Jakarta (ANTARA) - Sejak wistleblower Frances Haugen yang mantan manajer produk Facebook membuka dokumen internal raksasa media sosial itu kepada Komisi Sekuritas Amerika Serikat (SEC) dan Wall Street Journal lalu disusul dengar pendapat dengan Senat Amerika Serikat awal Oktober 2021, Facebook terus dirundung masalah.

Rangkaian gugatan dan keluhan dalam kaitannya dengan cara Facebook memerangi ujaran kebencian atau hate speech, datang silih berganti dari berbagai tempat di dunia.

Para penggugat menilai Facebook tidak terlalu berusaha memerangi ujaran kebencian karena ambigu, antara ingin memerangi ujaran kebencian dan khawatir aliran iklan dari lalu lintas pesan tersendat sehingga Facebook tak bisa lagi menangguk pendapatan dalam skala besar.

CEO Mark Zuckerberg menyatakan media sosialnya bertanggung jawab dalam memastikan FB tak hanya menyenangkan untuk digunakan, namun juga baik untuk kesejahteraan masyarakat.

Baca juga: Mark Zuckeberg diminta mundur dari CEO Facebook

Baca juga: Facebook laporkan kenaikan laba di tengah kontroversi


Untuk itu, Zuckerberg menandaskan FB telah mempelajari dengan cermat kecenderungan ujaran kebencian dengan melibatkan akademisi dan pihaknya sendiri. Tetapi menurut Haugen, yang terjadi dalam lingkungan internal FB justru mentalitas yang sebaliknya dengan semangat yang diutarakan Zuckerberg tersebut.

Facebook bahkan dianggap sebenarnya tahu betul seandainya algoritma mereka diubah menjadi lebih aman bagi pengguna, maka laman Facebook menjadi kurang begitu menarik yang lalu membuat iklan tak begitu dilirik pengguna dan akhirnya menekan pendapatan Facebook.

Logika ini masuk akal, sehingga masuk akal pula jika rangkaian bantahan, apologi dan pembelaan Facebook tidak menyurutkan gugatan kepada raksasa media sosial itu.

Bahkan muncul gugatan menghebohkan yang baru-baru ini diajukan para pengacara yang mewakili pengungsi Rohingya yang menuntut Facebook membayar ganti rugi 150 miliar dolar AS (Rp2.146 triliun) karena tidak berusaha menghentikan ujaran kebencian yang disebarkan junta militer Myanmar dan para pendukungnya kepada minoritas Rohingya.

Sebenarnya sudah bertahun-tahun FB diselidiki atas perannya dalam menyumbang kekerasan etnis dan agama di Myanmar. Baru setelah pembocoran dokumen internal Facebook oleh Frances Haugen, persoalan itu berubah terang benderang. Haugen menyebut FB sebenarnya masih bermasalah dalam mendefinisikan dan memoderasi ujaran kebencian dan misinformasi di Myanmar.

Cacat ini lalu dimanfaatkan oleh aktor-aktor jahat di balik kudeta militer 1 Februari tahun ini yang memicu terjadinya pelanggaran hak asasi manusia di seantero Myanmar.

Tim pengacara Rohingya menggugat FB, tepatnya kepada induknya Meta Platform Inc yang baru Oktober 2021 dibentuk, di California di mana raksasa media sosial ini berkantor pusat. Mereka menuding Facebook turut menyebarkan ujaran kebencian, misinformasi dan hasutan untuk melakukan kekerasan yang berujung genosida Rohingya.

Akibat hasutan itu, pada 2017 kampung-kampung Rohingya di Myanmar dibumihanguskan, lebih dari 10 ribu warga Rohingya dibunuh, ratusan ribu lainnya menjadi sasaran kekerasan fisik, dan satu juta orang lainnya mengungsi ke negara tetangga Bangladesh.

Setahun setelah genosida itu, para pakar hak asasi manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyelidiki genosida Rohingya menyebut Facebook berperan besar dalam menyebarkan ujaran kebencian.

Para pengacara yang mewakili Rohingya itu menyebut algoritme Facebook telah mengamplifikasi atau mengembangbiakkan ujaran kebencian kepada Rohingya ketika saat bersamaan Facebook tidak mau merekrut moderator dan pemeriksa fakta yang memahami bahasa setempat atau situasi politik setempat.

