Jakarta (ANTARA) - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mendorong adanya optimalisasi perolehan keuntungan dari pemanfaatan limbah yang berasal dari industri pengolahan ikan patin seperti tulang, kulit, sirip, kepala, sisik, jeroan, maupun cairan.

"Umumnya proses pengolahan patin di Indonesia menghasilkan produk filet sekitar 35 persen. Sementara hasil samping dari proses pengolahan filet patin mencapai sekitar 65 persen seperti kepala, tulang ekor, daging belly, isi perut, lemak abdomen, kulit dan hasil perapian (trimming) masih belum dimanfaatkan secara optimal," kata Plt. Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) KKP Kusdiantoro dalam siaran pers di Jakarta, Jumat.

Ia menjelaskan, bagian-bagian ini bernilai jual rendah, bahkan hanya menjadi limbah, yang dapat menurunkan kesehatan lingkungan. Namun, dari hasil riset yang dilakukan oleh Tim Peneliti KKP, menunjukkan kandungan lemak dari hasil samping tersebut mencapai sekitar 30 persen sehingga dapat dijadikan sebagai sumber potensial minyak ikan.

Kusdiantoro mengungkapkan, minyak ikan dari hasil samping pengolahan patin mengandung asam lemak Omega 3 (EPA, DHA, Linolenat) yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan suplemen pangan dikarenakan kandungan asam lemak esensialnya yang sangat baik bagi kesehatan tubuh.

"Minyak ikan membantu memelihara kesehatan jantung, mencegah penyumbatan pembuluh darah, menjaga kesehatan kulit hingga mengurangi gejala depresi dan alergi," papar Kusdiantoro.

Selain itu, ujar dia, padatan yang tersisa dari ekstraksi minyak ikan patin juga dapat digunakan sebagai ingredient atau bahan baku pakan setelah diproses menjadi tepung ikan.

Berdasarkan data dari KKP, limbah dari industri pengolahan perikanan diperkirakan memiliki proporsi sekitar 30-40 persen dari total berat ikan, yang terdiri dari bagian kepala 12,0 persen, tulang 11,7 persen, sirip 3,4 persen, kulit 4,0 persen, duri 2,0 persen, dan isi perut atau jeroan 4,8 persen.

Sejak tahun 2021, BRSDM melalui Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan (BBRP2BKP) telah mengembangkan riset "Pemanfaatan Hasil Samping Industri Pengolahan Ikan Patin sebagai Bahan Produk Pangan dan Non Pangan".

Tak hanya itu, dengan berbekal pengetahuan pengolahan limbah industri patin, Kepala BBRP2BKP, Hedi Indra Januar, menyampaikan bahwa UKM dapat menerapkan konsep ekonomi biru dalam proses produksinya untuk mengatasi masalah lingkungan, sekaligus meningkatkan pendapatan dari nilai tambah dari pengolahan limbah tersebut, dan sebagai koridor inisiasi untuk program prioritas pengembangan kampung budidaya perikanan.

Peneliti BBRP2BKP, Ema Hastarini, mengatakan bahwa minyak ikan patin yang diekstrak dari hasil samping pengolahan ini memiliki profil asam lemak jenuh sebesar 48,84 persen dan asam lemak tak jenuh sebesar 51,16 persen serta menjadikannya sebagai sumber energi dan asam lemak esensial yang cukup tinggi.

Sementara itu, ujar dia, tepung ikan yang dihasilkan merupakan sumber protein dan asam amino dengan kadar protein mencapai 40,90 persen hingga 74, 06 persen.

Hingga kini, teknologi hasil riset pemanfaatan hasil samping industri patin pun telah didiseminasikan kepada 30 UKM, pembudidaya, dosen Politeknik AUP Dumai, dan penyuluh Perikanan di Desa Koto Mesjid, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Desa Koto Mesjid merupakan salah satu kampung budidaya patin yang produksinya bisa mencapai sekitar 400 ton per bulan.

Patin (Pangasius hypophthalmus) sendiri merupakan salah satu komoditas perikanan budidaya strategis di Indonesia. Pada 2020, jumlah produksi patin di Indonesia mencapai 408.539 ton, meningkat dari jumlah 391.151 ton di tahun 2018.

Baca juga: Potensi ekspornya besar, KKP pacu pengembangan budi daya ikan patin
Baca juga: Riset KKP tentang Patin Perkasa raih karya inovasi paling prospektif
Baca juga: Menparekraf dorong desa wisata di Riau ekspor olahan ikan patin