BMKG tekankan pentingnya manajemen air hadapi cuaca ekstrem
16 Desember 2021 23:04 WIB
Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam seminar bertema “Water Resource Management in Responding of La-Nina Phenomenon” di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Selasa (14/12/2021). (ANTARA/HO-BMKG)
Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati menekankan pentingnya manajemen pengelolaan air dalam menghadapi cuaca ekstrem akibat perubahan iklim.
Menurut Dwikorita, pemerintah perlu menyiapkan berbagai skenario dari yang paling risiko rendah hingga skenario terburuk dengan risiko yang sangat tinggi, sebab pola cuaca ekstrem di Indonesia saat ini jauh lebih sering terjadi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Fenomena siklon bisa dikatakan sangat jarang terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia, namun, selama 10 tahun terakhir kejadian siklon tropis semakin sering terjadi. Kondisi ini menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim adalah benar-benar nyata,” ujar Dwikorita dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Dwikorita menjelaskan biasanya di Indonesia hanya terkena bagian ekornya siklon, tapi sekarang justru bibit siklon tersebut muncul dan terbentuk di wilayah Indonesia.
Terakhir, Siklon Tropis Seroja yang mengakibatkan bencana banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada April 2021.
Baca juga: BMKG prakirakan hujan lebat pada pekan Natal dan Tahun Baru
Cuaca ekstrem akibat La Nina maupun siklon tropis, debit air akan mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Kondisi ini semakin diperparah dengan periode hujan yang terus berubah dari tahun ke tahun sejak adanya perubahan iklim akibat pemanasan global.
Ketidaksesuaian kapasitas dan kesiapan dalam menghadapi tingginya curah hujan inilah, kata dia, yang lantas membuat air meluap dan meluber tidak terkendali sehingga menimbulkan bencana banjir.
Hal itu ditambah pola hidup masyarakat yang kerap membuang sampah sembarangan sehingga membuat sungai semakin dangkal dan penuh sesak sampah.
“Manajemen air dari hal kecil, seperti irigasi di desa dan perkotaan hingga waduk penampung air yang dimiliki Indonesia saat ini sejatinya sudah bagus, hanya saja perubahan iklim membuat semuanya menjadi berbeda,” ujar dia.
Dwikorita menyebut bahwa saluran irigasi, sungai, hingga waduk tidak siap dan belum dirancang dalam menghadapi pola cuaca ekstrem saat perubahan iklim.
Oleh karena itu, BMKG mendorong agar manajemen pengelolaan air di Indonesia juga turut mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan pola perubahan iklim yang ada.
Baca juga: Kemenhub ingatkan sektor penerbangan soal cuaca ekstrem
Baca juga: BMKG: Ada peningkatan potensi cuaca ekstrem dalam sepekan ke depan
Menurut Dwikorita, pemerintah perlu menyiapkan berbagai skenario dari yang paling risiko rendah hingga skenario terburuk dengan risiko yang sangat tinggi, sebab pola cuaca ekstrem di Indonesia saat ini jauh lebih sering terjadi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Fenomena siklon bisa dikatakan sangat jarang terjadi di wilayah tropis seperti Indonesia, namun, selama 10 tahun terakhir kejadian siklon tropis semakin sering terjadi. Kondisi ini menunjukkan bahwa dampak perubahan iklim adalah benar-benar nyata,” ujar Dwikorita dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Dwikorita menjelaskan biasanya di Indonesia hanya terkena bagian ekornya siklon, tapi sekarang justru bibit siklon tersebut muncul dan terbentuk di wilayah Indonesia.
Terakhir, Siklon Tropis Seroja yang mengakibatkan bencana banjir bandang dan longsor di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada April 2021.
Baca juga: BMKG prakirakan hujan lebat pada pekan Natal dan Tahun Baru
Cuaca ekstrem akibat La Nina maupun siklon tropis, debit air akan mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Kondisi ini semakin diperparah dengan periode hujan yang terus berubah dari tahun ke tahun sejak adanya perubahan iklim akibat pemanasan global.
Ketidaksesuaian kapasitas dan kesiapan dalam menghadapi tingginya curah hujan inilah, kata dia, yang lantas membuat air meluap dan meluber tidak terkendali sehingga menimbulkan bencana banjir.
Hal itu ditambah pola hidup masyarakat yang kerap membuang sampah sembarangan sehingga membuat sungai semakin dangkal dan penuh sesak sampah.
“Manajemen air dari hal kecil, seperti irigasi di desa dan perkotaan hingga waduk penampung air yang dimiliki Indonesia saat ini sejatinya sudah bagus, hanya saja perubahan iklim membuat semuanya menjadi berbeda,” ujar dia.
Dwikorita menyebut bahwa saluran irigasi, sungai, hingga waduk tidak siap dan belum dirancang dalam menghadapi pola cuaca ekstrem saat perubahan iklim.
Oleh karena itu, BMKG mendorong agar manajemen pengelolaan air di Indonesia juga turut mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan pola perubahan iklim yang ada.
Baca juga: Kemenhub ingatkan sektor penerbangan soal cuaca ekstrem
Baca juga: BMKG: Ada peningkatan potensi cuaca ekstrem dalam sepekan ke depan
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2021
Tags: