(ANTARA News) - Bila ada tokoh terpandang dari generasi terdahulu wafat, sebagian para pembaca surat kabar Kompas memiliki pengharapan dan penantian akan satu hal: “catatan wafat” (obituary) dari sang tokoh, yang ditulis oleh Rosihan Anwar.

Rosihan menjadi spesialis di bidang ini terutama karena dia mengenal baik sang tokoh yang berpulang; hampir tiada tokoh tersohor dari generasi terdahulu di negeri ini yang tak pernah bersinggungan secara pribadi dengannya. Persinggungan pribadi ini, ditopang oleh kepiawaiannya menulis, menjadikan Rosihan seperti seorang pendekar yang seperti tak punya tandingan di gelanggang “catatan wafat” ini.

Kini, catatan-catatan baru dari Rosihan tak akan pernah hadir lagi. Sang pencatat itu sendiri telah berpulang, di sebuah pagi, 14 April 2011, di Jakarta; kepulangan yang menandai betapa kuat ikatan cintanya dengan sang istri, Zuraida, yang lebih dulu pergi, 5 September 2010. Rosihan juga telah menyiapkan satu catatan panjang mengenai kisah cintanya dengan sang istri, yang diberinya judul romantis, “Belahan Jiwa”, sebagai bukti lainnya kuatnya ikatan cinta mereka.

Pada hari ini, 10 Mei 2011, andai masih berada di tengah-tengah kita, wartawan kawakan yang dilahirkan di Kubang Nan Dua, Solok, Sumatera Barat itu akan merayakan ulang tahunnya ke-89. Izinkanlah tulisan ini menjadi jalan untuk mengingat lagi beberapa warisan berharga yang ditinggalkan Rosihan bagi dunia jurnalisme Indonesia. Izinkan pula tulisan ini memuat sejumlah fakta yang agak bernuansa pribadi.

Banyak wartawan Indonesia yang menempatkan Rosihan sebagai salah seorang guru mereka; baik secara langsung dalam berbagai pelatihan yang diberikan olehnya, maupun secara tak langsung melalui karya tulisnya. Perkenalan saya dengan Rosihan juga masuk dalam kategori terakhir ini, mengenalnya terlebih dahulu dari buku, saat menerima pelajaran kesusateraan Indonesia di masa awal SMP, sekitar tahun 1977.

Nama Rosihan tercatat sebagai bagian dari sastrawan Angkatan ’45, dengan Chairil Anwar sebagai sang “kepala suku”. Di masa kuliah, saya membaca beberapa bukunya, di antaranya “Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965”, dan “Menulis dalam Air” (riwayat hidupnya). Sejak itulah saya mulai mengagumi Rosihan, terutama dalam caranya memaparkan fakta: perkara yang sebetulnya berat, bisa disajikannya dengan ringan tanpa kehilangan intisari maknanya.

Tahun 1987 saya mulai menekuni dunia jurnalistik, sebagai koresponden Kompas untuk wilayah Jawa Barat yang bermarkas di Bandung. Beberapa bulan menjadi wartawan, saya berkesempatan mengikuti acara Karya Latihan Wartawan (KLW) yang diadakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), di Lembang, di utara Bandung. Di sanalah pertama kalinya saya menyaksikan dari dekat Rosihan memaparkan pikiran-pikirannya; sederhana, tak bertele-tele.

Cara dia bicara segaris-lurus dengan cara dia menuangkan pikirannya dalam tulisan. Saya mencatatnya diam-diam, sebagai pelajaran pertama yang saya petik darinya: seorang wartawan perlu membereskan terlebih dahulu keruwetannya berpikir, agar bisa merumuskan pandangan dengan jelas, lurus, dan sederhana untuk dipahami dengan mudah oleh pihak lain.

Di awal 1990-an saya pindah tugas ke kantor pusat di Jakarta, yang memberi peluang lebih besar untuk bersinggungan dengan Rosihan. Dari persinggungan ini saya mengetahui Rosihan tekun mengamati (baik pembicaraan yang disampaikan orang lain, maupun suasana di sekelilingnya), dan rajin mencatat (baik dalam memorinya maupun secara tertulis). Inilah pelajaran kedua yang saya ingat: seorang wartawan hendaknya tak bosan mengamati, mencatat dan melatih ingatan, bahkan sampai kepada hal-ihwal kecil yang kelihatannya seperti tidak berguna, yang barangkalai saja di kelak kemudian hari akan terpakai untuk bahan tulisan.

Rosihan memang dikaruniai daya ingat tajam. Saya merasakan sendiri “dahsyat”-nya daya ingat Rosihan. Tahun 1991, saya menjadi bagian delegasi Indonesia ke satu acara di Bangkok. Rosihan ikut bersama istrinya. Pada salah satu kesempatan di saat acara sedang rehat, Rosihan dan istrinya ingin berjalan-jalan di beberapa tempat di pusat kota Bangkok.

