BI: "Exit strategy" harus gradual hindari normalisasi prematur
10 Desember 2021 18:00 WIB
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo dalam Konferensi Pers Finance and Central Bank Deputies (FCBD) Meeting di Nusa Dua, Bali, Jumat (10/12/2021). ANTARA/Astrid Faidlatul Habibah/aa.
Nusa Dua, Bali (ANTARA) - Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo menyatakan kebijakan bersama untuk keluar dari strategi atau exit strategy harus dilakukan secara gradual untuk menghindari normalisasi dan pemulihan yang prematur.
Hal itu merupakan salah satu hasil dari Finance and Central Bank Deputies (FCBD) Meeting dalam jalur keuangan atau finance track pada gelaran Presidensi G20 Indonesia.
“Normalisasi dipandang harus dilakukan secara smooth atau gradual untuk menghindari prematur normalisasi karena kondisi negara pulih bergantung pada beberapa faktor,” katanya dalam Konferensi Pers di Nusa Dua, Bali, Jumat.
Terlebih lagi, International Monetary Fund (IMF) dalam pertemuan ini memberikan ulasan bahwa outlook ekonomi global relatif dalam jalur pemulihan namun kecepatannya lebih lambat.
Pemulihan masih berlangsung namun ada risiko yang dihadapi seperti kesehatan, tekanan inflasi, risiko supply side, shock dalam produksi termasuk perubahan iklim sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan 2021 dan 2022.
Menurutnya, jika exit strategy dilakukan terlalu cepat akan berbahaya pada proses pemulihan yang sedang berlangsung namun jika exit strategy terlalu lama akan mengganggu instabilitas sistem keuangan dalam jangka menengah panjang.
Oleh sebab itu, exit strategy harus dirancang secara penuh, matang serta dikomunikasikan secara baik dan bertahap terutama kepada pasar terkait normalisasi masing-masing prioritas.
Exit strategy ini termasuk terkait mengatasi dampak berkepanjangan atau scarring effect dari pandemi COVID-19 dalam jangka menengah panjang mengingat tanpa kebijakan struktural maka akan menyulitkan pemulihan ekonomi.
Dampak pandemi seperti penutupan pabrik di tengah permintaan yang pulih namun produksi terbatas menunjukkan bahwa exit strategy perlu diterapkan untuk mengatasi hal ini.
Ia menambahkan, exit strategy jangan hanya dilihat dari sektor ekonomi saja melainkan juga dari sisi tenaga kerja yang turut terganggu mengingat adanya kebutuhan skill terkait IT yang meningkat.
“Masalah scarring effect dari sisi trade dan health itu diatasi oleh digitalisasi," katanya.
Baca juga: BI: Delegasi apresiasi RI terkait penyelenggaraan Presidensi G20
Baca juga: IMF: Kalibrasi kebijakan Presidensi G20 RI mampu atasi pandemi
Baca juga: WHO minta Presidensi G20 RI tutup financial gap penanganan pandemi
Hal itu merupakan salah satu hasil dari Finance and Central Bank Deputies (FCBD) Meeting dalam jalur keuangan atau finance track pada gelaran Presidensi G20 Indonesia.
“Normalisasi dipandang harus dilakukan secara smooth atau gradual untuk menghindari prematur normalisasi karena kondisi negara pulih bergantung pada beberapa faktor,” katanya dalam Konferensi Pers di Nusa Dua, Bali, Jumat.
Terlebih lagi, International Monetary Fund (IMF) dalam pertemuan ini memberikan ulasan bahwa outlook ekonomi global relatif dalam jalur pemulihan namun kecepatannya lebih lambat.
Pemulihan masih berlangsung namun ada risiko yang dihadapi seperti kesehatan, tekanan inflasi, risiko supply side, shock dalam produksi termasuk perubahan iklim sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan 2021 dan 2022.
Menurutnya, jika exit strategy dilakukan terlalu cepat akan berbahaya pada proses pemulihan yang sedang berlangsung namun jika exit strategy terlalu lama akan mengganggu instabilitas sistem keuangan dalam jangka menengah panjang.
Oleh sebab itu, exit strategy harus dirancang secara penuh, matang serta dikomunikasikan secara baik dan bertahap terutama kepada pasar terkait normalisasi masing-masing prioritas.
Exit strategy ini termasuk terkait mengatasi dampak berkepanjangan atau scarring effect dari pandemi COVID-19 dalam jangka menengah panjang mengingat tanpa kebijakan struktural maka akan menyulitkan pemulihan ekonomi.
Dampak pandemi seperti penutupan pabrik di tengah permintaan yang pulih namun produksi terbatas menunjukkan bahwa exit strategy perlu diterapkan untuk mengatasi hal ini.
Ia menambahkan, exit strategy jangan hanya dilihat dari sektor ekonomi saja melainkan juga dari sisi tenaga kerja yang turut terganggu mengingat adanya kebutuhan skill terkait IT yang meningkat.
“Masalah scarring effect dari sisi trade dan health itu diatasi oleh digitalisasi," katanya.
Baca juga: BI: Delegasi apresiasi RI terkait penyelenggaraan Presidensi G20
Baca juga: IMF: Kalibrasi kebijakan Presidensi G20 RI mampu atasi pandemi
Baca juga: WHO minta Presidensi G20 RI tutup financial gap penanganan pandemi
Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: