Jakarta (ANTARA News) - Dalam masyarakat yang multikultural, umat Islam harus bangkit mendakwahkan perubahan positif dan memberikan solusi terhadap persoalan masa kini.

Umat Islam akan mengulang kejayaan peradaban yang pernah dialaminya sebagai perwujudan misi Islam yang rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam), jika kembali kepada Alquran dan sunnah sebagai sumber hukum dan rujukan berijtihad.

Kini telah terjadi kemunduran dan tafaruq (perpecahan) di kalangan umat muslim, bukan kerena ketidakmampuan Islam mempersatukan umatnya, namun karena sikap beragama yang statis, eksklusif dan fanatik terhadap mazhab, serta krisis kepemimpinan dalam umat.

Mengindendtikan Islam dengan tindakan kekerasan dan mengarahterorisme, jelas sangat tidak diinginkan.

Munculnya aksi kekerasan dan radikalisme di berbagai negara, senyatanya disebabkan oleh faktor sosial, ekonomi, ketidakadilan atau karena tekanan politik rezim.


Islam memang membolehkan penganutnya menggalang kekuatan dan kekerasan, namun itu hanya untuk membela diri ketika diserang.

Syeikh Muhammad bin Husain bin Said Alu Sufran Al Qahtani menjawab persoalan radikalisme, terorisme, aksi bom bunuh diri dan berbagai bentuk tindakan anarkhis lainnya melalui bukunya Fataawa al-Aimmah fii an-Nawaazil al-Mudalhimah yang pada Desember 2008 disalin ke versi Bahasa Indonesia dalam "Fatwa-Fatwa Ulama Terkemuka tentang Tindak Kekerasan".

Pada pengatar buku setebal 143 halaman dan diterbitkan Pustaka Islahul Ummah dengan penerjemah Ade Hermansyah Lc.M.Pd.I itu, mantan Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni menyebutkan buku itu mengurai bagaimana para ulama memberikan pencerahan dan pemahaman yang tepat mengenai ajaran Islam yang bersumber dari Alquran dan Hadits.

Para ulama memberikan pemahaman tentang dasar-dasar berpijak bagi kaum muslimin dalam mengarungi kehidupan yang sarat dengan tantangan dan godaan yang dapat menimbulkan kekerasan atau konflik.

Apa hukum orang yang meletakkan bahan peledak di badannnya, lalu meledakkan dirinya di tengah kerumunan orang-orang kafir sebagai bentuk penyerangan?

Dalam bukut itu, Syeikh Qahtani dengan tegas menjawabnya, orang itu akan ditempatkan di neraka Jahannam. Dia akan kekal di sana.

Nabi Muhammad SAW sendiri menegaskan bahwa orang yang membunuh dirinya akan disiksa dengan cara yang sama saat ia membunuh dirinya, sesuai Alquran dalam surat An Nisa: 29, "Janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu".

Ada yang berpendapat bahwa perbuatan maksiat dan dosa besar yang dilakukan sebagian penguasa, menyebabkan wajibnya memberontak untuk perubahan, walau mengandung risiko. Banyak peristiwa menimpa dunia Islam akibat tindakan tersebut. Bagaimana pendapat yang mulia?

Untuk menjawab persoalan tersebut, diangkat berbagai ayat dalam Alquran yang kemudian mengerucut bahwa tidak diperbolehkan membangkang dan memberontak, kecuali bila melihat kekufuran yang nyata dan memiliki bukti kuat.



Memberontak dapat menimbulkan kerusakan besar. Hilangnya keamanan, hilangnya hak, tak bisa mencegah orang zalim dan menolong orang dizalimi. Kecuali kaum muslimin melihat ada kekufuran nyata dan punya bukti kuat, memiliki kekuatan, maka boleh memberontak untuk menurunkannya.




Namun apabila tak ada kekuatan, memberontak itu bisa dibenarkan, apalagi pemberontakan itu menyebabkan keburukan yang lebih besar.

Ulama sepakat, tidak boleh menghilangkan keburukan dengan sesuatu yang lebih buruk. Yang benar adalah mencegah keburukan dengan apa-apa yang bisa menghilangkan atau mengurangi.

Ada penjelasan tentang gairah untuk melenyapkan kemunkaran yang menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam perbuatan yang bertentangan dengan syara (agama) seperti dilakukan kaum khawarij dan mu`tazilah.

Mereka terdorong oleh semangat membela kebenaran dan kecemburuan terhadap kebenaran yang menjerumuskan mereka ke dalam kesalahan dengan mengafirkan kaum muslimin yang berbuat maksiat atau menyatakan orang yang berbuat maksiat akan kekal di neraka, seperti anggapan kaum mu`tazilah.

Berkaitan radikalisme, sebagaimana marak diwartakan, fatwa ulama yang tertuang dalam buku itu sangat penting dipahami. Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin pun mengingatkan, persoalan sosial, agama, ekonomi dan politik harus diselesaikan karena memiliki korelasi dengan radikalisme.

Radikalisme akan terus berkembang seperti terjadi pada Negara Islam Indonesia dan menggunakan agama sebagai jastifikasi. faham ini jangan sampai masuk ke kampus. Ia mengimbau anak muda jangan terpengaruh pemikiran pembentukan negara baru. Kata Dini, itu pemikiran masa silam yang harus dikubur.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Agil Siroj pun sejalan dengan pemikiran para ulama bahwa radikalisme harus dihentikan di permukaan bumi.

Agil melihat radikalisme sudah masuk pada tahap lampu merah alias emergency.



Hasil survei Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) menyebutkan lebih dari 40 persen anak usia remaja/sekolah di Jakarta setuju melakukan aksi kekerasan untuk menyelesaikan moral dan agama.

Jika memang demikian adanya, para orangtua, guru sekolah dan ustadz atau ustazah perlu menggali fatwa ulama sebagai dasar referensi atau perbendaharaan pengajaran di lembaga pendidikan mereka masing-masing.

Ulama adalah pewaris ilmu yang diturunkan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabat. Kedekatan ulama dan ummat bukan didasari kepada kepentingan diri pribadi, tapi demi menuju kedamaian dan kesejahteraan umat.

E001/H-KWR