Jakarta (ANTARA) - Disabilitas atau gangguan fungsi yang menyebabkan seseorang tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari, salah satunya dapat terjadi pada anak dalam aspek perkembangannya.

Disabilitas perkembangan diartikan sebagai sekelompok kondisi karena gangguan dalam bidang fisik, kemampuan belajar, bahasa, atau perilaku. Kondisi ini dimulai selama periode perkembangan anak dan dapat mempengaruhi fungsi sehari-hari dan biasanya berlangsung sepanjang hidup anak.

Saat ini dilaporkan terdapat lebih dari 1 miliar orang di dunia yang diperkirakan mengalami disabilitas. Jumlah ini sekitar 15 persen dari populasi dunia, dengan 190 juta atau 3,8% orang berusia 15 tahun ke atas mengalami kesulitan yang signifikan dalam beraktivitas sehingga seringkali membutuhkan pelayanan kesehatan.

Spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi (KFR) di Rumah Sakit Universitas Indonesia, dr. Amien Suharti, Sp.KFR mengatakan, dalam penanganan masalah disabilitas, dokter akan melakukan asesmen apakah ada gangguan fungsi komunikasi atau gangguan fungsional aktivitas sehari-hari.

Setelah diasesmen, dokter akan menentukan intervensi apa yang dapat diberikan kepada pasien, yang diantaranya bisa bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif sesuai dengan kondisi masing-masing pasien.

Baca juga: Menteri PPPA soroti tantangan pendidikan anak berkebutuhan khusus

Baca juga: Akses anak penyandang disabilitas jadi tantangan di masa pandemi


Salah satu terapi yang dilakukan pada anak dengan keterlambatan dalam perkembangan yaitu terapi sensori terintegrasi. Terapi integrasi sensorik dapat membuat perbedaan nyata dengan membantu anak untuk mengelola kepekaan dan keinginan mereka.

Pada penanganan gangguan tumbuh kembang anak, prinsip tata laksana rehabilitasi medik yang dilakukan yakni mengoptimalkan kemampuan individu untuk mempertahankan dan mencapai tingkat fungsi fisik, mental, emosional, sosial dan spiritual yang lebih baik sehingga terjadi peningkatan kualitas hidup.

Menurut Amien, dalam mengoptimalkan hal ini, stimulasi sangatlah penting. Stimulasi adalah proses merangsang hubungan antar sel-sel otak yang dilakukan sejak dini secara terus-menerus, yang dapat mengembangkan berbagai kemampuan anak melalui pembentukan sirkuit otak.

“Dengan stimulasi yang cukup serta nutrisi yang baik, sinap akan berkembang pesat dan jalinan saraf lebih luas, yang pada akhirnya berperan dalam meningkatkan kecerdasan anak,” ujar dia.

Sementara dalam penanganan gangguan pemrosesan sensori anak, fokus terapi di rehabilitasi medis yakni memunculkan motivasi anak untuk bermain interaktif dan bermakna sehingga partisipasi aktif dari pasien yang diterapi juga sangatlah penting.

Amien mengatakan, penanganan disabilitas pada anak dengan tata laksana yang tepat dapat mengembalikan kemampuan fungsional dan partisipasi anak sesuai usia.

Fisioterapis di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI), Mahasin Amaliyah, Amd.OT mengatakan, para orang tua bisa mengamati perkembangan motorik anak melalui pada kartu Deteksi Dini Tumbuh Kembang Anak (DDTK) yang bisa membantu memantau perkembangan normal anak berdasarkan usia.

Dia mengatakan, anak dengan sensori normal dapat menampilkan perilaku normal. Sementara untuk yang mengalami gangguan sensori dapat terjadi hipersensitif atau hiposensitif yang ditandai beberapa perilaku seperti menghindar, kurang nyaman, mudah lelah, atau takut dan bereaksi secara berlebihan terhadap stimulus yang diterima.

Sementara hiposensitif yaitu perilaku sibuk mencari stimulus secara berlebih, tidak bisa diam atau banyak gerak, dan atau kurang berespon terhadap stimulus yang diterima.

"Jika sensori dasar anak tidak optimal, maka anak akan salah mengartikan proses sensori yang diterima sehingga memunculkan perilaku yang tidak sesuai, contohnya anak ketakutan berlebih saat mendengar suara blender," kata Mahasin.

Menurut dia, ketidakoptimalan ini mempengaruhi kemampuan atensi dan kepercayaan diri anak. Di sisi lain, pola tidur yang terlalu malam dapat mempengaruhi kemampuan metabolisme anak serta menghambat proses plastisitas otak anak yang sedang dalam proses tumbuh kembang.

Mahasin menegaskan kembali, orang tua perlu untuk mengenali profil sensori anak jika dirasa mengalami gangguan dan segera mendapatkan bantuan dari ahli kesehatan sesegera mungkin.

Identifikasi dan intervensi dini berupa terapi dapat berdampak signifikan pada kemampuan anak untuk mempelajari keterampilan baru, serta mengurangi kebutuhan akan intervensi yang mahal dari waktu ke waktu.

Lebih khusus mengenai pengoptimalan fungsi sensoris anak, Mahasin memberikan beberapa tipsnya. Menurut dia, salah satu kiatnya yakni orang tua memberikan kesempatan kepada anak untuk mengeksplor lingkungannya.

"Fasilitasi mereka ketika bermain dan belajar dengan melibatkan seluruh komponen sensori anak, jangan terlalu sering melarang anak, namun pastikan lingkungannya aman dan diawasi," tutur dia.

Kiat berikutnya, orang tua perlu mengatur pola tidur anak agar tidak terlalu malam, membatasi makanan yang mengandung tinggi gula khususnya pada anak-anak hiperaktif.

Sementara pada anak-anak dengan autisme disarankan untuk melakukan diet terkontrol baik diet sensori atau diet makanan tertentu sesuai petunjuk dari dokter.

Orang tua disarankan tidak memberikan gawai pada anak di bawah 2 tahun. Sementara pada anak usia 2 tahun, gawai bisa diberikan namun perlu ada batasan waktu layar dalam sehari yakni maksimal 1 jam dengan pendampingan.

Hal ini agar perkembangan sensoris anak tidak terabaikan, karena menurut Mahasin banyak perkembangan yang terabaikan jika anak menonton gawai.

Selain itu, orang tua perlu meluangkan waktu main dengan anak di rumah minimal 10 menit setiap harinya tanpa gawai dan distraksi lainnya, rutin memantau perkembangan anak dan bila metasa anak mengalami gangguan, maka segeralah berkonsultasi ke klinik tumbuh kembang dan rehabilitasi medis untuk mendapatkan penanganan yang tepat.

Baca juga: Hartoyo, disabilitas yang tetap berjuang dalam gelap di tengah pandemi

Baca juga: Anak perlu dididik tak "bully" penyandang disabilitas sejak dini

Baca juga: Stigma keluarga terhadap anak penyandang disabilitas hambat pendidikan