Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua I Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Hikmat Darmawan mengatakan penyelenggaraan festival film secara hibrida diprediksi masih akan menjadi tren di tahun 2022, seiring dengan akselerasi teknologi digital di masa pandemi.

"Kalau sekarang, here to stay, ya, platform digital. Kita pun harus membangun penyesuaian mulai dari infrastruktur maupun mental set, karena beda (pendekatan) pertunjukan langsung di depan kamera dan komunikasi lewat perjumpaan langsung," kata Hikmat saat ditemui di Jakarta, ditulis pada Minggu.

Baca juga: Indonesia meriahkan Minsk International Film Festival Listapad 2021

"Memang, ada hal yang tak tergantikan dari perjumpaan langsung. Tapi, di sisi lain, ada hal baru yang kita temukan dengan mediasi ini. Ada banyak keleluasaan, misalnya untuk bercakap, tidak ada batas negara dengan sineas internasional, itu berarti infrastruktur kita siapkan seperti misalnya koneksi (internet)," ujarnya melanjutkan.

Lebih lanjut, pria yang merupakan Board Festival Film Internasional Madani (MIFF) 2021 itu mengatakan, bahwa pandemi dan akselerasi digital memberi pelajaran bagi penyelenggara festival film bahwa platform digital akan terus dimasukkan ke dalam bagian dari penyelenggaraan, karena ada banyak hal yang bisa dijangkau lewat bantuan digitalisasi.

Hal itu, lanjut Hikmat, menjadikan festival film menjadi wadah yang lebih inklusif baik bagi ekosistem perfilman nasional pada umumnya, hingga masyarakat.

"Expanding the circle. Bahwa festival bukan hanya 'untuk orang film'. Festival film adalah platform kebudayaan. Meskipun core-nya film, ini adalah eksibisi kebudayaan. Bukan hanya gelombang massa, tapi minat-minat yang beragam itu diakomodasi. Inklusif itu harus dikonkritkan, bukan hanya menjadi sebuah value," kata dia.

Sependapat, Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Hilmar Farid mengatakan tren penyelenggaraan festival film secara hibrida sangatlah mungkin, mengingat masyarakat sudah mulai terbiasa dengan kegiatan di ruang digital.

"Sekarang orang sudah menjadikannya menjadi kultur baru bahwa mengikuti festival itu tidak harus hadir secara fisik, tapi bisa mengakses melalui beberapa saluran, pun dengan diskusinya. Sekarang jauh lebih accessible dan diverse dalam banyak hal," kata Hilmar.

"Kalau dulu mungkin yang terlibat itu hanya festival-goers, sekarang semuanya bisa jump in, melihat ada tema yang menarik, dan itu membuatnya semakin diverse dan akan menambah bobot dari penyelenggaraan festivalnya," ujarnya menambahkan.

Saat disinggung mengenai kebijakan pemerintah untuk menyikapi ancaman varian COVID-19 baru, Hilmar mengatakan pihaknya selalu waspada untuk mengikuti perkembangan. Ia kemudian membandingkan dengan kondisi 1,5 tahun lalu, dan menilai bahwa pelaku industri perfilman sudah lebih siap menghadapi tantangan di masa mendatang.

"Industri film sendiri saya kira belajar banyak sekali mulai dari produksi, distribusi, kanal distribusi baru, dan cara-cara untuk menghadirkan karya dengan medium yang berbeda. Kita semua belajar banyak dari pengalaman pandemi ini. Mudah-mudahan kita lebih siap ke depannya," kata Hilmar.


Baca juga: "Perjalanan Pertama", film kolaborasi Indonesia dan Malaysia

Baca juga: DKJ: Masyarakat berperan hidupkan ekosistem perfilman

Baca juga: Kata pembuat film "The Flame" tentang kekuatan film dokumenter