Pakar sebut masyarakat belum paham grafitifikasi akar masalah korupsi
2 Desember 2021 12:13 WIB
Tangkapan layar - Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Gandjar Laksmana Bonaprapta dalam webinar nasional bertajuk “Perkuat Budaya Antikorupsi: Semangat Mengukir Prestasi” yang disiarkan langsung di kanal YouTube Bea Cukai Jakarta, dipantau dari Jakarta, Kamis (2/12/2021). ANTARA/Tri Meilani Ameliya.
Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Gandjar Laksmana Bonaprapta mengatakan masyarakat Indonesia belum seutuhnya memahami gratifikasi merupakan salah satu akar masalah korupsi sehingga mereka pun terbiasa melakukannya.
“Akar masalah korupsi adalah gratifikasi, yaitu pemberian-pemberian,” ujar Gandjar Laksamana selaku narasumber webinar nasional bertajuk “Perkuat Budaya Antikorupsi: Semangat Mengukir Prestasi” yang disiarkan langsung di kanal YouTube Bea Cukai Jakarta, dipantau dari Jakarta, Kamis.
Selama ini, lanjutnya, masyarakat menganggap pemberian hadiah kepada aparatur sipil negara (ASN) atau penyelenggara negara merupakan hal biasa dan dianggap sebagai wujud ucapan terima kasih sekaligus tindakan menjaga hubungan baik.
Gandjar juga menilai sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung tidak mengetahui bahwa hal yang dilakukannya bisa tergolong kejahatan korupsi.
Baca juga: Wamenkumham: Presiden Jokowi contoh baik dalam pelaporan gratifikasi
“Kenapa korupsi masih banyak terjadi? Ternyata, masyarakat itu tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya itu korupsi,” tekannya.
Contohnya, ucap Gandjar, cara berpikir masyarakat yang selalu menganggap pemberian sekadar ucapan terima kasih sebenarnya mengindikasikan ketidaktahuan mereka bahwa dirinya telah melakukan tindakan cikal bakal korupsi.
Dengan demikian, gratifikasi yang merupakan pemberian, baik berupa uang tambahan maupun hadiah dalam berbagai bentuk, justru semakin tumbuh subur di Tanah Air dan ikut menjadi pendorong maraknya terjadi tindak pidana korupsi.
Secara lebih lanjut, Gandjar juga menjelaskan akar masalah gratifikasi adalah rusaknya cara berpikir dan diskriminasi.
Baca juga: KPK sebut gratifikasi hambat objektivitas penyelenggara negara
Sikap masyarakat yang belum memahami secara baik tentang gratifikasi seperti yang telah ia paparkan sebelumnya merupakan contoh dari rusaknya cara berpikir.
Sementara terkait diskriminasi, tambah Gandjar, pemberian-pemberian hadiah atau barang kepada ASN ataupun penyelenggara negara menyebabkan si pemberi diistimewakan, sedangkan yang tidak memberi tidak dilayani dengan baik.
Untuk mengatasi hal tersebut, ia mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk bersama-sama meyakini korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Kemudian, segala tindakan yang merupakan cikal bakalnya, seperti gratifikasi berbahaya.
“Kita harus meyakini korupsi kejahatan luar biasa yang tidak bisa diberantas dengan cara-cara biasa sebagaimana memberantas copet, pencurian, dan penipuan,” tegas Gandjar Laksmana Bonaprapta.
Baca juga: KPK jamin lindungi dan jaga kerahasiaan pelapor gratifikasi
“Akar masalah korupsi adalah gratifikasi, yaitu pemberian-pemberian,” ujar Gandjar Laksamana selaku narasumber webinar nasional bertajuk “Perkuat Budaya Antikorupsi: Semangat Mengukir Prestasi” yang disiarkan langsung di kanal YouTube Bea Cukai Jakarta, dipantau dari Jakarta, Kamis.
Selama ini, lanjutnya, masyarakat menganggap pemberian hadiah kepada aparatur sipil negara (ASN) atau penyelenggara negara merupakan hal biasa dan dianggap sebagai wujud ucapan terima kasih sekaligus tindakan menjaga hubungan baik.
Gandjar juga menilai sebagian besar masyarakat Indonesia cenderung tidak mengetahui bahwa hal yang dilakukannya bisa tergolong kejahatan korupsi.
Baca juga: Wamenkumham: Presiden Jokowi contoh baik dalam pelaporan gratifikasi
“Kenapa korupsi masih banyak terjadi? Ternyata, masyarakat itu tidak tahu bahwa apa yang dilakukannya itu korupsi,” tekannya.
Contohnya, ucap Gandjar, cara berpikir masyarakat yang selalu menganggap pemberian sekadar ucapan terima kasih sebenarnya mengindikasikan ketidaktahuan mereka bahwa dirinya telah melakukan tindakan cikal bakal korupsi.
Dengan demikian, gratifikasi yang merupakan pemberian, baik berupa uang tambahan maupun hadiah dalam berbagai bentuk, justru semakin tumbuh subur di Tanah Air dan ikut menjadi pendorong maraknya terjadi tindak pidana korupsi.
Secara lebih lanjut, Gandjar juga menjelaskan akar masalah gratifikasi adalah rusaknya cara berpikir dan diskriminasi.
Baca juga: KPK sebut gratifikasi hambat objektivitas penyelenggara negara
Sikap masyarakat yang belum memahami secara baik tentang gratifikasi seperti yang telah ia paparkan sebelumnya merupakan contoh dari rusaknya cara berpikir.
Sementara terkait diskriminasi, tambah Gandjar, pemberian-pemberian hadiah atau barang kepada ASN ataupun penyelenggara negara menyebabkan si pemberi diistimewakan, sedangkan yang tidak memberi tidak dilayani dengan baik.
Untuk mengatasi hal tersebut, ia mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk bersama-sama meyakini korupsi sebagai kejahatan luar biasa. Kemudian, segala tindakan yang merupakan cikal bakalnya, seperti gratifikasi berbahaya.
“Kita harus meyakini korupsi kejahatan luar biasa yang tidak bisa diberantas dengan cara-cara biasa sebagaimana memberantas copet, pencurian, dan penipuan,” tegas Gandjar Laksmana Bonaprapta.
Baca juga: KPK jamin lindungi dan jaga kerahasiaan pelapor gratifikasi
Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2021
Tags: