Jakarta (ANTARA) - Jaksa Agung Republik Indonesia Sanitiar Burhanuddin mengatakan bahwa, berdasarkan norma Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sanksi pidana mati tidak berlaku pada dana-dana untuk bencana non-alam.

“Di sinilah kita menemukan kelemahan regulasi yang harus diperbaiki, yaitu tentang korupsi dana-dana yang diperuntukkan bagi bencana non-alam, misalnya untuk penanggulangan pandemi COVID-19 seperti yang saat ini kita alami,” kata Sanitiar Burhanuddin ketika memberi pidato kunci dalam seminar bertajuk Efektivitas Penerapan Hukuman Mati terhadap Koruptor Kelas Kakap yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube Official Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, dipantau dari Jakarta, Kamis.

Dasar yuridis dalam menjatuhkan sanksi pidana mati untuk koruptor terdapat di Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang merumuskan bahwa dalam tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

“Dalam penjelasan pasal tersebut, yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi,” ujar dia.

Adapun yang dapat menjadi alasan pemberatan adalah apabila tindak pidana korupsi tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan juga terhadap penanggulangan tindak pidana korupsi.
Baca juga: KPK mengingatkan korupsi saat bencana dapat diancam hukuman mati


Pengertian bencana alam nasional, berdasarkan pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam, antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

Untuk dapat menjadi bencana alam nasional, maka harus ditetapkan statusnya oleh pemerintah pusat.

“Ke depan perlu dilakukan reformasi norma, yang mana frasa bencana alam nasional cukup dirumuskan menjadi bencana nasional,” ujarnya.

Pada sisi lain, frasa penanggulangan keadaan bahaya, Sanitiar melanjutkan, dapat ditemui dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi, serta dalam Perppu No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, yang mengategorikan tingkat bahaya menjadi keadaan darurat sipil, keadaan darurat militer, dan keadaan darurat perang.

“Melihat acuan dan penafsiran frasa keadaan bahaya masih menggunakan ketentuan tahun 1959, maka kiranya perlu dibuat regulasi terbaru,” kata Sanitiar.
Baca juga: Komisi Kejaksaan: Pidana mati koruptor bentuk politik hukum pidana
Baca juga: Pakar hukum: Hukuman mati merupakan peringatan bagi koruptor