Baca juga: Facebook akan hapus penargetan iklan bertopik sensitif

Jadi referensi dunia

Facebook yang mulai hadir di Myanmar pada 2011 dan kemudian menjadi platform media sosial utama di sana, dituding enggan menutup akun, laman dan unggahan yang menghasut kekerasan atau ujaran kebencian yang menjadi prolog bagi persekusi warga Rohingya.

Penggugat juga menilai FB tidak agresif mengingatkan orang mengenai bahaya misinformasi online dan akun palsu yang biasa digunakan junta militer Myanmar guna menyudutkan etnis Rohingya untuk kemudian menjadi jalan bagi terjadinya pembersihan etnis minoritas ini.

Facebook juga dianggap sebenarnya tahu bahwa dengan memberikan reward kepada pengguna karena telah mengunggah konten berbahaya dan membiarkan berkecambahnya akun-akun palsu buatan junta Myanmar, akan meradikalisasi penggunanya.

Menghadapi semakin kencangnya tudingan ini, FB lalu memblokir semua laman dan akun bisnis serta siapa pun yang terkait junta militer Myanmar, bahkan diperluas kepada institusi militer negara itu.

Perusahaan-perusahaan milik junta tak hanya berperan dalam mendanai kampanye anti-Rohingnya, namun juga dalam memberangus pendukung Aung San Suu Kyi yang dikudeta awal Februari lalu yang disusul oleh penumpasan berdarah terhadap para pendukung demokrasi.

Tetapi akhir Februari itu tak lama setelah kudeta tersebut, Facebook menghapus semua akun terkait militer Myanmar dengan alasan telah dipakai junta untuk menumpas demonstran anti-kudeta. FB juga terus meningkatkan pengawasan konten baik dengan melibatkan kecerdasan buatan maupun merekrut tenaga-tenaga kompeten dalam memerangi ujaran kebencian, hoaks, dan misinformasi.

Meskipun demikian, langkah FB ini tidak menyurutkan sebagian kalangan untuk memperkarakan raksasa media sosial ini, apalagi dampak buruk ujaran kebencian tak hanya dirasakan Rohingya atau rakyat Myanmar.

Sebaliknya ujaran kebencian telah memicu kekerasan SARA di mana-mana di seluruh dunia, bahkan menghasut perang seperti diduga terjadi di Ethiopia saat ini.

India bahkan memperkarakan FB atas peran raksasa media sosial ini dalam kerusuhan rasial yang dipicu kebencian terhadap kaum minoritas muslim yang dipupuk online oleh FB.

Sementara Amerika Serikat dan Eropa menuding FB memupuk ujaran kebencian yang menghasut orang melakukan kekerasan seperti kasus penyerbuan Kongres Amerika Serikat awal 2021 yang dilakukan para pendukung mantan presiden Donald Trump yang sampai masih diperkarakan di AS.

Semua kejadian ini bisa menjadi pelajaran dan referensi penting bagi negara-negara lain termasuk Indonesia, bahwa memerangi ujaran kebencian tak cukup dengan memburu pelaku dan penyebar ujaran kebencian.

Upaya itu mesti disandingkan dengan memaksa raksasa-raksasa media sosial seperti Facebook termasuk seluruh platform terafiliasi kepadanya seperti WhatsApp, tidak menjadi tempat menyebarkan ujaran kebencian.

Media sosial tak boleh lagi beralasan "hanya menyediakan tempat" berekspresi, tapi juga harus turut bertanggung jawab atas akibat negatif ekspresi jahat lewat hoaks, misinformasi dan ujaran kebencian lewat platformnya yang biasanya mengencang saat tahun-tahun politik seperti Pemilu.

Oleh karena itu, gugatan Rohignya terhadap FB tak hanya menjadi pemaksa agar platform media sosial lebih agresif lagi memerangi ujaran kebencian, namun juga menjadi referensi bagi dunia ketika harus membuat tekanan serupa kepada platform media sosial manakala ujaran kebencian kentara merusak kohesi sosial sehingga mengancam keutuhan negara, bahkan memicu konflik dan kekerasan.

Baca juga: Harga aset kripto disebut ikut terdongkrak "hype" Metaverse

Baca juga: Meta bagi cara rawat kesehatan mental sambut hari kesehatan nasional

Baca juga: Facebook integrasikan Workplace dengan Microsoft Teams