Saya tak bisa bergabung karena harus menulis laporan. Seorang gadis Indonesia, kawan dekat saya, pada tahun-tahun itu (1991-1993) kebetulan sedang melanjutkan studi masternya di bidang Environmental Sciences di Asian Institute of Technology (AIT), di pinggir kota Bangkok. Sang gadis ternyata punya waktu senggang dan tidak keberatan menemani Rosihan dan istrinya. Itulah pertemuan pertamanya dengan Rosihan. Tahun 1994, saya menikahi gadis itu. Rosihan hadir bersama istrinya. Itulah pertemuan kedua Rosihan dengan istri saya. Sesudah itu istri saya praktis tak pernah berjumpa lagi dengan Rosihan, karena tak lama sesudah menikah kami hijrah ke London karena saya pindah bekerja menjadi wartawan BBC. Sesekali ada juga saya menelepon ke Rosihan, untuk kepentingan wawancara.

Tahun 2002 – saat itu saya telah kembali ke Tanah Air setelah hampir enam tahun menjadi TKI – saya menghadiri acara pemutaran perdana film Ada Apa Dengan Cinta di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail, Kuningan Jakarta. Rosihan juga diundang. Usai acara, saya berjalan kaki mengantarkannya ke lokasi parkir mobilnya, sembari membincangkan film yang baru kami saksikan. Menjelang masuk ke dalam mobilnya, dia tiba-tiba berkata, “Kirim salam saya ke…” (dia menyebutkan nama istri saya). Saya lumayan terperanjat, karena tak mengira kalau dia mengingat nama istri saya, padahal hanya pernah berjumpa dua kali dalam rentang waktu yang panjang, dan pertemuan terakhir terjadi bertahun sebelumnya. Dalam beberapa percakapan telepon saat saya masih di London pun, tak pernah dia menyebutkan nama istri saya.

Pernah sekali waktu saya menanyakan kepada Rosihan perihal daya ingatnya itu, dan bagaimana cara dia melatihnya agar tetap tajam terawat. Dia hanya tersenyum, seraya mengatakan bahwa tak ada resep khusus yang diterapkannya kecuali mencoba mengingat apa yang kira-kira perlu dan penting untuk diingat. Dalam hati, saya bergumam bahwa kalau begitu halnya, maka untuk ihwal daya ingatnya itu, kelihatannya faktor karunia dari Yang Maha Kuasa yang lebih banyak berperan. Ini tentu satu karunia dan berkah yang luar biasa. Bahkan di saat usianya menjelang 90 tahun, Rosihan masih mampu mengingat dan menuliskan berbagai fakta dari berbagai tokoh ternama yang dikenalnya dalam sejumlah catatan wafatnya itu.

Ambil contoh catatan wafatnya tentang Des Alwi, yang terbit 13 November 2010 lalu, sehari sesudah Des berpulang. Saya kutipkan sedikit penggalannya:
“Sebagai bocah belum genap berusia 10 tahun, Des bertemu di kade pelabuhan Banda dengan dua orang tahanan politik yang baru tiba dari Boven Digul, yaitu Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Mereka bertanya apakah Des tahu kediaman Dr Tjipto Mangunkusumo yang dibuang oleh Belanda ke Banda Neira dari 1930 hingga 1941. Des menjawab tahu, juga tahu rumah Mr Iwa Kusuma Sumantri, tahanan politik yang lain. Semenjak 11 Februari 1936 itu kehidupan Des Alwi berubah sama sekali dan dia mencapai hal-hal yang tidak termimpikan sebelumnya.”

Lihatlah betapa banyak fakta yang dia sajikan dalam segelintir kalimat dalam tulisan mengenai Des Alwi di atas. Fakta-fakta tersebut merupakan perpaduan dari dua kekuatan utama Rosihan sebagai seorang penulis dan wartawan: sikapnya yang rajin mencatat, dan kemampuan mengingatnya yang istimewa. Ingat, saat dia menuliskan catatannya di atas, usianya sudah 88,5 tahun.

Ketika sebagian orang sudah tak dapat menghindar dari tahap berkurangnya daya ingat, bahkan pikun, seorang Rosihan masih mampu menyajikan kisah yang sebagian bahannya mendekam nyaman dalam benaknya, bagai tak tersentuh oleh erosi ingatan, dan siap sedia untuk dipanggil keluar setiap saat pemiliknya memerlukan bahan itu. Bagi saya, benak Rosihan ibarat rak penyimpanan buku di perpustakaan, dengan koleksi yang kaya.

