Jakarta (ANTARA) - Pemerhati pendidikan dari Universitas Paramadina Mohammad Abduhzen menyoroti kekurangan dalam proses pendidikan karakter yang dijalankan di sekolah-sekolah.

"Proses pendidikan karakter memang betul untuk membentuk seutuhnya karakter agar menjadi manusia berbudaya. Namun sesungguhnya proses pendidikan yang benar adalah masuk di dalamnya pembentukan karakter," katanya di Jakarta, Rabu.

"Selama ini menganggap pendidikan karakter hanya berisi pelajaran agama, budi pekerti, PPKN, tapi lupa bahwa karakter sangat dipengaruhi oleh pelajaran matematika dan ilmu-ilmu scientific seperti biologi, fisika, kimia," ia menambahkan.

Ia mengemukakan bahwa basis pembentukan karakter adalah kemampuan berpikir logis dan rasional, dan kemampuan itu bisa diasah melalui pelajaran sains.

Abduhzen mengatakan bahwa skor yang masih rendah dalam penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menunjukkan bahwa peserta didik di Indonesia belum dibiasakan berpikir secara ilmiah.

Menurut penilaian yang ditujukan untuk mengukur kemampuan peserta didik pada rentang usia 15 tahun dalam literasi sains, matematika, dan membaca itu, Indonesia pada 2018 menempati peringkat ke 71 dari 77 negara OECD dengan skor PISA 382.

Abduhzen menekankan pentingnya membangun kemampuan bernalar dan berbahasa dalam pembentukan pribadi berkarakter unggul.

"Proses belajar mengajar harus menggunakan proses dialogis dengan penggunaan bahasa yang benar sebagai media pencerdasan. Oleh karena itu membenahi bahasa berarti sedang membenahi cara berpikir," katanya.

Selain itu, dia menyampaikan bahwa evaluasi harus dilakukan untuk mengetahui masalah-masalah dalam penyelenggaraan pendidikan serta memperbaikinya.

Baca juga:
Gandhes Luwes memperkuat pendidikan karakter di Yogyakarta
Mendikbud: Orang tua berperan penting dalam pendidikan karakter selama PJJ