Kepala BNPB: Diperlukan pergeseran paradigma penanganan bencana
2 Desember 2021 14:59 WIB
Tangkapan layar Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Mayjen TNI Suharyanto dalam pembukaan Webinar Internasional "Builing the Coastal Regional and Community Resilience in Times of Tubulence:Recalibrating Out Development-Resilience Relation" secara daring di Jakarta, Kamis (2/12/2021). ANTARA/Devi Nindy
Jakarta (ANTARA) - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Mayjen TNI Suharyanto mengatakan dalam penanganan bencana diperlukan pergeseran paradigma guna mengurangi dampak kerugian dari suatu kejadian.
"Diperlukan pergeseran paradigma penanganan bencana dari hanya paradigma pengurangan risiko semata ke dalam paradigma gagal kebijakan," kata Suharyanto dalam pembukaan Webinar Internasional "Builing the Coastal Regional and Community Resilience in Times of Tubulence:Recalibrating Out Development-Resilience Relation" secara daring di Jakarta, Kamis.
Menurut Suharyanto, banyaknya kejadian bencana tsunami di Indonesia, bahkan sampai memakan ratusan ribu korban jiwa pada tsunami Aceh 2004, harus menjadi pelajaran bagi pemangku kebijakan untuk mengambil keputusan lebih bijak dan tidak menimbun kerawanan di masa mendatang.
Sementara, kondisi turbulen dan ketidakpastian serta krisis multidimensi masa depan di dunia, khususnya di Indonesia ditengarai masih ada mengikuti proses pembangunan nasional, serta membuat penanganan bencana menjadi semakin kompleks.
"Hal ini memerlukan perubahan pendekatan dalam proses pengambilan keputusan dalam pembangunan yang berbasis sains, bukti, fakta, dan pengetahuan," kata dia.
Suharyanto mengatakan semua itu hanya dapat tercapai dengan menghapus sekat-sekat dan dinding imajiner yang dibangun oleh ilusi ego disipliner dan ego sektoral, antara lain melalui ikhtiar ilmiah interdisipliner, dengan pendekatan transdisipliner yang membumi, dan mendukung proses pengambilan kebijakan publik yang mumpuni.
Sehingga pembangunan dan penanganan kebencanaan perlu menjadi kesatuan yang sistemik dan berkesinambungan, agar melahirkan kebijakan pada ruang berbasis risiko dan menerapkan prinsip-prinsip resiliensi.
Pembangunan yang berbasis risiko bencana, menurut Suharyanto harus sejalan dengan konsep optimalisasi sumber daya perairan dan sumber daya alam lainnya secara tradisional untuk memaksimumkan ekonomi negara, tanpa mengesampingkan keberlanjutan dan kelestarian lingkungan tanpa memicu atau meningkatkan kerawanan bencana, atau yang saat ini dikenal sebagai ekonomi biru dan ekonomi sirkular.
Selain itu, Suharyanto menekankan perlunya memperkuat program nasional dalam pembangunan sistem peringatan sini multi bahaya dan kesiapsiagaan masyarakat guna mengurangi gagal kebijakan, khususnya penguatan pada akumulasi kerawanan yang dapat memicu bencana dari sisi sosial.
Baca juga: BNPB: Perencanaan yang tepat optimalkan penanggulangan bencana
Baca juga: Aparat lintas instansi tangani bencana pergerakan tanah di Kotabaru
Baca juga: BNPB usung konsep mitigasi bencana tsunami berbasis ekosistem
"Diperlukan pergeseran paradigma penanganan bencana dari hanya paradigma pengurangan risiko semata ke dalam paradigma gagal kebijakan," kata Suharyanto dalam pembukaan Webinar Internasional "Builing the Coastal Regional and Community Resilience in Times of Tubulence:Recalibrating Out Development-Resilience Relation" secara daring di Jakarta, Kamis.
Menurut Suharyanto, banyaknya kejadian bencana tsunami di Indonesia, bahkan sampai memakan ratusan ribu korban jiwa pada tsunami Aceh 2004, harus menjadi pelajaran bagi pemangku kebijakan untuk mengambil keputusan lebih bijak dan tidak menimbun kerawanan di masa mendatang.
Sementara, kondisi turbulen dan ketidakpastian serta krisis multidimensi masa depan di dunia, khususnya di Indonesia ditengarai masih ada mengikuti proses pembangunan nasional, serta membuat penanganan bencana menjadi semakin kompleks.
"Hal ini memerlukan perubahan pendekatan dalam proses pengambilan keputusan dalam pembangunan yang berbasis sains, bukti, fakta, dan pengetahuan," kata dia.
Suharyanto mengatakan semua itu hanya dapat tercapai dengan menghapus sekat-sekat dan dinding imajiner yang dibangun oleh ilusi ego disipliner dan ego sektoral, antara lain melalui ikhtiar ilmiah interdisipliner, dengan pendekatan transdisipliner yang membumi, dan mendukung proses pengambilan kebijakan publik yang mumpuni.
Sehingga pembangunan dan penanganan kebencanaan perlu menjadi kesatuan yang sistemik dan berkesinambungan, agar melahirkan kebijakan pada ruang berbasis risiko dan menerapkan prinsip-prinsip resiliensi.
Pembangunan yang berbasis risiko bencana, menurut Suharyanto harus sejalan dengan konsep optimalisasi sumber daya perairan dan sumber daya alam lainnya secara tradisional untuk memaksimumkan ekonomi negara, tanpa mengesampingkan keberlanjutan dan kelestarian lingkungan tanpa memicu atau meningkatkan kerawanan bencana, atau yang saat ini dikenal sebagai ekonomi biru dan ekonomi sirkular.
Selain itu, Suharyanto menekankan perlunya memperkuat program nasional dalam pembangunan sistem peringatan sini multi bahaya dan kesiapsiagaan masyarakat guna mengurangi gagal kebijakan, khususnya penguatan pada akumulasi kerawanan yang dapat memicu bencana dari sisi sosial.
Baca juga: BNPB: Perencanaan yang tepat optimalkan penanggulangan bencana
Baca juga: Aparat lintas instansi tangani bencana pergerakan tanah di Kotabaru
Baca juga: BNPB usung konsep mitigasi bencana tsunami berbasis ekosistem
Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2021
Tags: