Jakarta (ANTARA News) - Suatu kali, Rosihan Anwar mengajukan pertanyaan kepada para wartawan di depannya, "Siapa wartawan hebat di Indonesia?". Belum sempat ditimpali, si empunya pertanyaan langsung memberi jawaban, "Saya."
Sempat terdengar tawa dari beberapa orang, tapi dengan percaya diri Rosihan membalas, "silakan anda tertawa, itu urusan anda".
Kejadian itu berlangsung pada suatu acara diskusi 10 tahun lalu di kota Padang. Tema diskusi ketika itu soal "Adakah Wartawan Hebat". Kata "hebat" tentunya adalah kemampuan untuk menghasilkan karya jurnalistik yang luar biasa.
Tidak ada yang menyanggah klaimnya itu, bahkan hingga Pak Ros tutup usia pada 14 April 2011. Rosihan dikenal sebagai orang yang memegang idealisme. Ucapan sosok yang memilih tak hidup glamor itu seolah tantangan untuk para pekerja pers.
Jadi, seperti apa wartawan yang seharusnya itu? Dia bisa menyebutnya dengan cepat dan semua ada pada sosoknya.
"Jangan sekalipun terjun dalam dunia jurnalistik jika ingin mengejar kekayaan. Cari kerja saja di bidang lain," kata Rosihan. Dia bukanlah sekedar memberikan petuah kosong. Dia adalah contoh dari nasehat itu.
Suatu waktu di zaman Orde Baru, Presiden Soeharto menawarkannya jabatan Duta Besar RI untuk Vietnam. Rosihan menolak dengan alasan ingin konsisten sebagai wartawan yang sudah jadi pilihan hidup.
"Jangan" berikutnya adalah soal malas membaca. Ia mengingatkan, jurnalis yang tak akan pernah jadi "besar" adalah mereka yang miskin wawasan karena tak rajin membaca. Esai-esai Pak Ros menggambarkan bukan saja dia membaca banyak buku tetapi juga memahami dan memberi perspektif dari bacaan tersebut.
Selain "jangan", Pak Ros juga menyampaikan ciri-ciri jurnalis sejati. Dia menegaskan, mereka yang ingin serius menekuni dunia kewartawanan harus selalu punya titik pandang terhadap masalah yang diberitakan. Tentu, pandangan itu didapat dari wawasan.
Dia juga menyebut bahwa wartawan sejati akan terus berjuang dan teguh pendirian dalam segala kondisi. Keteguhan itu juga yang membuat Pedoman dua kali dibreidel yaitu pada tahun 1961 pada masa Orde Lama dan pada tahun 1974 pada masa Orde Baru.
"Kendati begitu tidaklah saya 'banting stir', lalu mengubah karier misalnya menjadi advokat, pengusaha, anggota DPR, atau Menteri." katanya.
Ciri lain wartawan "besar" adalah punya komitmen membela yang tertindas dan punya rasa ingin tahu yang besar. "Kalau puas dengan menyusun berita dari pidato, anda tidak akan pernah menjadi wartawan hebat, " katanya.
Pak Ros, lewat tulisan-tulisannya, menjadi pencatat sejarah yang juga bagian dari sejarah. Pria kelahiran Kubang Nan Dua Sumatera Barat 10 Mei 1922 tersebut mengawali kariernya sebagai wartawan harian Asia Raya pada 1943 saat pendudukan Jepang.
Dia menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan harian Pedoman (1948-1961) serta (1968-1974). Dia juga koresponden berbagai media asing, salah satunya koran Australia The Age. Hingga akhir hayatnya, Pak Ros dikenal aktif menulis sebagai kolumnis di berbagai media massa.
Sosok berjuluk "wartawan tiga zaman" itu juga pernah mengisi baterai --istilah untuk wartawan saat mengikuti pendidikan lanjutan -- antara lain di Universitas Yale dan School of Journalism di Universitas Columbia, New York City, Amerika Serikat.
Mantan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia itu menulis buku pertamanya, "Ke Barat dari Rumah" pada tahun 1952. Setelah itu buku-bukunya meluncur hingga sekitar 30 buku, kebanyakan tentang cerita dibalik berita pada masa revolusi kemerdekaan maupun zaman setelahnya.
Rosihan Anwar menunjukkan keunggulannya dalam menulis esai terutama dalam menampilkan data dan detil peristiwa hanya dengan mengandalkan "rekaman" ingatan.
"Karena itu saya sering salah misalnya dalam menulis tanggal, ejaan nama orang dan hal-hal yang bukan mendasar," akunya pada suatu kesempatan.
Ulang tahunnya kerap ditandai dengan peluncuran buku. Misalnya, saat ulang tahun ke-77 tahun diluncurkan dua buku tulisannya, "Reportase Wartawan Film --Meliput Festival Film Internasional" dan "Quartet --Pertemuan dengan Empat Sahabatku".
Pak Ros juga adalah sosok yang dekat dengan perfilman Indonesia. Bersama Usmar Ismail tahun 1950 mendirikan PT Perfini lalu tampil sebagai figuran dalam produksi pertama mereka "Darah dan Doa". Rosihan juga menjadi salah satu pemeran yang "kebagian" beberapa kalimat dialog dalam film "Lagi-Lagi Krisis" (1955).
Dia juga menjadi juri Festival Film Indonesia. Buku "Reportase Wartawan Film" itu adalah catatannya saat meliput festival film internasional di berbagai kota di dunia dalam kurun waktu 1981-1994. Buku itu diterbitkan Pustaka ANTARA Utama.
Buku "Quartet" membuat dirinya bergelar "nabi pers Indonesia". Sebutan itu ditulis dalam prakata dari penerbit buku tersebut yaitu Yayasan Soedjatmoko dan Pusat Dokumentasi Politik (PDP) Guntur 49.
Buku itu dia tulis sebagai penghormatan untuk Tjan Tjoe Siem, Han Resink, Jack Abbott dan Soedjatmoko. Rosihan ingin menceritakan riwayat hidup yang menarik dari keempat sahabatnya itu dan menunjukkan pengalaman bersama mereka dalam "Brief Encounter", judul film Hollywood, yang berarti pertemuan singkat.
Ia juga berkehendak menampilkan peran sejumlah orang dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, termasuk Abbott, pedagang muda Amerika Serikat, yang membantu mengekspor produk Indonesia ke AS dan devisanya digunakan membiayai misi Sjahrir dan Agus Salim ke Dewan Keamanan PBB 1947.
Selain itu, ia juga ingin membuktikan tak hanya bisa menulis secara jurnalistik, tetapi juga memadukannya dengan unsur sastra, sehingga diperoleh semacam --pinjam istilah sastrawan Perancis Andre Malraux-- dokumentasi manusia.
Jurnalisme Pasar
Setelah reformasi bergulir tahun 1998, industri pers menjadi bisnis yang dibidik banyak kalangan seiring kemudahan mendirikan usaha tersebut. Namun bagi Rosihan, pers yang bebas bukanlah sesuatu yang sempurna dengan sendirinya. Muncul rintangan baru yang tak kalah berbahaya dibandingkan kontrol pemerintah. Nama rintangan tersebut adalah kapitalisme.
Rosihan menyayangkan lunturnya idealisme di kalangan pers dengan semakin banyaknya insan pers yang menerapkan "jurnalisme pasar" ketimbang "jurnalisme kewajiban".
"Jurnalisme pasar" yang dia maksud adalah kegiatan mencari, menulis dan menyajikan berita sesuai dengan kemauan media atau jurnalis itu sendiri. "Jurnalisme kewajiban" diartikannya sebagai pencarian dan penulisan berita-berita yang dibutuhkan masyarakat luas.
"Di Indonesia, media dan jurnalisnya sudah lebih banyak yang menganut 'jurnalisme pasar' itu ketimbang 'jurnalisme kewajiban'," tuturnya.
Dia mengatakan media massa sekarang terlalu memperhatikan pasar bebas dan kompetisi kapitalisme. "Media televisi hanya mengejar rating, sedangkan media massa cetak hanya mengejar profit atau keuntungan," kata Rosihan Anwar sekali waktu.
Menurut dia, di era kebebasan pers justru media massa seharusnya melakukan kontrol sosial dengan terus-menerus mengusung proses pemberantasan korupsi sampai selesai.
Ini petikan berita tentang Rosihan Anwar saat menjadi pembicara dalam suatu diskusi di Medan pada Januari 2004. Mungkin masih cocok untuk menggambarkan keadaan sekarang.
"Setelah lima tahun ternyata pers bebas itu tidak mampu menjalankan fungsi tradisionil dan historis yakni melindungi dan membela golongan lemah dan tertindas," kata Rosihan. Seminar nasional itu dihadiri Susilo Bambang Yudhoyono yang ketika itu adalah Menko Polkam.
Dia menyebutkan, pers dianggap sepi belaka, sekalipun telah mengeluarkan kritik sosial terhadap oknum, golongan, politisi yang melakukan korupsi, ketidak adilan dan lain-lain.
Pers kebanyakan berorientasi profit, berjiwa kapitalisme, dan jauh dari idealisme seperti pada pers wartawan zaman pergerakan nasional. "Sebagai pers kini cenderung mengumbar sensasionalime dan pornografi," kata Rosihan Anwar.
Tuduhan, atau lebih tepat peringatan dari Pak Ros tujuh tahun lalu, seharusnya mampu membuat dunia pers meninjau ulang arah yang mereka tempuh sekarang.
(A038)
Petuah Pak Ros untuk Jurnalis Muda
Oleh Aditia Maruli
17 April 2011 22:54 WIB
Petuah Pak Ros (FOTO ANTARA/Fanny Octavianus/Ardika)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011
Tags: