Jakarta (ANTARA News) - Pimpinan DPR RI diminta untuk melakukan audit terhadap kunjungan anggota DPR RI ke luar negeri.

"Audit ini menyangkut efektifitas kunjungan, anggaran kunjungan, maksud dan target kunjungan, negara tujuan," kata anggota Komisi II DPR RI Abdul Malik Haramain di Gedung DPR RI di Jakarta, Selasa.

Ia menambahkan, pimpinan DPR RI juga harus membuat mekanisme yang transparan terutama untuk disampaikan ke publik.

Transparansi, kata politisi Partai Kebangkitan Bangsa itu, juga berarti harus disampaikan kepada publik mengenai rencana kunjungan beserta anggarannya, maksud dan tujuan kunjungan, serta relevansi negara tujuan.

"Tak kalah penting, melaporkan ke publik tentang hasil kunjungan kerja ke luar negeri, terutama efektifitas kunjungan. Pimpinan bisa menolak/membatalkan atau mengalihkan kunjungan jika dianggap tidak relevan," ujar dia.

Hal yang sama dikatakan oleh Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Saan Mustopa. Menurut Saan, kunjungan ke luar negeri harus lebih selektif. Dengan demikian akan terjadi penghematan anggaran yang lebih banyak.

"Kalau kunjungan kerja itu lebih selektif, otomatis akan bisa menghemat anggaran. Fraksi Partai Demokrat akan mengusulkan efektifitas, selektifitas soal kunjungan kerja ke luar negeri," jelas Saan.

Kunjungan kerja ke luar negeri untuk studi banding ada porsinya.

"Jangan sampai kunker ke luar negeri untuk membahas RUU yang tidak ada kaitannya seperti pembahasan RUU Pramuka. Tapi perlu kunker ke luar negeri ketika membahas RUU Imigrasi," ujar anggota Komisi III DPR RI itu.

Ditambahkan, kunjungan kerja ke luar negeri untuk studi banding sebaiknya dilakukan sejak awal ketika mulai membahas sebuah Rancangan Undang-Undang atau saat proses akademis dari RUU tersebut.

"Jangan kunjungan kerja ke luar negeri untuk studi banding dilakukan ketika pembahasan sebuah RUU hampir selesai. Gak ada gunanya sama sekali dan bahkan menimbulkan polemik," ujar Saan.

(Zul/S026)