Jakarta (ANTARA) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami persetujuan tersangka Bupati Hulu Sungai Utara Abdul Wahid (AW) menentukan para kontraktor yang mengerjakan berbagai proyek di Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.

KPK memeriksa 12 saksi untuk tersangka Abdul Wahid di Gedung Polres Hulu Sungai Utara, Rabu (24/11) dalam penyidikan kasus dugaan korupsi terkait pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Hulu Sungai Utara Tahun 2021-2022.

"Seluruh saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan persetujuan tersangka AW melalui tersangka MK (Maliki) dalam menentukan para kontraktor yang akan mengerjakan berbagai proyek di Kabupaten Hulu Sungai Utara dengan imbalan pemberian berupa "fee" proyek," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

Baca juga: KPK panggil empat PNS Pemkab Musi Banyuasin

Dua belas saksi, yaitu Sulaiman selaku kontraktor/pemilik CV Berkat Mulia, Dewi Septiani selaku Kasubag Kepegawaian RSUD Pambalah, Ratna Dewi Yanti selaku Konsultan Pengawas Rehabilitasi Jaringan Irigrasi DIR Banjang Desa Karias Dalam Kacamatan Banjang, mantan Plt Kepala BKPP Kabupaten Hulu Sungai Utara Heru Wahyuni, Dewi Yunianti selaku Dokter RSUD Pambalah Amuntai.

Kemudian, Yuli Hertawan dari Dinas Pertanian, Handi Rizali dari inspektorat, Muhammad Yusri dari BKD, Muhammad Rafiq dari Dinas Perindagkop, Jumadi dari Satpol PP, Danu Fotohena dari Dinas Kesehatan, dan Wahyu Dani selaku penanggung jawab PT Haida Sari, PT Sarana Bina Bersama, PT Harapan Cipta, CV Analisis, dan CV Ferina.

KPK telah menetapkan Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan suap dan gratifikasi.

Penetapan Abdul Wahid sebagai tersangka merupakan pengembangan dari kasus yang menjerat Maliki (MK) selaku Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, dan Pertanahan (PUPRP) Hulu Sungai Utara, Marhaini (MRH) dari pihak swasta/Direktur CV Hanamas, dan Fachriadi (FH) dari pihak swasta/Direktur CV Kalpataru.

KPK menduga pemberian komitmen bagian yang diduga diterima Abdul Wahid melalui Maliki, yaitu dari Marhaini dan Fachriadi dengan jumlah sekitar Rp500 juta.

Selain melalui perantaraan Maliki, Abdul Wahid juga diduga menerima komitmen bagian dari beberapa proyek lainnya melalui perantaraan beberapa pihak di Dinas PUPRP Kabupaten Hulu Sungai Utara, yaitu pada 2019 sekitar Rp4,6 miliar, pada 2020 sekitar Rp12 miliar, dan pada 2021 sekitar Rp1,8 miliar.

Selain itu, selama proses penyidikan berlangsung, tim penyidik telah mengamankan sejumlah uang dalam bentuk tunai dengan pecahan mata uang rupiah dan juga mata uang asing yang hingga saat ini masih terus dilakukan penghitungan jumlahnya.

Atas perbuatannya, Abdul Wahid disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 KUHP jo Pasal 65 KUHP.

Baca juga: KPK dalami penerimaan uang dari ASN kasus Bupati Hulu Sungai Utara
Baca juga: KPK panggil 12 saksi kasus Bupati Hulu Sungai Utara
Baca juga: KPK konfirmasi 16 saksi aliran dana kasus Bupati Hulu Sungai Utara