Cirebon (ANTARA News) - Suatu saat di zaman Sunan Gunungjati, ada kisah tentang tujuh orang yang mengalunkan azan bersamaan di Masjid Sang Cipta Rasa, Keraton Kasepuhan.

Begitu suara azan mendekati akhir, sang raja jin bernama Megananda terlontar dari atas "memolo" masjid disertai suara gelegar membahana.

Namun ledakan bom bunuh diri Jumat siang kemarin di Masjid Al-Dzikro Mapolresta Cirebon bukanlah upaya mengusir jin seperti terjadi di masa Sunan Gunung Jati itu, walaupun ledakannya juga terjadi persis saat imam salat Jumat mengumandangkan "allahhu akbar" pada "takbiratul ihram" saat salat barulah dimulai.

Ledakan itu melukai 28 orang, termasuk Kapolres Cirebon AKPB Herukoco dan sejumlah perwira yang seperti biasa bersalat Jumat di masjid itu.

Polisi belum bisa mengungkap pesan sang pembom bunuh diri itu, namun dari caranya berusaha mendekatkan diri ke Kapolresta Cirebon sebelum menekan pemicu bom menjelang mulainya saalat, pelaku dan mungkin jaringannya, tampaknya hendak menyatakan perang kepada polisi.

Polri sendiri selalu sukses mengungkap berbagai jaringan teroris yang membuat sel-sel lain dan berusaha mencari bentuk perlawanan baru, diantaranya lewat bom buku dan serangan langsung ke markas polisi yang kurang terjaga seperti terjadai terhadap Polsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara.

Bom bunuh diri di Cirebon itu menandai pola baru yang tidak lagi mengindahkan kesucian masjid dan kesucian ibadah umat Islam sehingga wajar serangan itu dikutuk sejumlah tokoh Islam, diantaranya Ketua GP Anshor Nusron Wahid yang menyebut aksi itu keji dan tindakan pengecut.

"Pemerintah harus bisa mengungkap aktor intelektual karena umat Islam juga terluka dengan serangan di dalam masjid ini apalagi terjadi saat tengah beribadah," kata Nusron.

Bukti tak terbantahkan

Pesan mereka jelas, yaitu menantang berperang dan sengaja mempermalukan keamanan di Indonesia dengan menyerang kantor polisi.

"Kantor polisi saja bisa diserang, bagaimana dengan tempat umum lainnya?" sambung Nusron.

Sementara mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi menengarai manuver di Cirebon itu dilakukan teroris lama yang mulai berani menyerang secara terbuka.

"Pelaku teror itu masih aktor lama. Sekarang mereka sudah berani terang-terangan, mereka menyerang secara terbuka," kata Hasyim di Jakarta, Jumat.

Menurut pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam Malang dan Depok itu, bom bunuh diri di masjid membuktikan terorisme tidak ada kaitannya dengan ajaran Islam karena mereka telah menjadikan simbol Islam sebagai target teror.

"Ini bukti yang tak terbantahkan bahwa terorisme tak identik dengan Islam dan ajaran Islam, karena mereka juga menghancurkan masjid dan aparat," kata Hasyim keras.

Ahmad Yani, anggota DPR dari PPP menimpali, selain mengganggu stabilitas bangsa, bom itu juga bisa memancing tindakan provokasi dan adu domba nasional. "Saya minta umat Islam tidak terpancing," imbaunya.

Anggota Komisi III itu meminta Kapolri secepatnya mengungkap kasus itu sehingga jaringan kelompok itu tidak lagi menteror bangsa ini.

"Kalau juga tidak bisa tuntas, ini menjadi cacatan kami bagi kinerja Kapolri," katanya.

Asumsi lebih maju disampaikan Ketua Badan Penanggulangan Teror Komjen Pol Arsyad Mbei yang menilai pelaku pemboman Masjid Ad Dzikra memiliki hubungan dengan pelaku bom buku. Namun, Arsyad enggan terburu-buru menunjuk salah satu kelompok itu.

Yang jelas, menurutnya, bom bunuh diri di Cirebon itu bukan hal baru di Indonesia, karena aksi serup pernah terjadi di Masjid Istiqlal tahun 1998 dan tahun 2000 di Masjid Agung Yogyakarta.

Sudah diingatkan

Ketua Komunitas Intelijen Daerah (Kominda) Jawa Barat Dede Yusuf mengaku sudah mengantongi nama-nama pelaku yang mempunyai kaitan dengan bom bunuh diri itu.

"Ini merupakan pemain-pemain lama yang targetnya adalah penyerang sistem keamanan negara. Mereka ingin membuktikan bisa menembus keamanan negara," klaim Dede.

Bagi sejumlah kalanga, Cirebon memang sudah dikenal sebagai daerah persembunyian sel-sel jaringan teror, terbukti dengan tertangkapnya beberapa pelaku teror di sebuah hotel di Cirebon tahun 2003, bahkan pelaku bom bunuh diri di Jimabaran Bali 2005 juga berasal dari Majalengka. Namanya Salik Firdaus (25).

Lima paket bom yang ternyata ikut dibawa dua tersangka pelaku pemboman hotel JW Marriott yang ditangkap di Cirebon, Rabu subuh, 29 Oktober 2003, diduga kuat akan diledakkan di sejumlah pusat perbelanjaan dan hotel berbintang di kota Cirebon.

Kemudian Iwan, warga Cibingbin, Kuningan, yang diduga kurir dana teror untuk jaringan Noordin M Top di Indonesia ditangkap Densus 88 pada 16 Agustus 2009.

Uniknya, Sultan Kasepuhan Pangeran Raja Arief Natadiningrat jauh-jauh hari sudah mengingatkan akan bahaya ancaman bom di Cirebon menyusul ditemukannya plastik kresek pada Jumat 26 Februari 2010 di dekat krapyak tempat salat Sultan Sepuh di Masjid Agung Keraton Kasepuhan. Setelah dibuka Tim Gegana, plastik itu memang berisi bom rakitan.

Oleh karena itu, pada 20 Desember 2010, Sultan berkirim surat kepada polisi untuk menanyakan penyidikan bom tersebut. Sultan juga memperingatkan ada ancaman bom di kota Cirebon.

Ia mengungkapkan, pada 14 Januari 2011, Kapolres Cirebon menjawab suratnya, dengan mengatakan bungkusan plastik hitam di krapyak itu berisi antara lain sebuah tiner, lima puluh butir petasan seukuran ibu jari yang disimpan di sebelah utara Masjid Agung Kasepuhan.

Kapolresta juga menjelaskan bahwa asal usul bahan peledak itu masih belum jelas, mengingat pelakunya belum ditemukan.

Pangeran Arief berasumsi, aksi bom bunuh diri kemarin memuat pesan bahwa teroris ingin membuktikan diri bahwa mereka mampu melancarkan perlawanan terhadap pemerintahan saat ini dengan menyerang langsung simbol keamanan negara.

"Ini membuktikan masih banyak teroris yang bersembunyi di kampung-kampung, dan tanggungjawab masyarakat juga untuk ikut memantau lingkungannya agar tidak disusupi pelaku terorisme," demikian Pangeran Arief.(*)

B013/T010