KPK sita tanah dan bangunan milik Bupati Hulu Sungai Utara
25 November 2021 15:50 WIB
Penyidik KPK menyita tanah dan bangunan diduga milik tersangka Bupati Hulu Sungai Utara Abdul Wahid yang berlokasi di Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, pada Rabu (24/11/2021). ANTARA/HO-Humas KPK/am.
Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyita tanah dan bangunan yang diduga milik tersangka Bupati Hulu Sungai Utara Abdul Wahid (AW) yang berlokasi di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Penyitaan tersebut dilakukan dalam penyidikan kasus dugaan korupsi terkait pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Hulu Sungai Utara Tahun 2021-2022 untuk tersangka Abdul Wahid.
"Tim Penyidik KPK, pada 24 November 2021 telah melakukan penyitaan berupa satu objek tanah dan bangunan yang diduga milik tersangka AW, yaitu berlokasi di Kelurahan Paliwara, Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara yang diperuntukkan klinik kesehatan," ucap Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Baca juga: KPK dalami persetujuan Bupati Hulu Sungai Utara tentukan kontraktor
Selain itu, kata dia, dalam penyidikan kasus tersebut, Tim Penyidik KPK sebelumnya menyita satu unit mobil dari Ketua DPRD Kabupaten Hulu Sungai Utara Almien Ashar Safari.
"Barang bukti dimaksud selanjutnya akan dikonfirmasi kembali kepada saksi-saksi yang terkait dengan perkara ini. Saat ini, tim penyidik masih terus mengumpulkan dan melengkapi bukti-bukti terkait perkara ini," kata Ali.
KPK telah menetapkan Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi.
Baca juga: KPK panggil empat PNS Pemkab Musi Banyuasin
Penetapan Abdul Wahid sebagai tersangka merupakan pengembangan dari kasus yang menjerat Maliki (MK) selaku Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan (PUPRP) Hulu Sungai Utara, Marhaini (MRH) dari pihak swasta/Direktur CV Hanamas, dan Fachriadi (FH) dari pihak swasta/Direktur CV Kalpataru.
KPK menduga pemberian komitmen bagian yang diduga diterima Abdul Wahid melalui Maliki, yaitu dari Marhaini dan Fachriadi dengan jumlah sekitar Rp500 juta.
Selain melalui perantaraan Maliki, Abdul Wahid juga diduga menerima komitmen bagian dari beberapa proyek lainnya melalui perantaraan beberapa pihak di Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara pada 2019 sekitar Rp4,6 miliar, tahun 2020 sekitar Rp12 miliar, dan tahun 2021 sekitar Rp1,8 miliar.
Baca juga: Ketua KPK: Setuju penerapan hukuman mati bagi koruptor
Selain itu, selama proses penyidikan berlangsung, tim penyidik telah mengamankan sejumlah uang dalam bentuk tunai dengan pecahan mata uang rupiah dan mata uang asing yang hingga saat ini masih terus dilakukan penghitungan jumlahnya.
Atas perbuatannya, Abdul Wahid disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 KUHP jo Pasal 65 KUHP.
Penyitaan tersebut dilakukan dalam penyidikan kasus dugaan korupsi terkait pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Hulu Sungai Utara Tahun 2021-2022 untuk tersangka Abdul Wahid.
"Tim Penyidik KPK, pada 24 November 2021 telah melakukan penyitaan berupa satu objek tanah dan bangunan yang diduga milik tersangka AW, yaitu berlokasi di Kelurahan Paliwara, Kecamatan Amuntai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara yang diperuntukkan klinik kesehatan," ucap Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Baca juga: KPK dalami persetujuan Bupati Hulu Sungai Utara tentukan kontraktor
Selain itu, kata dia, dalam penyidikan kasus tersebut, Tim Penyidik KPK sebelumnya menyita satu unit mobil dari Ketua DPRD Kabupaten Hulu Sungai Utara Almien Ashar Safari.
"Barang bukti dimaksud selanjutnya akan dikonfirmasi kembali kepada saksi-saksi yang terkait dengan perkara ini. Saat ini, tim penyidik masih terus mengumpulkan dan melengkapi bukti-bukti terkait perkara ini," kata Ali.
KPK telah menetapkan Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi.
Baca juga: KPK panggil empat PNS Pemkab Musi Banyuasin
Penetapan Abdul Wahid sebagai tersangka merupakan pengembangan dari kasus yang menjerat Maliki (MK) selaku Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan (PUPRP) Hulu Sungai Utara, Marhaini (MRH) dari pihak swasta/Direktur CV Hanamas, dan Fachriadi (FH) dari pihak swasta/Direktur CV Kalpataru.
KPK menduga pemberian komitmen bagian yang diduga diterima Abdul Wahid melalui Maliki, yaitu dari Marhaini dan Fachriadi dengan jumlah sekitar Rp500 juta.
Selain melalui perantaraan Maliki, Abdul Wahid juga diduga menerima komitmen bagian dari beberapa proyek lainnya melalui perantaraan beberapa pihak di Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara pada 2019 sekitar Rp4,6 miliar, tahun 2020 sekitar Rp12 miliar, dan tahun 2021 sekitar Rp1,8 miliar.
Baca juga: Ketua KPK: Setuju penerapan hukuman mati bagi koruptor
Selain itu, selama proses penyidikan berlangsung, tim penyidik telah mengamankan sejumlah uang dalam bentuk tunai dengan pecahan mata uang rupiah dan mata uang asing yang hingga saat ini masih terus dilakukan penghitungan jumlahnya.
Atas perbuatannya, Abdul Wahid disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 KUHP jo Pasal 65 KUHP.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021
Tags: