Jakarta (ANTARA) - Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menginginkan adanya pengurangan terhadap berbagai hambatan non-tarif (Non Tarif Measures/NTM) sebagai upaya menguatkan daya saing industri pengolahan makanan minuman Indonesia.

"Hambatan non-tarif untuk produk makanan dan minuman diperkirakan setara dengan tarif sebesar 49 persen. Dalam survey International Trade Centre, importir juga mengeluhkan maraknya pungutan liar dalam prosedur impor akibat adanya macam-macam hambatan non-tarif," kata Felippa Ann Amanta dalam siaran pers di Jakarta, Jumat.

Felippa mengingatkan bahwa berbagai hambatan non-tarif akan melemahkan daya saing karena menimbulkan berbagai biaya tambahan serta menyebabkan waktu yang lebih lama untuk menjalankan proses yang ada.

Ia mencontohkan, NTM mensyaratkan dipenuhinya berbagai ketentuan seperti mengenai label, pengemasan, atau sertifikasi dan juga inspeksi pra-pengiriman di pelabuhan asal yang memakan banyak waktu hingga memunculkan keterlambatan impor.

"Dwelling time atau masa penimbunan peti kemas di pelabuhan Indonesia yang sekitar lima hari, jauh diatas 1,5 hari di Singapura dan dua hari di Malaysia. Ketika sedang ramai, proses administrasi, pengecekan, dan pengeluaran barang bisa menghabiskan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Keterlambatan waktu ini memakan biaya, dan ini merugikan importir serta industri," kata Felippa.

Baca juga: Kemendag butuh dukungan kementerian lain, rumuskan hambatan nontarif


Dampak hambatan non-tarif lainnya, lanjutnya, seperti sistem kuota yang diputuskan melalui rekomendasi Kementerian Perindustrian dan izin Kementerian Perdagangan, adalah terbatasnya akses kepada bahan baku dari pasar global.

Selain itu, ujar dia, beberapa komoditas bahkan memiliki tambahan persyaratan, seperti Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 3 Tahun 2021, yang membatasi impor bahan baku gula hanya bagi pabrik gula yang didirikan tahun 2010 dan setelahnya padahal kebanyakan pabrik gula di Indonesia berusia lebih dari 100 tahun.

Berdasarkan data CIPS, industri pengolahan makanan dan minuman merupakan kontributor ekspor Indonesia terbesar kedua setelah pertambangan.

"Industri pengolahan makanan yang menyumbang sekitar 30-40 persen dari total hasil produksi mempekerjakan sekitar 20 persen dari pekerja sektor manufaktur. Usaha mikro kecil pengolahan makanan menyediakan 75 persen dari lapangan pekerjaan industri ini," paparnya.

Data BPS untuk kuartal III/2021 menunjukkan industri makanan minuman adalah salah satu penyumbang pertumbuhan terbesar di manufaktur, dengan 3,49 persen secara year-on-year dan 4,78 persen secara quarter-to-quarter.


Baca juga: Menperin sebut produk impor terlalu "gampang" masuk Indonesia


CIPS merekomendasikan penguatan posisi industri pengolahan pangan dengan mengganti sistem perizinan impor bahan baku yang ada dengan sistem persetujuan otomatis (automatic import licensing system).

"Skema perizinan ini akan dapat menghapus keterbatasan akses bahan baku dan menciptakan fleksibilitas yang dibutuhkan importir untuk merespons sinyal pasar internasional demi keuntungan konsumen Indonesia," ucapnya.

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian menyebutkan pemanfaatan teknologi industri 4.0 di sektor makanan dan minuman (mamin) telah memacu produktivitas menjadi lebih efisien dan berkualitas, sehingga meningkatkan daya saing industri tersebut.

"Industri mamin terbukti menjadi salah satu sektor unggulan karena memiliki kinerja yang gemilang. Pada kuartal II tahun 2021, industri mamin berkontribusi sebesar 38,42 persen terhadap pertumbuhan PDB industri pengolahan nonmigas," kata Plt Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin Putu Juli Ardika.

Ia menyebutkan kontribusi industri mamin di kuartal II 2021 tersebut, lebih tinggi dibanding sumbangsihnya pada 2019 yang mencapai 36,40 persen dan pada 2020 di angka 38,29 persen.


Baca juga: Peneliti: Penyederhanaan hambatan nontarif pangan bantu atasi stunting
Baca juga: Peneliti: Kebijakan perdagangan terbuka bisa jadi kunci pemulihan