Jakarta (ANTARA) - Pengamat ekonomi bisnis dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Nurmadi Harsa Sumarta menilai perusahaan asuransi perlu melakukan restrukrisasi asuransi kredit untuk mengantisipasi potensi membengkaknya klaim di masa datang.

“Restrukturisasi lini asuransi kredit tidak hanya untuk memitigasi tingkat risiko yang dihadapi perusahaan asuransi, namun juga mencegah efek domino yang sistemik ke sektor lain yang dijaminkan melalui asuransi kredit,” kata Nurmadi dalam keterangannya di Jakarta, Senin.

Ia menjelaskan, produk asuransi kredit masih menjadi salah satu penyumbang klaim terbesar di industri asuransi umum. Meski jumlah klaim mulai menurun, risiko kredit yang tinggi masih akan berpotensi membayangi kenaikan klaim asuransi kredit di kemudian hari. Risiko ini diperbesar dengan perang tarif premi antar penyedia asuransi kredit.

Baca juga: Mahelan: Gagal bayar asuransi karena manajemen risiko tidak optimal

Kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit cukup membantu menurunkan jumlah klaim. Hal ini tampak dari penurunan klaim asuransi kredit di kuartal III-2021. Berdasarkan data Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), klaim yang dibayar turun sebesar 36,7 persen menjadi Rp 3,79 triliun, membaik dibandingkan tahun 2020 saat klaim dibayar melesat tinggi dibanding tahun sebelumnya hingga 617,2 persen.

Ia pun mengingatkan bahwa penurunan klaim ini tidak boleh membuat perusahaan penyedia produk asuransi kredit terlena. Sebab, penurunan klaim asuransi ini terjadi lantaran kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit.

"Yang perlu diwaspadai adalah relaksasi ternyata tak cuma menunda pembayaran klaim, tapi justru berpotensi meningkatkan klaim setelah proses restrukturisasi selesai," ujar Nurmadi.

Baca juga: Wamen BUMN paparkan skenario pasca-penawaran restrukturisasi Jiwasraya

Masalah utama yang dihadapi perusahaan asuransi kredit saat ini adalah tingkat risiko yang lebih tinggi dibandingkan preminya. Hal ini akan mengakibatkan rasio beban klaim rentan memburuk saat terjadi kenaikan klaim.

Risiko yang ditanggung dalam asuransi kredit adalah risiko yang timbul saat debitur tidak melunasi kreditnya baik karena debitur dinyatakan dalam keadaan insolven, usahanya tidak berjalan, maupun sebab lainnya. Dengan begitu, asuransi kredit memiliki tingkat risiko yang lebih tinggi.

Apalagi, dengan adanya dampak pandemi COVID-19 seperti sekarang ini, debitur rentan mengalami gagal bayar karena usahanya mengalami kendala. Oleh sebab itu, sangat diperlukan restrukturisasi yang cermat terhadap lini asuransi kredit di Tanah Air.

Secara spesifik, aktivitas restrukturisasi asuransi kredit dari perusahaan pelat merah harus lebih dicermati. Perusahaan asuransi milik pemerintah menjamin kredit perbankan yang terkait upaya pemulihan ekonomi, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR).

Semangat pemerintah untuk mentransformasi industri keuangan yang didukung dengan pembentukan Indonesia Financial Group (IFG) selaku holding perusahaan pelat merah asuransi dan penjaminan patut mendapat apresiasi. IFG diharapkan mampu melakukan konsolidasi dan transformasi menyeluruh ihwal penyehatan dan keberlanjutan keuangan anak usahanya yang ditopang dengan lini bisnis yang sehat dan prudent.

Dengan menjaga tingkat risiko di seluruh lini bisnis, maka diharapkan portofolio perusahaan-perusahaan asuransi juga menjadi lebih sehat. Nurmadi meyakini bila restrukturisasi penyehatan asuransi kredit di tataran perusahaan pelat merah berhasil, potret tersebut akan tercermin secara industri keseluruhan.

"Restrukturisasi ini merupakan solusi cepat untuk penyehatan asuransi kredit. Dengan menjaga tingkat risiko di seluruh lini bisnis, diharapkan portofolio perusahaan asuransi juga menjadi lebih sehat," kata Nurmadi.