Anggota DPR "pasang badan" bantu nenek dilaporkan anaknya ke polisi
7 Desember 2021 22:48 WIB
Anggota DPR RI Dedi Mulyadi saat mengunjungi nenek Rodiah di Bekasi yang dilaporkan oleh lima anak kandungnya ke polisi dengan tuduhan penggelapan tanah warisan. (ANTARA/Dok Dedi Mulyadi)
Karawang (ANTARA) - Anggota DPR RI Dedi Mulyadi 'pasang badan' untuk melindungi nenek Rodiah (72) yang dilaporkan oleh lima anak kandungnya ke polisi dengan tuduhan penggelapan tanah warisan.
“Saya akan berusaha membantu dalam segala hal yang dialami nenek Rodiah,“ kata Dedi Mulyadi dalam sambungan telepon dari Karawang, Selasa.
Saat mengunjungi Rodiah di rumahnya, di Desa Sindangmulya, Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi, Selasa, Dedi meminta agar Rodiah tidak usah bingung dan takut.
Di rumahnya, nenek Rodiah yang sudah tidak bisa jalan sejak lima tahun lalu itu tinggal bersama anak keduanya M Saogi dan si bungsu Dian.
Baca juga: Dedi Mulyadi: Mempertahankan kawasan hutan solusi banjir Kalimantan
“Anak emak (Rodiah) ada delapan. Yang pro ada tiga dan yang lima lainnya mah ngezalimin,” kata Rodiah.
Ia menyebut anak pertama bernama Sonya sejak awal ingin menguasai harta. Total ada sekitar 9.000 m2 tanah di empat lokasi yang ingin dikuasai. Sejatinya harta tersebut adalah hasil kerja keras Rodiah dan almarhum suaminya membuka usaha batu bata sejak muda.
Menurut Rodiah, tanpa diminta pun ia akan membagikan harta tersebut secara adil. Hanya saja Sonya ingin menjual dan membagikan harta tersebut.
“Oleh emak memang mau dijual nanti uangnya dibagikan mumpung masih hidup. Tapi itu tanah mau dijual oleh anak saya yang pertama, enggak mau oleh saya. Padahal kan saya masih hidup. Harusnya kan setengah dijual karena saya masih ada, nanti kalau saya sudah tidak ada silakan dibagi lagi sisanya,” ucap Rodiah.
Baca juga: Dedi Mulyadi minta KLHK tepati janji penghentian tambang kawasan hutan
Sementara itu, Dian menjelaskan pelaporan bermula saat ayahnya meninggal dunia pada 9 Januari 2019.
Tiga hari meninggal, anak pertama mengambil secara paksa AJB tanah dari tangan ibunya. Bahkan di hari ketujuh ayahnya meninggal sang ibu dipaksa untuk tanda tangan berkas.
Beberapa waktu kemudian Sonya dan keempat anak yang lain datang untuk merebut seluruh surat-surat berharga. Saat itu bahkan terjadi keributan mulai dari magrrib hingga subuh yang ditengahi oleh Ketua RW setempat.
“Di situ mulai keluar bahasa kasar tidak pantas ke mamah. Setelah 40 hari (ayah meninggal) mamah dilaporkan ke polisi sampai BPN. Dilaporkan dituduh menggelapkan semua surat tanah. Padahal kan itu masih hak mamah. Yang melaporkan itu anak pertama, ketiga, keempat, keenam, dan sama ketujuh,” ujar Dian.
Terbaru, kata Dian, polisi sempat melakukan mediasi. Pihak Sonya tidak mau datang ke rumah Rodiah.
Baca juga: Dedi Mulyadi raih Satyalancana Kebudayaan di Hari Guru Nasional
Saat ini Dian dan ibunya mengaku masih merasa ketakutan dan trauma, sebab rumah yang ditinggalinya sering diteror dan dilempari batu. Bahkan Sonya pernah datang menyumpahi sang ibu untuk segera mati.
Mendengar itu Kang Dedi Mulyadi tak kuasa menahan haru dan air mata. Ia menilai seharusnya di keluarga anak paling besar bisa menghadirkan rasa nyaman, tentram, dan adil. Terlebih saat ini orang tua masih ada dan seharusnya dimuliakan.
Ia tak habis pikir mengapa anak tega melaporkan orang tuanya hanya karena harta. Namun ia memastikan hal seperti ini tidak akan diproses oleh kepolisian seperti sejumlah perkara orang tua dilaporkan oleh anak yang pernah Dedi tangani seperti di Bandung, Demak dan Semarang.
“Seharusnya ini kan semuanya duduk bersama. Kalau bicara waris ini kan ibu masih ada, dan soal waris itu sudah ada aturannya,” kata Dedi.
Di akhir obrolan, Dedi meminta Rodiah untuk tidak bingung dan takut. Sebab ia akan membantu segala hal yang dialami Rodiah. (KR-MAK)
“Saya akan berusaha membantu dalam segala hal yang dialami nenek Rodiah,“ kata Dedi Mulyadi dalam sambungan telepon dari Karawang, Selasa.
Saat mengunjungi Rodiah di rumahnya, di Desa Sindangmulya, Kecamatan Cibarusah, Kabupaten Bekasi, Selasa, Dedi meminta agar Rodiah tidak usah bingung dan takut.
Di rumahnya, nenek Rodiah yang sudah tidak bisa jalan sejak lima tahun lalu itu tinggal bersama anak keduanya M Saogi dan si bungsu Dian.
Baca juga: Dedi Mulyadi: Mempertahankan kawasan hutan solusi banjir Kalimantan
“Anak emak (Rodiah) ada delapan. Yang pro ada tiga dan yang lima lainnya mah ngezalimin,” kata Rodiah.
Ia menyebut anak pertama bernama Sonya sejak awal ingin menguasai harta. Total ada sekitar 9.000 m2 tanah di empat lokasi yang ingin dikuasai. Sejatinya harta tersebut adalah hasil kerja keras Rodiah dan almarhum suaminya membuka usaha batu bata sejak muda.
Menurut Rodiah, tanpa diminta pun ia akan membagikan harta tersebut secara adil. Hanya saja Sonya ingin menjual dan membagikan harta tersebut.
“Oleh emak memang mau dijual nanti uangnya dibagikan mumpung masih hidup. Tapi itu tanah mau dijual oleh anak saya yang pertama, enggak mau oleh saya. Padahal kan saya masih hidup. Harusnya kan setengah dijual karena saya masih ada, nanti kalau saya sudah tidak ada silakan dibagi lagi sisanya,” ucap Rodiah.
Baca juga: Dedi Mulyadi minta KLHK tepati janji penghentian tambang kawasan hutan
Sementara itu, Dian menjelaskan pelaporan bermula saat ayahnya meninggal dunia pada 9 Januari 2019.
Tiga hari meninggal, anak pertama mengambil secara paksa AJB tanah dari tangan ibunya. Bahkan di hari ketujuh ayahnya meninggal sang ibu dipaksa untuk tanda tangan berkas.
Beberapa waktu kemudian Sonya dan keempat anak yang lain datang untuk merebut seluruh surat-surat berharga. Saat itu bahkan terjadi keributan mulai dari magrrib hingga subuh yang ditengahi oleh Ketua RW setempat.
“Di situ mulai keluar bahasa kasar tidak pantas ke mamah. Setelah 40 hari (ayah meninggal) mamah dilaporkan ke polisi sampai BPN. Dilaporkan dituduh menggelapkan semua surat tanah. Padahal kan itu masih hak mamah. Yang melaporkan itu anak pertama, ketiga, keempat, keenam, dan sama ketujuh,” ujar Dian.
Terbaru, kata Dian, polisi sempat melakukan mediasi. Pihak Sonya tidak mau datang ke rumah Rodiah.
Baca juga: Dedi Mulyadi raih Satyalancana Kebudayaan di Hari Guru Nasional
Saat ini Dian dan ibunya mengaku masih merasa ketakutan dan trauma, sebab rumah yang ditinggalinya sering diteror dan dilempari batu. Bahkan Sonya pernah datang menyumpahi sang ibu untuk segera mati.
Mendengar itu Kang Dedi Mulyadi tak kuasa menahan haru dan air mata. Ia menilai seharusnya di keluarga anak paling besar bisa menghadirkan rasa nyaman, tentram, dan adil. Terlebih saat ini orang tua masih ada dan seharusnya dimuliakan.
Ia tak habis pikir mengapa anak tega melaporkan orang tuanya hanya karena harta. Namun ia memastikan hal seperti ini tidak akan diproses oleh kepolisian seperti sejumlah perkara orang tua dilaporkan oleh anak yang pernah Dedi tangani seperti di Bandung, Demak dan Semarang.
“Seharusnya ini kan semuanya duduk bersama. Kalau bicara waris ini kan ibu masih ada, dan soal waris itu sudah ada aturannya,” kata Dedi.
Di akhir obrolan, Dedi meminta Rodiah untuk tidak bingung dan takut. Sebab ia akan membantu segala hal yang dialami Rodiah. (KR-MAK)
Pewarta: M.Ali Khumaini
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: