran paralegal semakin diperlukan untuk memudahkan seluruh masyarakat dalam mengakses bantuan hukum.
“Perlu upaya atau langkah-langkah strategis terhadap belum meratanya jumlah PBH dan keberadaan advokat di seluruh Indonesia, yaitu dengan memperkuat peran paralegal,” ujar Widodo Ekatjahjana saat menjadi pembicara kunci webinar nasional bertajuk “Refleksi 10 Tahun UU Bantuan Hukum: Akses terhadap Keadilan di Tengah Pandemi”, dipantau dari Jakarta, Senin.
Menurutnya, penguatan peran paralegal sebagai seseorang berketerampilan hukum, namun bukan merupakan pengacara profesional dapat bermanfaat bagi masyarakat yang terkena masalah hukum, terutama yang kurang mampu secara ekonomi atau buta hukum sehingga dapat memperoleh bantuan untuk memperjuangkan keadilan.
Ia menyampaikan terdapat tiga pihak utama dalam penyelenggaraan bantuan hukum di Indonesia.
Baca juga: Menteri LHK: MPA Paralegal upaya pengendalian kebakaran hutan di tapak
Pertama adalah negara melalui Kemenkumham sebagai penyelenggara. Lalu kedua, ada PBH yang terdiri atas organisasi bantuan hukum (OBH) yang telah terakreditasi oleh Menteri Hukum dan HAM. Selanjutnya, ada pula masyarakat, khususnya mereka yang kurang mampu secara ekonomi dan buta hukum sebagai pihak penerima bantuan hukum.
Namun sejauh ini, ujar Widodo, periode akreditasi dari tahun 2019-2021 terhadap PBH belum menunjukkan persebarannya yang merata di seluruh kabupaten/kota di Indonesia.“Dalam periode akreditasi tahun 2019 sampai dengan 2021, sementara waktu baru terjaring 524 pemberi bantuan hukum. Tentu saja, 524 PBH belum merata di setiap kabupaten/kota, tetapi baru tersebar di 215 kabupaten/kota,” ungkapnya.
Baca juga: LBH Jakarta apresiasi capaian 10 tahun implementasi UU Bantuan Hukum
Baca juga: Catatan 2021 - LBH Jakarta: Aduan terbanyak terkait masyarakat urban
Widodo menyampaikan bahwa masyarakat Indonesia di perdesaan masih mengalami kesulitan untuk memperoleh bantuan hukum, terlebih desa di 62 kabupaten/kota dari 11 provinsi yang dikategorikan sebagai wilayah terluar, terpencil, dan tertinggal.
Meskipun di antara mereka ada yang mampu secara ekonomi, katanya, layanan bantuan hukum masih sulit untuk ditemukan karena terkendala akses, pengetahuan, dan penghubung melalui PBH.
“Mereka yang tinggal jauh dari pusat-pusat layanan bantuan hukum kesulitan berhubungan dengan pengacara dan advokat yang lebih banyak berbasis di daerah perkotaan,” ucap Widodo.
Oleh karena itu, kata Widodo, penguatan peran paralegal semakin diperlukan untuk memudahkan seluruh masyarakat dalam mengakses bantuan hukum.
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: