Jakarta (ANTARA) - Koordinator Pelayanan Hukum LBH Apik Jakarta Uli Pangaribuan mengatakan penanganan kekerasan berbasis gender online (KBGO) di Indonesia terhambat oleh ketiadaan dasar hukum.

"Kami melihat dasar hukum kasus KBGO belum ada. Belum ada payung hukum yang benar-benar melindungi korban ketika korban melapor pada polisi," kata Uli dalam paparan Catatan Tahunan LBH Apik Jakarta yang dipantau di Jakarta, Jumat.

Baca juga: LBH Apik: Kekerasan pada perempuan dan anak naik di 2021

Karena itu dari total 489 kasus KBGO yang diterima LBH Apik Jakarta, yang menjadikan KBGO kasus kekerasan terhadap perempuan yang paling banyak dilaporkan di 2021, hanya 25 kasus yang dilaporkan kepada polisi dan dua kasus yang masuk ke proses pengadilan.

"Kebanyakan korban ketika berani melapor juga berpotensi dikriminalisasi, jadi mereka mundur teratur. UU ITE belum melindungi hak-hak korban KBGO karena hanya mengatur tentang kejahatan elektronik umum," katanya.

Baca juga: Perlu keadilan restoratif tangani kekerasan perempuan dan anak

Dari 489 laporan kasus KBGO yang diterima LBH Apik Jakarta, sebanyak 332 di antaranya berupa penyebaran konten pribadi non konsensual (malicious distribution), 91 kasus konten ilegal, dan 46 kasus pencemaran nama baik.

Di samping itu terdapat 17 kasus memperdaya korban secara online, 7 kasus penguntitan (stalking), dan 4 kasus pelecehan online.

"Pelaku penyebaran konten pribadi biasanya adalah orang yang dikenal oleh korban, seperti pacar, mantan pacar, suami, mantan suami, teman, dan orang yang baru dikenal di media sosial, bahkan ada juga yang tidak diketahui pelakunya," katanya.

Baca juga: LBH APIK: KPPPA perlu tingkatkan peran untuk menghapus KDRT

Saat ini pengadilan kasus KBGO masih bersifat terbuka untuk umum, meskipun kasusnya termasuk asusila. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada korban dinilai cukup sensitif sehingga korban kerap memilih tidak lanjut memproses kasus.

Di samping itu, penanganan KBGO juga menghadapi kendala berupa aparat penegak hukum (APH) yang belum memahami kasus KBGO, LBH belum memiliki pengetahuan mendampingi korban kasus KBGO, dan sarana serta prasarana APH yang belum memadai.

"Kasus KBGO seharusnya ditangani unit pelayanan perempuan dan anak (PPA) karena sangat sensitif," ucapnya.

Secara kultural, penanganan kasus KBGO juga masih menghadapi hambatan berupa budaya menyalahkan korban, menstiga korban, dan belum banyak lembaga yang berfokus memberikan pelayanan keamanan digital.

LBH Apik Jakarta pun merekomendasikan 129 kasus KBGO kepada lembaga jaringan seperti SafeNet untuk diselesaikan, seperti dengan meminta media sosial atau website menghapus foto-foto atau video pribadi yang disebar secara non konsensual.