Gorontalo (ANTARA) - Tahun 2021 adalah tahun kedua perayaan Hari Maleo Sedunia. Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) Selatan Provinsi Sulawesi Utara menjadi tuan rumah Festival Maleo berkolaborasi dengan Wildlife Conservation Society (WCS) dan Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW).


Pada 21 November 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mencanangkan Hari Maleo Sedunia di Obyek Wisata Lombongo Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo.


Penetapan hari khusus untuk burung maleo (Macrocephalon maleo) itu merupakan upaya untuk mendorong upaya konservasi dan edukasi kepada masyarakat lebih meluas.


Sejumlah kegiatan yang digelar dalam Festival Maleo di Bolmong Selatan di antaranya webinar nasional, lomba foto satwa liar, dan pameran foto.


Dalam Webinar Hari Maleo Sedunia 2021 dengan tema “Inovasi Konservasi Burung Maleo Senkawor Di Luar Kawasan Konservasi” yang digelar pada 19 November 2021, Kepala Sub Direktorat Sumberdaya Genetik KLHK Mohamad Haryono mengatakan berdasarkan data kekinian, Indonesia memiliki keragaman jenis burung 1.605 dan 386 jenis diantaranya berstatus dilindungi.


Namun dalam data Burung Indonesia yang dikutip dari burung.org, hingga tahun 2021 Indonesia memiliki 1.812 jenis burung dan 179 jenis diantaranya terancam punah secara global. Terdapat 31 jenis burung dalam kategori kritis, 52 jenis berstatus genting atau terancam, dan 96 jenis rentan terhadap kepunahan. Sementara itu jumlah burung endemik di Indonesia tercatat sebanyak 532 jenis.


Dari ribuan jenis burung tersebut, Maleo merupakan salah satu jenis yang masuk dalam kategori genting dan merupakan burung endemik Pulau Sulawesi.


Haryono mengatakan pemerintah menetapkan Maleo sebagai jenis burung yang dilindungi dan diprioritaskan dalam upaya konservasi, namun perlu ada pendekatan-pendekatan baru dalam pengelolaannya.


“Upaya konservasi burung Maleo ini ke depan harus diintegrasikan dengan pembangunan daerah, khususnya untuk sebaran burung yang ada di luar kawasan konservasi. Dengan demikian keberadaan Maleo di alam dipandang sebagai aset pembangunan daerah. Itu pendekatan pertama,” ujarnya.


Pendekatan kedua, lanjutnya, yakni pengelolaan aset burung Maleo tersebut harus mendukung pembangunan dengan tanpa merusak habitat maupun populasi satwa tersebut.


“Selama ini kita hanya melulu melihat dari aspek konservasi dan biologinya, tetapi ini tidak bisa. Karena burung ini ada di alam dan di alam ada pembangunan, juga ada industri. Maleo ini dapat dikelola menjadi daya tarik wisatawan ke Pulau Sulawesi,” tambahnya.


Baca juga: Hari Maleo Sedunia dicanangkan di Bone Bolango

Baca juga: Menyelamatkan Burung Maleo dari kepunahan



Inovasi Konservasi

Sejauh ini, upaya-upaya pelestarian Maleo sebagian besar dilakukan di lokasi-lokasi yang termasuk dalam kawasan konservasi. Sebut saja situs peneluran Maleo di Hungayono, Muara Pusian, dan Tambun yang termasuk dalam TNBNW. Kemudian juga terdapat sejumlah habitat maleo yang masuk dalam Cagar Alam Panua di Provinsi Gorontalo, Suaka Margasatwa Pinjan Tanjung Matop Toli-Toli dan Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah.


Namun demikian, kegiatan konservasi Maleo di luar kawasan konservasi sejatinya telah dilakukan di sejumlah tempat misalnya di Tanjung Binerean Sulawesi Utara dan di Kabupaten Banggai Sulawesi Tengah.


Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Bitung Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Utara Yakub Ambagau, mengatakan dari data Birdlife International tahun 2001 sebaran Maleo terdapat pada 132 lokasi yang berada di dalam dan di luar kawasan konservasi di Pulau Sulawesi.


“Sebagian besar lokasi ini sudah mulai ditinggalkan Maleo, sehingga sangat berpotensi punah lokal,” ujarnya.


Menurut dia berdasarkan penelitian Antonio J. Gorog dkk, terjadi penurunan lokasi peneluran Maleo di Sulawesi Utara dari 36 lokasi pada tahun 2000 menjadi 18 lokasi tahun 2005.


“Pada waktu itu di sepanjang pantai Utara dari Maelang sampai perbatasan Gorontalo masih dijumpai banyak lokasi peneluran, tapi tahun 2005 tinggal dua lokasi. Sedangkan di pantai Selatan, kondisinya juga menurun dan salah satu yang masih bertahan adalah Tanjung Binerean,” ungkapnya.


Ia menyebut Tanjung Binerean yang terletak Bolmong Selatan, merupakan benteng pertahanan terakhir bagi Maleo di area pantai wilayah itu.


Menurut dia perlu penelitian lebih lanjut terkait sebaran populasi Maleo di kawasan itu, karena data tersebut hanya menggambarkan kondisi 16 tahun yang lalu.


Tanjung Binerean merupakan koridor hidupan liar dengan luas 3.384 hektare. Kawasan ini berbentuk memanjang mulai dari tepi pantai hingga ke batas kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW), dengan ketinggian berkisar dari 0 hingga 1.100 MDPL.


Sebagai upaya perlindungan Maleo di luar kawasan konservasi, sejak tahun 2017 pemerintah Kabupaten Bolmong Selatan bersama para pihak terkait mengusulkan Tanjung Binerean menjadi Kawasan Ekonomi Esensial (KEE).


Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2011, KEE adalah ekosistem karst, lahan basah (danau, sungai, rawa, payau, dan wilayah pasang surut yang tidak lebih dari enam meter), mangrove, dan gambut yang berada di luar Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).


Sedangkan ekosistem esensial merupakan ekosistem di luar kawasan konservasi, yang secara ekologis penting bagi konservasi keragaman hayati. Ekosistem ini mencakup ekosistem alami dan buatan, yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan.


Kabag Hukum Setda Bolmong Selatan Kadek Wijayanto, mengatakan pada tahun 2019 pihaknya membentuk forum kolaborasi pengelolaan KEE Koridor Hidupan Liar Tanjung Binerean melalui Keputusan Bupati Nomor 289 Tahun 2018, serta menyusun Perda Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penataan Kawasan Pengungsian Satwa.


Menurutnya KEE di kawasan itu bertujuan untuk pemanfaatan kawasan agrobisnis, pariwisata, habitat burung Maleo, perlindungan ekologi, dan aktivitas lain untuk mendukung kesejahteraan masyarakat.


Selain Tanjung Binerean, strategi pelestarian Maleo di luar kawasan konservasi juga dilakukan di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.


Aliansi Konservasi Tompotika (ALTO) adalah lembaga yang telah menginisiasi upaya konservasi Maleo di kawasan tersebut sejak tahun 2006.


ALTO menggunakan pendekatan koservasi tanpa intervensi manusia dan berbasis kerjasama dengan masyarakat lokal. Terdapat tiga titik wilayah kerja organisasi tersebut yakni Libuun dan Panganian di Desa Taima dan Kausomongi di Desa Toweer.


“Kami melibatkan masyarakat lokal dalam hal penjagaan, monitoring, dan patroli. Melalui pendekatan-pendekatan ini, akhirnya masyarakat lokal memutuskan untuk berhenti menggali telur Maleo,” kata Manager Program Lapangan ALTO, Panji Ariyo Kresno.


Ia mengungkapkan, sebelumnya masyarakat setempat memiliki jadwal bergilir untuk menggali telur Maleo untuk dijual maupun dikonsumsi.


ALTO juga aktif melakukan pendidikan konservasi dan penyadartahuan kepada masyarakat, mengenai pentingnya menjaga habitat dan keberadaan burung tersebut.


Ia menilai hutan di kawasan tersebut masih terjaga, sehingga koridor Maleo mulai dari pantai hingga hutan tidak terputus. Kondisi ini sangat mendukung dalam upaya pelestarian dan pertambahan populasi burung tersebut.


Berbeda dengan perlakuan telur Maleo di kawasan lainnya, ALTO tidak menggali telur dan memindahkannya ke dalam bangunan penetasan (hatchery) melainkan membiarkannya menetas secara alami di alam.


“Kami hanya melindungi area penelurannya dari perburuan telur. Untuk itu kami patroli bergilir setiap saat dengan masyarakat lokal,” imbuhnya.


Baca juga: Maleo Centre DSLNG berhasil tetaskan telur maleo di kawasan konservasi

Baca juga: Menpar lepaskan anak burung maleo di TNBNW



Informasi baru


Sebaran Maleo umumnya diketahui berada di Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tenggara. Sedangkan data mengenai Maleo di Sulawesi Selatan sangat minim, sehingga burung tersebut telah dianggap punah lokal di daerah itu.


Dosen Fakultas Kehutanan Universitas Andi Djemma Palopo Sulawesi Selatan Hadijah Azis mengungkapkan, pihaknya baru menerima informasi kehadiran Maleo di sekitar Danau Towuti Kabupaten Luwu Timur dalam beberapa tahun terakhir dan memutuskan melakukan penelitian.


“Menurut informasi masyarakat setempat, Maleo di Danau Towuti sudah ada sejak dulu tapi lama-lama hilang karena masifnya aktivitas masyarakat di situ. Maleo dianggap sama dengan ayam hutan dan telurnya diambil. Mereka tidak tahu kalau burung ini juga dilindungi,” urainya.


Hadijah bersama timnya kemudian melakukan penelitian tahun 2017-2018, untuk mendapatkan data tentang populasi dan perilaku Maleo di tepi Danau Towuti.


Dalam jurnalnya yang diterbitkan Gorontalo Journal Of Forestry tahun 2020, hasil penelitian tim ini memperoleh data populasi Maleo sebanyak dua individu setiap pengamatan, dengan kepadatan populasi 8,57 individu per hektare.


Pada pengamatan perilaku bertelur, ada lima perilaku burung Maleo selama berada di lokasi bertelur yakni menggali, bertelur, menutup lubang, serta membuat lubang tipuan.


Durasi bertelur burung tersebut juga diketahui selama satu hingga tiga jam.


Dengan hasil penelitian tersebut, Danau Towuti menjadi salah satu habitat “in situ” baru bagi Maleo di Sulawesi Selatan.


Hasil penelitian diharapkan bisa memberikan pengetahuan baru, sehingga pemerintah dan masyarakat setempat dapat bekerja sama untuk melindungi habitat Maleo di danau terbesar kedua di Indonesia itu.

Baca juga: Burung maleo di penangkaran sempat berhasil bertelur

Baca juga: Perburuan maleo di Taman Nasional Lore Lindu semakin berkurang