Jambi (ANTARA) - Besiap Bungo, nama pemuda rimba atau Suku Anak Dalam (SAD), sejak dua tahun belakangan menjadi guru bagi komunitas Orang Rimba di Sungai Terap, di pinggir Taman Nasional Bukit Duabelas sebelah timur, Provinsi Jambi.

Bagi Besiap, mengajar anak-anak rimba kebahagiaan hidupnya karena membebaskan generasi rimba dari buta aksara.

"'Akeh ndok bebudak iyoy pintar, pi ndok dibodohi orang lagi'. (Saya ingin anak-anak ini pintar supaya tidak dibodohi orang lagi),” katanya saat diwawancarai di Kantor Warsi Jambi, beberapa waktu lalu.

Dibodohi menjadi momok yang menyeramkan bagi Orang Rimba. Utamanya dalam hal perdagangan dan membaca surat-surat dari pihak luar yang ditujukan ke komunitas ini. Penjualan hasil hutan bukan kayu dan hewan buruan menjadi sumber pendapatan utama Orang Rimba, hanya bisa dihitung nilainya dengan benar tentu dengan hitungan matematik yang benar.

Ketidakpiawaian menghitung bisa berujung petaka. Untuk itulah belajar menjadi sangat penting dan digandrungi anak-anak rimba saat ini yang hidup di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) dengan wilayahnya tiga kabupaten, yakni Batanghari, Tebo, dan Sarolangun, Provinsi Jambi.

Kelas Besiap tidak pernah sepi, paling sedikit ada 12 anak yang selalu hadir kala pelajaran di mulai. Tidak ada batasan khusus mereka mau belajar apa dalam setiap harinya. Semuanya berdasarkan kesepakatan guru dan muridnya. Ada kalanya mereka bersemangat belajar berhitung, ada kalanya anak-anak minta dibacakan dogeng.

Ia dengan sigap meraih buku yang disodorkan muridnya, lalu membacanya dengan semangat lengkap dengan gaya bercerita zaman kini.

Supaya murid-muridnya mengerti cerita yang dibaca, Besiap juga membaca dongeng dengan langsung menerjemahkan bacaannya ke bahasa orang rimba.

Murid-muridnya tertawa mendengar sang guru mendongeng. Ada puas dan bangga terpancar di wajah mereka usai belajar.

"'Kadang Budak iyoy suka belajar terus, awok baru pulang dari ladang nye lah minta belajor'. (Anak-anak ini suka belajar, kadang saya baru pulang dari ladang sudah minta belajar)," katanya.

Meski capai, ia tetap melayani murid-muridnya belajar. Belajar dalam rimba tidak dibatasi waktu dan tempat. Di mana saja pelajaran bisa dilangsungkan, yang penting anak murid senang dan guru memiliki kesempatan.

Menimba ilmu

Sebelum mengajar dan menjadi guru anak rimba, Besiap juga sempat menimba ilmu dari tenaga fasilitator Warsi, beberapa tahun lalu.

Untuk mengajar anak-anak rimba, ia sebelumnya sudah mendapatkan pendidikan alternatif yang diberikan fasilitator pendidikan KKI Warsi. Ketika ditanya siapa guru pertamanya, dengan lantang Besiap menyebut nama Theo.

Terap merupakan daerah dampingan Warsi yang paling akhir mau menerima pendidikan. Perbedaan cara pandang terhadap dunia luar dan adat budaya yang melekat kuat pada Orang Rimba Terap menyebabkan sekolah dan pendidikan merupakan bagian yang tidak boleh dilakukan di wilayah ini, meski kegiatan pendampingan lain berjalan baik di daerah ini.

Misalnya untuk kegiatan pengembangan ekonomi, pengamanan wilayah, dan pengembangan budaya berjalan dengan lancar. Tapi pendidikan selalu di tolak, meskipun pendidikan yang ditawarkan adalah pendidikan adaptif dengan situasi dan kebutuhan Orang Rimba.

Ketakutan akan rubuhnya adat budaya Rimba menjadi alasan kuat para tumenggung mencegah pendidikan anak-anak rimba. Ada pandangan bahwa pendidikan akan menjadi anak muda sombong dan kemudian malu dengan adat budaya rimba, atau bahkan mencoba mengubah adat budaya rimba.

Kecemasan ini menjadi alasan tumenggung menolak pendidikan yang masuk awalnya pada 2008. Selama 10 tahun setelah Orang Rimba di kelompok lain menerima pendidikan, penolakan itu akhirnya berubah. Kebutuhan mendasar dalam berkomunikasi dengan pihak luar perlu kecakapan baca tulis dan hitung, membuat tumenggung luluh dan akhirnya mengizinkan pendidikan, dengan syarat yang ketat.

Untuk rerayo

Pendidikan hanya untuk rerayo (Orang Rimba laki-laki yang sudah menikah), tidak boleh anak-anak menjadi syarat yang diajukan tumenggung.

Abdi, salah satu fasilitator Warsi yang menjadi pendamping Orang Rimba di lapangan, membuka jalan untuk pendidikan. Dilanjutkan oleh guru-guru rimba Warsi, seperti Prio, Karlina, Theo, Shaha, Helen, dan kemudian Maknun serta Yohana. Guru-guru ini saling melanjutkan tugas mengajar di kelompok Rimba Terap.

Besiap Bungo, pertama kali diajari oleh Theo sekitar 2012. Waktu itu umurnya sekitar delapan tahun. Meski Theo guru perdananya, Besiap sudah cukup akrab dengan Abdi. Tugas Abdi bukan mengajar, tetapi Besiap kerap main ke pondoknya sehingga mereka menjadi akrab.

Sebelum Theo hadir di Terap ada cerita unik terjadi pada Besiap. Suatu hari di 2012, setelah 12 hari di Terap, Abdi ada keperluan ke kelompok Orang Rimba di SPI Bukit Suban dan kemudian pulang ke Kota Jambi. Dengan motornya Abdi pergi dari Terap.

Besiap merasa kehilangan. Dengan nekat ia dan dua temannya Kelitap dan Meruya menyusul Abdi. Berbekal kain sarung lusuh, tiga bungkus mi instan dan dua bungkus roti pemberian Abdi, sebelum berangkat mereka masukkan ke tas lusuh. Berjalanlah ketiga bocah ini ke Simpang Pauh sekitar 30 km dari lokasi mereka.

Dengan kendaraan Terap-Simpang Pauh membutuhkan waktu dua jam perjalanan, jalan kaki bisa ditempuh satu hari bagi orang dewasa, namun bocah kecil itu tentu butuh waktu yang lebih lama. Dengan kaki-kaki mungil, mereka terus melangkah menyusuri jalan tanah dalam perkebunan sawit sebelum masuk jalan desa.

Simpang Pauh yang dituju masih jauh bagi ketiga bocah itu. Akhirnya ketiga bocah ini bermalam di bawah batang sawit di pinggir jalan. Keesokan harinya, bocah-bocah cilik ini melanjutkan perjalanan. Kaki imut mereka menembus jalanan tanah kebun sawit.

Mereka terus melangkah seharian berjalan dan sampai juga anak-anak itu di Simpang Pauh. Nah bagaimana mereka menemukan tim Abdi. Jelas tidak ada Abdi di Simpang Pauh. Tanpa janjian bagaimana bisa ketemu orang yang dikenal di tempat itu. Namun bocah ini masih yakin untuk bertemu.

Mereka memutuskan untuk ke SPI kantor lapangan Warsi di Bukit Suban. Lagi-lagi malam menjelang. Sebuah pos ronda di Simpang Emal Dusun Baru Kecamatan Pauh, menjadi tempat istirahat mereka malam itu. Stok roti dan mi instan sudah habis dimakan.

Malam itu mereka lalui tanpa makan, meringkuk di pos ronda, lelap dalam tidur lelah para bocah. Sinar Matahari yang menembus pos ronda membangunkan ketiga bocah ini. Bergegas mereka berkemas, menyimpan kain sarung lusuh sebagai selimut tidur semalam.

Perjalanan dilanjutkan, hampir 30 km lagi. Tanpa makan, mereka tetap bersenda gurau berjalan. Perjalanan kali ini sama jauhnya dari Terap-Simpang Pauh. Simpang Pauh-SPI butuh waktu dua jam berkendara. Beruntung di jalan mereka ditumpangkan pengendara baik hati.

Dua kali mereka dapat tumpangan dan ditambah berjalan kaki, sekitar pukul 20.00 WIB, mereka sampai kantor lapangan Warsi SPI Desa Bukit Suban.

Abdi kaget bukan kepalang, tiga bocah Terap itu hadir di depan dia. Tanpa ada Orang Rimba dewasa yang menyertai mereka. Tiga hari sebelumnya bocah-bocah itu di Sungai Terap. Malam itu, anak-anak disuguhi makanan dan minuman. Mereka makan dengan lahap namun ada sesuatu yang disembunyikan di halaman kantor.

Abdi meminta mereka membawa masuk barang mereka yang ditinggal di halaman. Rupanya yang dibawa adalah buku-buku tulis.

"'Abedi ajarko kamia'," sembari menyodorkan bukunya. Sudah jalan tiga hari dua malam, dengan bekal minim, terus malam itu langsung mau belajar. Itu tentu luar biasa.

Jadilah malam itu Abdi mengajari mereka belajar sampai larut dan para bocah ketiduran. Keesokan harinya ketika terbangun, para bocah ini sudah minta diajari lagi.