Kendati saya tak mendapatkan resep konkret dari Rosihan mengenai cara merawat ingatan, saya tetap merasa telah mendapatkan pelajaran juga: bahwa wartawan dan penulis hendaknya menjadi sosok “die hard”, pantang berhenti pantang pensiun selagi ingatan masih bersisa dan usia belum dipenggal Sang Maha Pemilik. Saya tidak punya data statistiknya, sehingga bisa saja saya keliru, namun rasa-rasanya Rosihan adalah orang tertua Indonesia yang bermukim di Indonesia yang masih aktif dan rutin menulis untuk tujuan publikasi/penerbitan. Jika dugaan saya ini benar, nama Rosihan tentu layak dicatat sebagai pemegang rekor.

Rosihan tak segan terjun secara langsung ke lapangan. UNESCO Jakarta pernah mengundangnya di bulan Januari 2002, menghadiri pembukaan seminar tiga hari bertajuk “Peran Media Memerangi Korupsi: Jurnalisme Investigasi dalam Praktek”, di satu hotel di Jakarta. Saya masih menyimpan arsip undangan bertanggal 10 Januari 2002 itu. Acara itu dibuka Menteri Komunikasi dan Informasi, Syamsul Muarif. Rosihan datang, dengan posisi rangkap: sebagai peserta, sekaligus sebagai wartawan. Saat acara akan dimulai dia sudah berbisik ke saya, agar di waktu rehat nanti dia bisa mewawancarai saya. Saya merasa dunia seperti terbalik, karena biasanya sayalah yang selalu mewawancarainya. Tiba saat rehat, dia benar-benar menghampiri saya, mengajak duduk di tempat yang agak terpencil, dan benar-benar mewawancarai saya. Dia menanyakan berbagai aspek tentang acara itu, dan tentang program yang saya kelola di UNESCO. Sesekali dia mencatat. Namun lebih banyak menyimak. Ternyata dia meliput untuk keperluan kolomnya di Tabloid Cek & Ricek.

Beberapa hari setelahnya, saya mencari edisi terbaru tabloid milik Ilham Bintang itu di peredaran. Di kolom rutin Rosihan yang ada di tabloid itu, dia melaporkan tentang acara UNESCO yang dihadirinya, lengkap dengan sentilannya: “Bagaimana menerapkan jurnalisme investigatif dan memerangi korupsi jika bayaran untuk wartawan masih jauh dari memadai?” Ternyata dia juga menanyai para wartawan radio daerah yang diundang ke seminar UNESCO itu, dan mendapati gaji mereka rata-rata tidaklah besar, hanya sedikit lebih tinggi dari standar upah minimum (Upah Minimum Regional) di wilayah mereka.

Saya tak berkecil hati, karena sentilan yang diajukannya itu cukup punya landasan. Lagi pula, kegemaran menyentil itu bagaikan bagian yang tak terpisahkan dari diri Rosihan, baik saat bercakap-cakap secara langsung maupun dalam tulisan. Jangankan saya, pendiri Kompas Jakob Oetama pun tak lepas dari sentilan Rosihan. Adalah Rosihan yang menggelari filosofi jurnalisme Kompas sebagai “jurnalisme kepiting”: melangkah maju, namun sigap menarik langkah jika mencium ada bahaya menghadang di depan.

Justru saya merasa mendapatkan setidaknya dua lagi pelajaran berharga dari Rosihan terkait dengan penerbitan laporannya di tabolid Cek & Ricek itu: pertama, wartawan tetap terus menyalakan radar kritisnya, lalu melakukan gugatan lewat tulisan/laporannya; dan kedua, bahwa seorang wartawan sekaliber Rosihan ternyata masih bersedia datang ke satu acara dan melakukan wawancara untuk keperluan tulisannya.

Bagai tak ada kata gengsi dalam kamus hidup Rosihan, kendati dialah penemu kata “gengsi” yang telah ikut memperkaya bahasa Indonesia ini. Sikap tak gengsinya itu juga tercermin dari kenyataan bahwa dia tidak pilih-pilih media, tidak pilih-pilih subyek. Lihatlah rentang luas topik karya tulisnya: dari sejarah hingga politik, dari film hingga panduan bahasa jurnalistik. Tidak ada pekerjaan besar atau kecil di mata Rosihan. Dia ibarat tengah menerapkan dalil Konstantin Stanilavsky di dunia seni peran: ”Ingat, tidak ada peran kecil; yang ada hanya aktor kerdil”. Aktor besar tetap bersedia menerima peran apapun, dengan kesungguhan penghayatan yang sama totalnya.

