Jakarta (ANTARA News) - Belakangan ini Perhimpunan Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) gencar mempromosikan konsep people to people (masyarakat ke masyarakat) demi mendekatkan hubungan kesepuluh negara anggota ASEAN.

Namun pada perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT ) ASEAN yang digelar di Jakarta sejak Rabu kemarin, muncul ironi yang membalikkan upaya membumikan ASEAN ke massa akar rumput itu.

Bertolak belakang dengan ikhtiar yang ingin mengubah kesan elitis pada organisasi kawasan yang didirikan di Bangkok pada 1967 itu, KTT ke-18 ini justru mempertontonkan ekslusivitas para pemimpinnya, tepat saat pertemuan puncak para kepala negara dan pemerintahan digelar Sabtu ini.

Kesan itu sangat dirasakan oleh para wartawan peliput KTT ASEAN di Jakarta Convention Center.

Jika sebelumnya para jurnalis bebas keluar masuk balai sidang yang terletak di Senayan itu, kini mereka tidak dibiarkan leluasa meliput pertemuan para pemimpin negara itu oleh tim pengaman yang dikordinasi oleh Pasukan Pengamanan Presiden.

Bahkan dari sembilan jadwal pertemuan bilateral antara negara-negara ASEAN, hanya pertemuan antara Indonesia dan Kamboja yang membolehkan para jurnalis meliput.

"Delegasi dari negara-negara lain tidak ingin diganggu oleh para wartawan," kata seorang petugas 'Liaison Officer' (LO) di Media Center yang berpesan agar namanya tidak disebutkan.

Para petugas keamanan dari Paspampres yang menjaga pintu masuk utama juga melarang para pewarta memasuki 'Plenarry Hall' karena alasan keamanan, padahal seluruh wartawan sudah mendapat akreditasi dan kartu pengenal resmi yang bahkan mereka persiapkan jauh-jauh hari sebelum KTT diselenggarakan.

"Beda pengamanannya, karena yang bersidang di dalam adalah para kepala negara," tegas tentara berpakaian sipil itu.

Sejumlah wartawan lokal dan asing sempat kebingungan dan bertanya-tanya soal kebijakan baru itu.

"Terus, kita ngapain dong?" ketus seorang jurnalis TV. (*)

Berty