Jakarta (ANTARA News) - Kepenatan perjalanan satu jam terpanggang matahari dengan naik perahu bermesin 20 PK di Sungai Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu ditambah risiko terpeleset di atas batuan tajam dan licin, serasa terbayar lunas saat tim Indonesia 4X4 Expedition sampai di sebuah air terjun di penghujung anak sungai tak bernama.
Air terjun yang terlontar dari ketinggian tak kurang dari lima belas meter dan jatuh mengikuti tegakan tebing batu, seolah melunturkan kepenatan anggota tim ekspedisi yang melintasi hulu Kapuas dan perbatasan Kalimantan Barat pada beberapa pekan lalu.
Dari ketinggian air terjun, sinar matahari menerobos dari pucuk-pucuk pepohonan, uap air mengambang di udara, melayang dari buih-buih yang memecah putih.
Uap air itu jatuh miring dari matahari yang sudah mulai lengser ke barat dan membuat titik-titik air berkilauan. Air dingin yang jatuh membentuk sebuah kolam di dasar sungai segera turun terus ke alur; menjadikannya sebuah tempat yang nyaman untuk berendam.
Suasana seperti itu pula yang mungkin menginspirasi pujangga bertutur tentang legenda Putri Junjung Buih yang muncul dari riak air berbuih di pertapaan manusia Lembu Mangkurat.
Putri Junjung Buyah (Buih) dan Pangeran Aji Batara Dewa Sakti adalah legenda rakyat Kutai di percabangan Sungai Mahakam di Tepian Batu. Sang Putri dan Pengaran hidup di Kerajaan Negara Dipa di hulu Sungai Amandit di Pegunungan Meratus, jauh di Selatan sana.
ANTARA yang turut dalam ekspedisi itu, turut memandang air terjun ini tanpa suara. Menikmati gemuruhnya dan cipratan airnya.
Arif, petugas Taman Nasional Betung Kerihun, kemudian mengeluarkan kamera video yang dibungkus plastik tebal dan mulai mengambil gambar.
Sejumlah fotografer juga harus mengelap lensa kamera yang terciprat buih air terjun sebelum memuaskan hati memotret,
Sementara Bondho, dokumenter resmi Indonesia 4X4 Expedition: Hulu Kapuas-Border Kalimantan Barat, mencoba naik meniti bebatuan dan membuat "panning shot" dari sana.
Bang Frans, anggota tertua rombongan, seperti menemukan kembali masa kecilnya, berenang-renang di kolam dan membiarkan air terjun itu mendera punggungnya yang kokoh.
Agus Purwanto, orang Jawa yang mengabdi di Telkom Pekanbaru, Riau, duduk di atas batu, memandang air terjun dan sungainya. Agus memotret dengan Blackberry.
Cipto, Teknisi Thuraya, layanan sambungan telepon satelit itu, memperlihatkan kecanggihan perangkat asal Abu Dhabi yang diageni kantornya. Berdiri di samping gemuruh air terjun dan dipotret Bondho dari bawah ia terlihat berbicara lewat telepon itu dengan seseorang di pulau lain.
Sebuah air terjun tanpa nama dari anak sungai yang juga tak bernama, satu jam dari Kampung Sadap ke hulu Sungai Embaloh.
Bahkan Gimbau pun, panglima perang Iban di rumah betang Sadap tidak memiliki catatan atau ingatan tentang nama air terjun itu.
"Sebut saja air terjun Sadap-Embaloh," katanya tersenyum.
Di peta, tempat-tempat ini terlihat dekat, khususnya dari Putussibau, ibu kota kabupaten Kapuas Hulu, kabupaten yang dikelilingi Pegunungan Muller-Schwanner di Timur dan Selatan, hutan lebat di antara Gunung Betung dan Gunung Kerihun, Pegunungan Kapuas Hulu, di Utaranya.
Puncak-puncak Pegunungan Kapuas Hulu itu terbelah menjadi dua wilayah. Bagian selatan milik Indonesia, bagian utara milik Malaysia. Tapi kedua negara serumpun itu tak selalu akur berbagi sempadan.
Bagi NKRI, batas-batas itu adalah harga mati dan tak bisa ditawar lagi, sementara di sebelah Utara, Malaysia sering dilaporkan menggeser patok-patok perbatasan hingga berkilo-kilometer ke Selatan.
814 kilometer
"Tak harus ke air terjun tadi, ke Putussibau saja perlu perjuangan tersendiri," kata Ahmad Yani, kepala Bidang Taman Nasional Betung-Kerihun yang berkantor di Mataso, Sadap, Kecamatan Benua Martinus, Kabupaten Kapuas Hulu.
Kabupaten Kapuas Hulu merupakan satu dari 14 kabupaten/kota yang ada di Kalimantan Barat. Berada di ujung timur ibu kota provinsi, Pontianak. Sebanyak 56 persen dari luas wilayah kabupaten ini adalah kawasan konservasi dalam bentuk taman nasional dan hutan lindung.
"Harap maklum, saat ini penerbangan 45 menit dari Bandara Supadio, Pontianak ke Bandara Pangsuma di Putussibau sedang libur entah sampai kapan," kata Ahmad Yani.
Perjalanan darat menuju kabupaten itu, memakan waktu tak kurang dari 18 jam dengan bus menempuh perjalanan sejauh 814 kilometer dari Kota Pontianak.
Hanya turis berjiwa petualang yang mau mampir ke Sadap bila keadaannya terus begini.
"Tetapi kami sudah membuat jalan setapak rintisan di atas tebing sana, agar kelak pengunjung tidak lagi harus menyusur sungai seperti kita," kata Arif.
Ada usul untuk membuat dermaga kecil dan jembatan kecil titian dari muara sungai kecil itu ke air terjun.
Menurut Arif, jalan rintisan itu bersambung dengan jalur pemantau satwa sehingga bila mau, pengunjung dapat melakukan "trekking", berjalan kaki kembali ke Sadap.
"Atau turun ke sungai setelah separuh jalan dan dijemput lagi dengan perahu," katanya.
Perkiraan Arif, "trekking" dari air terjun itu ke Sadap tak kurang dari 2-3 jam atau sekitar 15 km. Selain itu, Arif menawarkan kegiatan yang sedikit menantang: "body rafting".
Sungai Embaloh yang tak terlalu deras memungkinkan itu dilalui dengan aman, apalagi semua orang sudah mengenakan "lifejacket" atau pelampung penyelamat.
"Kedengarannya asyik. Bukankah kita tinggal menghanyutkan diri sambil menjaga kepala tetap di atas air," kata salah seoarang anggota Tim.
Pukul 02.00 WIB, tim kembali menyusuri sungai tak bernama ke muaranya di Sungai Embaloh. Bila tadi saat datang menuju air terjun terasa jauh, turun menghilir sungai tak lebih dari 15 menit. Jaraknya dari muara sungai ke air terjun ternyata hanya 300 meter.
Namun, 300 meter itu menjadi perjalanan yang luar biasa, karena harus diwarnai isapan lintah, lutut terbelah gigir batu tajam, terperosok lumpur liat yang dalam. Bahkan sandal gunung anggota tim ada yang putus. Akhirnya "body rafting" pun tak jadi.
(N005/T010)
Ekspedisi ke Air Terjun Tanpa Nama
18 April 2011 14:08 WIB
Air Terjun
Pewarta: Nurul Hayat dan Novi Abdi
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011
Tags: