Batam (ANTARA News) - Pemerintah menghemat Rp13 triliun dari biaya pembayaran utang luar negeri sebagai dampak dari penguatan rupiah.

"Dengan penguatan rupiah sekitar Rp550, pemerintah bisa menghemat sekitar Rp13 triliun," kata Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Azis disela-sela Lokakarya Regional Pengembangan Ekspor Nasional di Batam, Rabu.

APBN menggunakan prediksi rupiah senilai Rp9.250 per dolar, sedangkan saat ini rupiah menguat higga Rp8.700 per dolar. Selisih Rp550 dikalikan jumlah utang yang harus dibayaran Rp210 triliun, sehingga negara bisa menghemat sekitar Rp13 triliun.

Menurut Harry, penguatan rupiah amat menguntungan pemerintah di satu sisi. Di sisi lain merugikan pengusaha eksportir.

Para eksportir kesulitan bersaing harga dengan produksi luar negeri, karena berkurangnya nilai tukar dolar.

Mengenai permintaan pengusahakepada Bank Indonesia untuk mengintervensi rupiah, ia mengatakan BI tidak harus menurutinya.

"Pengusaha jangan egois, pikirkan kepentingan pemerintah juga," kata dia.

Menurut dia, bila rupiah diintervensi, maka BI akan mengalami defisit yang lebih besar lagi.


Dampak ekspor

Sementara itu, Direktur Anggota II Deputi III Bidang Pelayanan Jasa Badan Pengusahaan Batam, Fitrah Kamaruddin mengatakan penguatan rupiah berdampak pada kinerja ekspor di Kawasan Perdagangan Bebas Batam.

"Dalam satu bulan ke depan dampaknya akan mulai terasa," kata Fitrah.

Ia mengatakan produk yang dihasilkan di FTZ Batam mayoritas untuk ekspor. Bila nilai rupiah menguat, maka harga barang ekspor bisa naik, setelah dikonversi dalam dolar, sehingga dikhawatirkan tidak dapat bersaing dengan produk sejenis.

"Tapi pengusaha jangan cengeng," ata dia.

Seharusnya penguatan rupiah dapat dijadikan landasan untu memperkuat efektifitas produ lokal, kata Fitrah.(*)
(ANT)