PKJS UI: Penyederhanaan struktur tarif CHT masih jauh dari ideal
14 Desember 2021 23:28 WIB
Tangkapan layar Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) Aryana Satrya (kanan) dalam konferensi pers daring, Selasa (14/12/2021). (ANTARA/Sanya Dinda)
Jakarta (ANTARA) - Ketua Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI) Aryana Satrya mengatakan keputusan Kementerian Keuangan menyederhanakan golongan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) dari 10 menjadi 8 golongan masih jauh dari ideal.
"Kami menyambut adanya penyederhanaan struktur CHT dari 10 menjadi 8 golongan. tapi jumlah layer ini masih jauh dari ideal. Studi Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional) mengatakan struktur tarif itu 3 sampai 5, jadi 8 ini masih terlalu banyak," kata Aryana dalam konferensi pers daring yang dipantau di Jakarta, Selasa.
Menurutnya, jumlah golongan dan tarif CHT bisa digunakan untuk menurunkan prevalensi merokok anak dari sekitar 9 persen menjadi 8,7 persen dan menurunkan prevalensi stunting pada usia balita menjadi 19 persen di 2024 sebagaimana target pemerintah.
Berdasarkan data yang ia kumpulkan, perilaku merokok anak-anak di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama cenderung dipengaruhi teman sebaya, sementara anak-anak SMA dipengaruhi antara lain oleh harga rokok yang masih murah.
"Kenaikan cukai rokok yang tidak signifikan, tidak memberikan perubahan harga rokok di pasaran. Anak-anak dan masyarakat pun memiliki pilihan untuk beralih ke rokok yang lebih murah karena struktur tarif CHT yang masih memiliki banyak lapisan," katanya.
Karena itu, menurutnya, harga rokok perlu dibuat lebih mahal agar tidak terjangkau oleh anak-anak dan orang dewasa. Pasalnya, orang tua yang mengalihkan pengeluaran makanan sumber protein dan karbohidrat menjadi pengeluaran rokok dapat membuat anaknya mengalami stunting.
"Anak dari orang tua yang merokok memiliki kemungkinan mengalami stunting lebih dari 5,5 persen dibandingkan anak bukan perokok. Anak-anak ini rata-rata 1,5 kilogram lebih ingan dan 0,34 cm lebih rendah dibandingkan anak-anak dari orang tua yang tidak merokok," imbuh Aryana.
Selain struktur dan tarif CHT yang masih belum ideal, penurunan prevalensi merokok juga sulit dilakukan karena rokok masih bisa dijual secara eceran. Di DKI Jakarta setiap 1 kilometer terdapat 15 warung yang menjual rokok secara eceran.
"Anak usia sekolah sangat mudah untuk mengakses pembelian rokok eceran karena masih terdapat warung rokok dengan radius kurang atau sama dengan 100 meter di sekitar area sekolah," ucapnya.
Penjualan rokok secara eceran per minggu dapat mencapai lebih dari 300 batang dengan harga per batang berkisar Rp1.500. Lebih dari 50 persen rokok dapat dibeli dengan cara berhutang sehingga semakin memudahkan orang mengkonsumsi rokok meski sedang tidak memiliki uang.
"Kami menyambut adanya penyederhanaan struktur CHT dari 10 menjadi 8 golongan. tapi jumlah layer ini masih jauh dari ideal. Studi Bappenas (Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional) mengatakan struktur tarif itu 3 sampai 5, jadi 8 ini masih terlalu banyak," kata Aryana dalam konferensi pers daring yang dipantau di Jakarta, Selasa.
Menurutnya, jumlah golongan dan tarif CHT bisa digunakan untuk menurunkan prevalensi merokok anak dari sekitar 9 persen menjadi 8,7 persen dan menurunkan prevalensi stunting pada usia balita menjadi 19 persen di 2024 sebagaimana target pemerintah.
Berdasarkan data yang ia kumpulkan, perilaku merokok anak-anak di Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama cenderung dipengaruhi teman sebaya, sementara anak-anak SMA dipengaruhi antara lain oleh harga rokok yang masih murah.
"Kenaikan cukai rokok yang tidak signifikan, tidak memberikan perubahan harga rokok di pasaran. Anak-anak dan masyarakat pun memiliki pilihan untuk beralih ke rokok yang lebih murah karena struktur tarif CHT yang masih memiliki banyak lapisan," katanya.
Karena itu, menurutnya, harga rokok perlu dibuat lebih mahal agar tidak terjangkau oleh anak-anak dan orang dewasa. Pasalnya, orang tua yang mengalihkan pengeluaran makanan sumber protein dan karbohidrat menjadi pengeluaran rokok dapat membuat anaknya mengalami stunting.
"Anak dari orang tua yang merokok memiliki kemungkinan mengalami stunting lebih dari 5,5 persen dibandingkan anak bukan perokok. Anak-anak ini rata-rata 1,5 kilogram lebih ingan dan 0,34 cm lebih rendah dibandingkan anak-anak dari orang tua yang tidak merokok," imbuh Aryana.
Selain struktur dan tarif CHT yang masih belum ideal, penurunan prevalensi merokok juga sulit dilakukan karena rokok masih bisa dijual secara eceran. Di DKI Jakarta setiap 1 kilometer terdapat 15 warung yang menjual rokok secara eceran.
"Anak usia sekolah sangat mudah untuk mengakses pembelian rokok eceran karena masih terdapat warung rokok dengan radius kurang atau sama dengan 100 meter di sekitar area sekolah," ucapnya.
Penjualan rokok secara eceran per minggu dapat mencapai lebih dari 300 batang dengan harga per batang berkisar Rp1.500. Lebih dari 50 persen rokok dapat dibeli dengan cara berhutang sehingga semakin memudahkan orang mengkonsumsi rokok meski sedang tidak memiliki uang.
Pewarta: Sanya Dinda Susanti
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2021
Tags: