Junimart Girsang kepada wartawan, di Jakarta, Selasa, mengatakan aduan tersebut merupakan laporan masyarakat yang meliputi sedikitnya 100 ribu lebih kasus sengketa pertanahan di Indonesia.
"Panja Mafia Tanah DPR ini dibentuk pada 29 Maret 2021, hingga saat ini jumlah aduan yang diterima dari masyarakat sekitar 4.358, dan jumlah kasusnya sebanyak 100 ribu lebih," kata Junimart Girsang.
Hal itu diyakini terjadi akibat ulah oknum petugas hingga pejabat di lingkungan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang memberi ruang bagi para mafia tanah untuk beraksi ala TSM (terstruktur, sistemik, masif).
"Paling banyak itu kasusnya yang pertama adalah kasus sengketa kepemilikan, serta kasus yang melibatkan mafia tanah," ujarnya pula.
Kasus tersebut umumnya dalam temuan Panja Mafia Pertanahan Komisi II terjadi akibat dari ulah oknum di lingkungan BPN sendiri yang membantu memuluskan aksi dari para mafia tanah. "Sehingga dalam menjalankan aksinya, para mafia itu terkesan sudah sangat terstruktur, sistemik, dan masif," kata dia.
Selanjutnya, kata dia lagi, kasus terbanyak kedua adalah sengketa legalisasi kepemilikan tanah. Sengketa tersebut paling banyak menciptakan konflik antara kelompok masyarakat dengan berbagai pihak, mulai dari pihak perusahaan swasta, badan usaha milik negara (BUMN) hingga pemerintah daerah (pemda).
"Sengketa legalitas kepemilikan tanah ini paling rawan menciptakan konflik horizontal," kata Junimart.
Contohnya seperti di Surabaya, menurut dia, saat ini terdapat sebanyak 500 ribu warga pemilik tanah yang legalitasnya bukan sertifikat hak milik, tetapi surat izin pemakaian tanah (SIPT) dari pemda atau yang dikenal dengan nama "surat ijo".
"Sama halnya di Sumatera Utara, Lampung, dan NTB sengketa legalitas ini membenturkan masyarakat dengan perusahaan," kata dia lagi.
Selain itu, kasus pertanahan terbanyak lainnya meliputi hak penguasaan tanah. Konflik ini terjadi antara masyarakat dengan para pemegang izin hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB) serta izin penguasaan lainnya.
Ditambah lagi, sengketa atas penetapan kawasan hutan di atas tanah milik masyarakat yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup Kehutanan (KLHK).
"Masalah pertanahan terbanyak lainnya itu adalah meliputi konflik hak penguasaan tanah antara masyarakat dengan para pemegang izin mulai dari HGU, HGB, dan lainnya," ujarnya lagi.
Contohnya seperti yang terjadi di Riau dan sejumlah daerah lainnya, sengketa terjadi atas puluhan ribu sertifikat hak milik tanah masyarakat.
"Karena tanah yang sudah dikuasai dan dimiliki masyarakat berpuluh-puluh tahun dengan legalisasi sertifikat hak milik bisa tiba-tiba ditetapkan oleh KLHK sebagai kawasan hutan," kata Junimart.
Karenanya, Junimart menilai dalam mengatasi masalah konflik pertanahan di Indonesia, Pemerintah dianggap perlu untuk benar-benar menjalankan koordinasi-koordinasi dan komunikasi lintas kementerian.
Presiden juga disarankan untuk meninjau kembali Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang dinilai menjadi penghambat dalam penegakan hak pemilik sertifikasi tanah yang sah.
"Masalahnya koordinasi komunikasi lintas kementerian tidak jalan. Di samping itu Permen ATR/ BPN No. 21/2020 harus ditinjau, karena menghambat penegakan hak pemilik sertifikat yang sah dan cenderung memberikan ruang kepada mafia tanah,” ujarnya pula.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI itu menjelaskan, sepanjang tahun 2021 ini Panja Mafia Tanah DPR telah melakukan sebanyak 8 kali rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan para pihak pengadu dalam masalah pertanahan.
Panja Mafia Tanah DPR juga melakukan sebanyak 4 kali kunjungan kerja, di antaranya ke Sumatera Utara, Jawa Timur, Riau, dan Sulawesi Utara.
Baca juga: Kementerian ATR/BPN: Mafia tanah rekayasa gugatan peroleh hak tanah
Baca juga: Berkas perkara mafia tanah terhadap ibu Dino Patti Djalal sudah P-21