Lewat serial “catatan wafat”-nya Rosihan mengingatkan pula bahwa “catatan wafat” adalah jenis tulisan yang merupakan bagian sah dari sebuah penerbitan. Sejumlah suratkabar terkemuka di dunia, misalnya The Times di London, mendedikasikan berkolom-kolom halamannya untuk memuat “catatan wafat”. Dalam satu edisi, setidaknya terdapat tiga catatan untuk tiga tokoh berbeda. Ini sudah dilakukan bertahun-tahun oleh koran yang pertama kali terbit lebih dari 225 tahun silam itu. Ambil contoh catatan wafat dari pelukis Inggris, John S. Sargent, yang dimuat di The Times edisi Kamis, 16 April tahun 1925, panjangnya 12 ribu karakter. Atau juga tentang Dame Mary Douglas, guru besar antropologi sosial Inggris, pada edisi 18 Mei 2007, dengan jumlah karakter mencapai 11 ribu.

Koran terkemuka lainnya, The New York Times di Amerika Serikat, edisi 5 Mei 2011 menerbitkan “catatan wafat” tentang Arthur Laurents, sutradara dan penulis sandiwara di Broadway. Panjang tulisan ini sekitar 13 ribu karakter. Tulisan mengenai pegolf legendaris, Severiano Ballesteros, diterbitkan NYT dengan panjang 8.000 karakter pada edisi 7 Mei 2011. Bandingkan semua contoh ini dengan “catatan wafat” terakhir yang lahir dari tangan Rosihan, tentang Des Alwi, yang telah saya singgung terdahulu: panjangnya tak sampai 5.500 karakter. Ini menunjukkan bahwa masih bisa dan perlu dilakukan banyak penyempurnaan untuk menjadikan” catatan wafat” sebagai bagian yang serius dari satu penerbitan.

Jangan pernah menganggap enteng proses penulisan “catatan wafat”; justru ia merupakan gelanggang pertaruhan bagi seorang wartawan karena sang wartawan harus menggali informasi penting mengenai sosok si wafat, tanpa pernah lagi bisa bertanya secara langsung kepada sosok tersebut. Selain itu, diperlukan upaya yang tidak mudah untuk membuat sosok yang telah wafat itu menjadi “hidup” dan tidak usang (bukan sekadar setumpuk informasi yang telah diketahui oleh banyak pembaca).

Di situlah terletak kelebihan lainnya dari Rosihan. Di tangan Rosihan, seorang tokoh yang baru wafat bagai hadir kembali di sekitar kita. Dan lebih dari itu, kisah diri si tokoh yang disajikan Rosihan menyadarkan kita akan makna keberadaan sang tokoh. Rosihan memberikan si tokoh tempat istimewa dalam peta sejarah negeri, seakan tak tergantikan oleh sesiapa pun. Ini pelajaran penting berikutnya dari Rosihan: seorang wartawan yang baik harus memberikan konteks dan makna pada laporannya. Terlebih lagi pada masa sekarang ini, begitu banyak informasi yang terserak dan bisa dipunguti, namun jika tidak diberi konteks maka ia dengan mudah berubah menjadi “sampah”.

Warisan lain yang penting dari Rosihan adalah bahwa kemerdekaan jurnalisme tak dapat digadaikan. Sikap inilah yang mengantarkannya pada tiga kali pembreidelan yang dialami Pedoman, surat kabar yang didirikan dan dikelolanya (1948-1974), termasuk pada masa Orde Baru di tahun 1974. Rosihan tetap bisa menjaga jarak antara dirinya sebagai wartawan -- yang memiliki kemerdekaan berpikir, berpendapat dan menyuarakannya – dan penguasa yang terkadang tak senang atas pandangan-pandangannya.

Sikap menjaga jarak ini terus dirawatnya hingga jelang akhir hayat, terbukti dari apa yang disampaikan sendiri secara langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat melawat (saya menggunakan kata “melawat” yang lebih umum digunakan oleh para penutur bahasa Indonesia di wilayah Sumatera, bukan “melayat”) ke rumah duka. ”Beliau beberapa kali juga kritis terhadap saya, tetapi kami bersahabat,” kata SBY sebagaimana ditulis oleh Kompas, 15 April 2011.

Sang saksi sekaligus sang pencatat “sekian zaman” itu telah tiada, meninggalkan setumpuk warisan berharga bagi bangsa, khususnya bagi dunia kepenulisan. Kamis 14 April itu, tak lama selepas waktu Ashar, saya ikut bersesak-sesak dengan sepasang mata yang lembab, di antara para pengantar jenazah Rosihan, di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Telah pergi sosok istimewa itu. Salah satu sajak yang pernah ditulis Rosihan berjudul “Kami Kenangkan Kembali.”

Di hari ulang tahunnya ini, saya ingin mengenangkannya kembali, sambil berupaya merawat dan meneruskan sejumlah warisan yang telah dia titipkan itu… (*)

*) Arya Gunawan Usis (a.gunawan@unesco.org) adalah pengamat media, mantan wartawan. Kini bekerja untuk program pemberdayaan media di UNESCO Teheran, Iran. Tulisan ini adalah catatan pribadi.