"'Kamia ndok tokang'" ujar Besiap.

Namun pagi itu Abdi harus balik ke Jambi. Bebudak murung, Abdi was-was mau diantar balik mereka tidak mau dan hanya maunya belajar. Mau di bawa bagaimana kalau dicari orang tuanya tetapi yang pasti bocah-bocah itu mau bersama Abdi.

Mereka berembuk, minta ikut Abdi ke Jambi. Abdi berupaya untuk mengirim pesan ke kelompok Terap bahwa tiga bocah itu ada bersamanya.

Selanjutnya petualangan enam jam di atas motor menuju Kota Jambi dilakoni para bocah. Perjalanan itu beberapa kali harus istirahat di pinggir jalan karena anak-anak itu mabuk darat sebelum dilanjutkan lagi. Menjelang sore mereka sampai di kantor Warsi di Jambi.

Di kantor Warsi di Jambi sudah sepi, hanya beberapa staf yang tertinggal, satu di antaranya Sukmareni. Dia bertanya kepada Abdi tentang bocah-bocah dengan wajah pias dan tampak lusuh itu yang bersamanya.

Secara singkat Abdi menjelaskan petualangan para bocah. Cerita Abdi telah membuat hati yang mendengarnya mengharu-biru.

"Wah mereka perlu sesuatu, untuk menghibur dan menambah semangat mereka belajar. Yuk mari kita ke toko buku," ajak Sukmareni.

Berlima mereka ke toko buku, kali ini dengan menggunakan mobil. Semua jendela di buka supaya ada angin yang masuk dan bocah-bocah tidak mabuk.

Pandangan heran dari pengunjung toko lainnya tak bisa dihindari. Tetapi para pendamping bersama anak rimba cuek saja, berjalan mantap masuk toko buku, serius memilih buku. Ada juga pengunjung yang bertanya padanya soal anak-anak itu yang tanpa alas kaki, berpakaian lusuh karena tiga hari tak diganti. Mereka sangat senang belanja buku. Buku dongeng bergambar dan buku tulis dan pensil mereka bawa pulang sore itu.

Sebait pesan

Tiga hari di Jambi dan selalu ke kantor Warsi, anak-anak ini bangga. Mereka menulis di papan tulis atau membaca buku. Sampai kemudian sebait pesan singkat masuk telepon selular Abdi bertanya soal bocah-bocah itu. Mereka disuruh pulang.

Sejak peristiwa itu, Besiap dan teman-temannya menjadi murid Warsi di lapangan. Dia mengikuti semua pelajaran yang diberikan dan sangat sayang dengan guru-gurunya. Theo mengenang awal dia bertugas sebagai guru rimba dan ditempatkan di Terap. Besiap langsung akrab dan selalu hadir di pondok Theo.

Besiap sangat ingin pandai dan tidak mau jauh dari gurunya. Saat itu, Theo baru seminggu bertugas sebagai guru rimba, masih penyesuaian dengan kondisi rimba yang serba berbeda dengan cara hidupnya sebelumnya.

Tinggal di dalam pondok, memasak keperluan sendiri dan tentu tanpa sinyal telepon dan apalagi listrik. Kala malam tiba bersiap dengan lilin dan lampu minyak untuk penerangan.

Baru seminggu adaptasi dan sudah mulai mengajar. Anak-anak rutin datang ke pondok pelajaran, tempat Theo tinggal.

Suatu pagi dikabarkan bahwa ada anggota kelompok yang meninggal dan itu artinya Orang Rimba akan melangun. Melangun artinya semua orang akan berpindah, tidak ada yang tersisa di lokasi.

Theo bingung, mau ikut melangun dia belum tahu ke mana Orang Rimba akan melangun, mau tinggal juga apa fungsinya di lokasi itu, jelas muridnya pasti akan ikut melangun.

Tahun berganti dan guru rimba juga berganti, Besiap selalu hadir untuk belajar dan terus belajar. Hingga 2018 lalu, dia dianggap sudah memiliki kecakapan, sehingga layak dijadikan guru. Besiap diangkat menjadi kader dan kemudian mengajar anak-anak rimba lainnya di kelompok mereka.

"Kini murid saya masuk sekolah formal dan senang mereka sudah sekolah," katanya.

Meski sudah ada sekolah formal, Besiap tetap melanjutkan misinya mengajar anak-anak rimba, terutama mempersiapkan anak rimba masuk sekolah formal tahun berikutnya. Besiap yang tak pernah sekolah formal tersebut, saat ini menghantarkan adik-adiknya yang didik di rimba untuk ke sekolah formal.

Mendobrak tradisi. Bagaimana dengan dirinya sendiri? Besiap sangat bangga dengan predikat guru yang disandangnya. Cita-citanya sejak awal aktif belajar.