BI: Tuntutan keuangan hijau beri peluang bagi ekonomi Indonesia
8 Desember 2021 16:32 WIB
Tangkapan layar Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti dalam diskusi InfobankTV yang disiarkan secara daring, Rabu (8/12/2021). ANTARA/YouTube InfobankTV
Jakarta (ANTARA) - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti mengatakan, tuntutan keuangan hijau dari global memberikan peluang bagi perekonomian Indonesia.
“Ruang ini berasal dari kekayaan sumber potensi alam Indonesia yang sangat besar dan beragam sehingga Indonesia dapat mencapai emisi nol lebih cepat,” ujar Destry dalam diskusi InfobankTV yang disiarkan secara daring, Rabu.
Destry menyampaikan Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa Indonesia memiliki sumber energi terbarukan yang sangat besar dan diperkirakan mencapai 418.000 MW yang antara lain bersumber dari pembangkit listrik tenaga biotermal, aliran sungai dan tenaga angin.
“Potensi ini tentunya harus dapat kita manfaatkan dan kita kelola dengan baik serta dengan konsistensi dan keberanian untuk melakukan berbagai terobosan agar bisa menjadi kekuatan ekonomi kita ke depan,” katanya.
Transisi menuju ekonomi rendah karbon dapat mengundang investasi global ke Indonesia yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan cadangan devisa. Berdasarkan penghitungan menggunakan CAGR, kenaikan PDB diproyeksikan bisa mencapai 0,62 persen per tahun dan tambahan kenaikan cadangan devisa diproyeksikan mencapai 51,9 miliar dolar AS.
Kendati demikian, lanjut Destry, perubahan iklim juga memberikan ancaman bagi perekonomian global. Dampak perubahan iklim diperkirakan jauh lebih besar daripada krisis keuangan global 2008 dan Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim karena terletak pada kawasan ring of fire.
Berdasarkan data AON-Catastophe Insight 2020, kerugian ekonomi global akibat cuaca ekstrem mencapai 5,1 triliun dolar AS dalam 20 tahun terakhir. Sedangkan kerugian ekonomi Indonesia akibat cuaca ekstrem, berdasarkan data Bappenas 2021, mencapai Rp100 triliun per tahun.
“Biaya ini diperkirakan akan terus tumbuh secara eksponensial akibat semakin ekstremnya cuaca di masa depan. Sehingga, apabila kita tidak melakukan tambahan aksi mitigasi maka biaya akibat cuaca ekstrem pada 2050 diperkirakan mencapai 40 persen dari PDB,” katanya.
Selain itu, sejalan dengan kuatnya tuntutan global akan ekonomi hijau, Indonesia akan terekspos risiko transisi global yang besar jika terlambat melakukan aksi mitigasi.
Seperti, hambatan ekspor atas produk unggulan yang diperkirakan akan semakin besar akibat tambahan pajak karbon serta akses keuangan global yang semakin terbatas karena adanya pajak karbon atas pembelian surat berharga kepada entitas yang tinggi karbon.
Adapun Bank Indonesia telah secara aktif sejak 2010 melakukan inisiatif keuangan hijau yang pada 2020 telah dibentuk draft kerangka keuangan hijau BI, riset tentang kebijakan makroprudensial hijau serta penguatan PBI tentang green LTV yang akan digunakan menuju sistem keuangan hijau.
Baca juga: Presiden tekankan pentingnya Transformasi EBT dan ekonomi hijau
Baca juga: Pemerintah libatkan lembaga keuangan danai proyek energi hijau
Baca juga: Otoritas London: Indonesia tunjukkan kepemimpinan dalam keuangan hijau
“Ruang ini berasal dari kekayaan sumber potensi alam Indonesia yang sangat besar dan beragam sehingga Indonesia dapat mencapai emisi nol lebih cepat,” ujar Destry dalam diskusi InfobankTV yang disiarkan secara daring, Rabu.
Destry menyampaikan Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa Indonesia memiliki sumber energi terbarukan yang sangat besar dan diperkirakan mencapai 418.000 MW yang antara lain bersumber dari pembangkit listrik tenaga biotermal, aliran sungai dan tenaga angin.
“Potensi ini tentunya harus dapat kita manfaatkan dan kita kelola dengan baik serta dengan konsistensi dan keberanian untuk melakukan berbagai terobosan agar bisa menjadi kekuatan ekonomi kita ke depan,” katanya.
Transisi menuju ekonomi rendah karbon dapat mengundang investasi global ke Indonesia yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan cadangan devisa. Berdasarkan penghitungan menggunakan CAGR, kenaikan PDB diproyeksikan bisa mencapai 0,62 persen per tahun dan tambahan kenaikan cadangan devisa diproyeksikan mencapai 51,9 miliar dolar AS.
Kendati demikian, lanjut Destry, perubahan iklim juga memberikan ancaman bagi perekonomian global. Dampak perubahan iklim diperkirakan jauh lebih besar daripada krisis keuangan global 2008 dan Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim karena terletak pada kawasan ring of fire.
Berdasarkan data AON-Catastophe Insight 2020, kerugian ekonomi global akibat cuaca ekstrem mencapai 5,1 triliun dolar AS dalam 20 tahun terakhir. Sedangkan kerugian ekonomi Indonesia akibat cuaca ekstrem, berdasarkan data Bappenas 2021, mencapai Rp100 triliun per tahun.
“Biaya ini diperkirakan akan terus tumbuh secara eksponensial akibat semakin ekstremnya cuaca di masa depan. Sehingga, apabila kita tidak melakukan tambahan aksi mitigasi maka biaya akibat cuaca ekstrem pada 2050 diperkirakan mencapai 40 persen dari PDB,” katanya.
Selain itu, sejalan dengan kuatnya tuntutan global akan ekonomi hijau, Indonesia akan terekspos risiko transisi global yang besar jika terlambat melakukan aksi mitigasi.
Seperti, hambatan ekspor atas produk unggulan yang diperkirakan akan semakin besar akibat tambahan pajak karbon serta akses keuangan global yang semakin terbatas karena adanya pajak karbon atas pembelian surat berharga kepada entitas yang tinggi karbon.
Adapun Bank Indonesia telah secara aktif sejak 2010 melakukan inisiatif keuangan hijau yang pada 2020 telah dibentuk draft kerangka keuangan hijau BI, riset tentang kebijakan makroprudensial hijau serta penguatan PBI tentang green LTV yang akan digunakan menuju sistem keuangan hijau.
Baca juga: Presiden tekankan pentingnya Transformasi EBT dan ekonomi hijau
Baca juga: Pemerintah libatkan lembaga keuangan danai proyek energi hijau
Baca juga: Otoritas London: Indonesia tunjukkan kepemimpinan dalam keuangan hijau
Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021
Tags: