Telaah
Peng Shuai menguak upaya keras China mengendalikan narasi publik
Oleh Jafar M Sidik
22 November 2021 22:34 WIB
Arsip foto - Petenis China Peng Shuai saat bertanding dalam Olimpiade Beijing 2008 pada 11 Agustus 2008. Peng Shuai menjadi sorotan dunia setelah sempat hilang dari pandangan publik setelah mengeluarkan pengakuan menjadi korban serangan seksual seorang mantan pejabat teras China. ANTARA/REUTERS/Toby Melville/aa.
Jakarta (ANTARA) - Pada awal pandemi COVID-19 ketika dunia dibuat panik oleh virus corona dan saat bersamaan China malah menjadi kisah sukses bagaimana seharusnya mengendalikan pandemi, bagian terbesar dunia termasuk Barat terusik oleh anggapan bahwa demokrasi kalah efektif dari sistem otoriter.
Bagaimana tidak begitu, tatkala demokrasi liberal Barat kesulitan mengelola krisis akibat pandemi karena perbedaan pendapat yang membuat penanganan pandemi menjadi berlarut-larut, negara tertutup dan otoriter seperti China malah dengan mudah mengendalikan COVID-19.
China tak saja efektif memberlakukan lockdown yang super-keras, namun juga mengendalikan dengan sama kerasnya lalu lintas informasi yang bisa menimbulkan panik dengan cara meniadakan perbedaan pendapat.
Tak ada diskusi alot mengenai bagaimana negara mesti mengalokasikan anggaran guna membendung pandemi. Tak ada pula pergunjingan larut tak berkesudahan mengenai vaksin. Semua berjalan mulus di China, manakala bagian terbesar dunia kesulitan menyatukan pendapat dalam upaya membendung pandemi.
China mengendalikan arus informasi sampai bisa mengontrol narasi publik mengenai soal apa pun yang berkaitan dengan apa yang disebut stabilitas nasional.
Tapi alasan stabilitas nasional itu pula yang membuat China membungkam kritik terhadap rezim atau bagian dari rezim, sampai kritik pribadi terhadap bagian kekuasaan pun dianggap ancaman terhadap stabilitas nasional.
Ini pula yang sepertinya terjadi pada petenis putri China yang pernah menempati peringkat satu ganda putri di dunia, Peng Shuai.
Peng menghilang setelah memposting tudingan dalam media sosial Weibo pada 2 November bahwa dia korban serangan seksual mantan wakil perdana menteri Zhang Gaoli.
Peng mengaku bertahun-tahun menjalin hubungan di luar nikah dengan Zhang yang kini berusia 75 tahun tetapi sempat berhenti ketika Zhang dipromosikan Partai Komunis China.
Namun, tiga tahun silam Peng diundang Zhang untuk bermain tenis bersama di rumahnya. Di rumah Zhang ini Peng dipaksa berhubungan badan.
Peng menyadari dia tak memiliki bukti untuk menguatkan tuduhannya, namun postingannya di Weibo seketika raib setengah jam setelah diposting.
Komentar-komentar netizen kepada dirinya dihapus dari akun Weibo-nya. Bahkan, segala hal berkaitan dengan tenis di media sosial China, disensor demikian ketat.
Komunitas tenis, PBB dan sejumlah negara kemudian mempertanyakan keberadaan Peng, sampai Peng akhirnya muncul pada Minggu dalam panggilan video dengan Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Thomas Bach.
Peng juga mengaku baik-baik saja, namun meminta privasinya tak diusik dan berjanji segera memasuki lagi lapangan tenis profesional.
Sehari sebelum panggilan video itu, wartawan media pemerintah China memposting foto dan video yang memperlihatkan Peng tengah makan malam bersama dengan rekan-rekan dan pelatihnya.
Namun Asosiasi Tenis Putri (WTA) menyatakan semua hal itu belum cukup membuktikan Peng memang baik-baik saja. WTA mendesak insiden pelecehan seksual yang menimpa Peng ini diselidiki.
Baca juga: Peng Shuai hadiri aktivitas publik, kata kementerian luar negeri China
Baca juga: Video call dengan Presiden IOC, Peng Shuai mengaku aman dan sehat
Baca juga: Fakta Peng yang tuding dipaksa hubungan seks oleh eks pejabat China
Selanjutnya: Kecenderungan baru
Kecenderungan baru
Keberanian Peng ini menyiratkan ada kecenderungan baru yang tengah terjadi di China dalam kaitannya dengan cara mengutarakan pendapat.
Kemakmuran yang dicapai China sampai menjadi kekuatan ekonomi nomor dua di dunia setelah Amerika Serikat telah membuat rakyatnya semakin sejahtera yang kemudian mendorong mereka memiliki kesempatan pergi ke mana saja dan memiliki apa saja, termasuk berinteraksi dengan nilai dan kultur baru, termasuk budaya berpendapat di muka umum.
Untuk sebagian warga negara itu, interaksi dengan nilai dan kultur berbeda ini yang ditambah dengan media sosial yang membuat orang bebas menyampaikan pendapat sekalipun ada sensor, membuat mereka menjadi berani mengutarakan pendapat, bahkan mengkritik penguasa.
Di antara yang melakukan hal ini adalah miliarder pendiri Alibaba Group, Jack Ma, yang seperti Peng sempat hilang tak lama setelah mengkritik pemerintah China.
Pada 24 Oktober 2020, berbicara dalam sebuah forum bisnis di Shanghai, Jack Ma berkata, "sistem keuangan saat ini adalah peninggalan Era Industri. Kita harus membuat yang baru demi generasi mendatang dan kaum muda. Kita mesti mereformasi sistem yang ada saat ini."
Tak lama setelah itu Jack Ma menghilang, sementara kerajaan bisnisnya, Ant Group, digelandang pihak berwenang, sampai rencana go public senilai 37 miliar dolar AS pun batal.
Tindakan lebih keras diterapkan kepada sejumlah pengkritik rezim dan juga pribadi Presiden China Xi Jinping, salah satunya usahawan properti terkemuka Ren Zhiqiang.
Ren divonis penjara 14 tahun September tahun lalu atas dakwaan penggelapan dana masyarakat dan suap yang total senilai 2,9 juta dolar AS.
Dakwaan ini diragukan sebagian kalangan, termasuk dunia internasional, sebaliknya mereka beranggapan karena Ren acap mengkritik Xi Jin Ping-lah yang membuat tokoh ini dihukum.
Tokoh-tokoh lain seperti Cai Xia, profesor perempuan yang mengajar di kampus elite Central Party School, tempat kader-kader PKC digembleng, bahkan terpaksa mengasingkan diri ke luar negeri.
Cai menuding terjadi pembusukan PKC dari dalam tubuh partai oleh penumpukan kekuasaan yang dilakukan Xi yang memang mengisi posisi-posisi terpenting, mulai sekretaris jenderal Partai Komunis China (PKC) sampai Presiden China dan kini cenderung berkuasa seumur hidup dengan cara mengubah aturan masa berkuasa menjadi lebih dari dua periode.
Untuk melawan kritik, Xi menempuh serangkaian langkah yang di antaranya mengawasi ketat media sosial lewat undang-undang pengawasan media sosial pada 2018 yang dilembagakan dalam bentuk Badan Ruang Siber China (CAC).
Namun, akumulasi kekuasaan semacam ini bisa membuat Xi malah makin lekat mengasosiasikan diri dengan stabilitas nasional yang pada akhirnya membungkam perbedaan pendapat, sekalipun negara sentralistis seperti China memang tak terbiasa dengan perbedaan pendapat.
Masalahnya, dengan kian makmurnya China, penduduk pun kian sejahtera dan semakin melek dan ini membuat penduduk menjadi memiliki kesempatan luas dalam mengenal untuk kemudian berinteraksi dengan nilai, budaya dan realitas di luar China, termasuk budaya berpendapat di ruang publik.
Dan transaksi nilai dan budaya lintas batas seperti ini terlalu sulit dikendalikan oleh UU siber sekalipun, kecuali China menutup diri yang mustahil terjadi mengingat proyeksi pengaruh dan kekuatan China sudah demikian jauh melewati batas-batas teritorialnya.
Baca juga: WTA ancam batalkan turnamen di China akibat kasus Peng Shuai
Baca juga: Djokovic sebut situasi Peng mengerikan, tenis harus bersatu
Bagaimana tidak begitu, tatkala demokrasi liberal Barat kesulitan mengelola krisis akibat pandemi karena perbedaan pendapat yang membuat penanganan pandemi menjadi berlarut-larut, negara tertutup dan otoriter seperti China malah dengan mudah mengendalikan COVID-19.
China tak saja efektif memberlakukan lockdown yang super-keras, namun juga mengendalikan dengan sama kerasnya lalu lintas informasi yang bisa menimbulkan panik dengan cara meniadakan perbedaan pendapat.
Tak ada diskusi alot mengenai bagaimana negara mesti mengalokasikan anggaran guna membendung pandemi. Tak ada pula pergunjingan larut tak berkesudahan mengenai vaksin. Semua berjalan mulus di China, manakala bagian terbesar dunia kesulitan menyatukan pendapat dalam upaya membendung pandemi.
China mengendalikan arus informasi sampai bisa mengontrol narasi publik mengenai soal apa pun yang berkaitan dengan apa yang disebut stabilitas nasional.
Tapi alasan stabilitas nasional itu pula yang membuat China membungkam kritik terhadap rezim atau bagian dari rezim, sampai kritik pribadi terhadap bagian kekuasaan pun dianggap ancaman terhadap stabilitas nasional.
Ini pula yang sepertinya terjadi pada petenis putri China yang pernah menempati peringkat satu ganda putri di dunia, Peng Shuai.
Peng menghilang setelah memposting tudingan dalam media sosial Weibo pada 2 November bahwa dia korban serangan seksual mantan wakil perdana menteri Zhang Gaoli.
Peng mengaku bertahun-tahun menjalin hubungan di luar nikah dengan Zhang yang kini berusia 75 tahun tetapi sempat berhenti ketika Zhang dipromosikan Partai Komunis China.
Namun, tiga tahun silam Peng diundang Zhang untuk bermain tenis bersama di rumahnya. Di rumah Zhang ini Peng dipaksa berhubungan badan.
Peng menyadari dia tak memiliki bukti untuk menguatkan tuduhannya, namun postingannya di Weibo seketika raib setengah jam setelah diposting.
Komentar-komentar netizen kepada dirinya dihapus dari akun Weibo-nya. Bahkan, segala hal berkaitan dengan tenis di media sosial China, disensor demikian ketat.
Komunitas tenis, PBB dan sejumlah negara kemudian mempertanyakan keberadaan Peng, sampai Peng akhirnya muncul pada Minggu dalam panggilan video dengan Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Thomas Bach.
Peng juga mengaku baik-baik saja, namun meminta privasinya tak diusik dan berjanji segera memasuki lagi lapangan tenis profesional.
Sehari sebelum panggilan video itu, wartawan media pemerintah China memposting foto dan video yang memperlihatkan Peng tengah makan malam bersama dengan rekan-rekan dan pelatihnya.
Namun Asosiasi Tenis Putri (WTA) menyatakan semua hal itu belum cukup membuktikan Peng memang baik-baik saja. WTA mendesak insiden pelecehan seksual yang menimpa Peng ini diselidiki.
Baca juga: Peng Shuai hadiri aktivitas publik, kata kementerian luar negeri China
Baca juga: Video call dengan Presiden IOC, Peng Shuai mengaku aman dan sehat
Baca juga: Fakta Peng yang tuding dipaksa hubungan seks oleh eks pejabat China
Selanjutnya: Kecenderungan baru
Kecenderungan baru
Keberanian Peng ini menyiratkan ada kecenderungan baru yang tengah terjadi di China dalam kaitannya dengan cara mengutarakan pendapat.
Kemakmuran yang dicapai China sampai menjadi kekuatan ekonomi nomor dua di dunia setelah Amerika Serikat telah membuat rakyatnya semakin sejahtera yang kemudian mendorong mereka memiliki kesempatan pergi ke mana saja dan memiliki apa saja, termasuk berinteraksi dengan nilai dan kultur baru, termasuk budaya berpendapat di muka umum.
Untuk sebagian warga negara itu, interaksi dengan nilai dan kultur berbeda ini yang ditambah dengan media sosial yang membuat orang bebas menyampaikan pendapat sekalipun ada sensor, membuat mereka menjadi berani mengutarakan pendapat, bahkan mengkritik penguasa.
Di antara yang melakukan hal ini adalah miliarder pendiri Alibaba Group, Jack Ma, yang seperti Peng sempat hilang tak lama setelah mengkritik pemerintah China.
Pada 24 Oktober 2020, berbicara dalam sebuah forum bisnis di Shanghai, Jack Ma berkata, "sistem keuangan saat ini adalah peninggalan Era Industri. Kita harus membuat yang baru demi generasi mendatang dan kaum muda. Kita mesti mereformasi sistem yang ada saat ini."
Tak lama setelah itu Jack Ma menghilang, sementara kerajaan bisnisnya, Ant Group, digelandang pihak berwenang, sampai rencana go public senilai 37 miliar dolar AS pun batal.
Tindakan lebih keras diterapkan kepada sejumlah pengkritik rezim dan juga pribadi Presiden China Xi Jinping, salah satunya usahawan properti terkemuka Ren Zhiqiang.
Ren divonis penjara 14 tahun September tahun lalu atas dakwaan penggelapan dana masyarakat dan suap yang total senilai 2,9 juta dolar AS.
Dakwaan ini diragukan sebagian kalangan, termasuk dunia internasional, sebaliknya mereka beranggapan karena Ren acap mengkritik Xi Jin Ping-lah yang membuat tokoh ini dihukum.
Tokoh-tokoh lain seperti Cai Xia, profesor perempuan yang mengajar di kampus elite Central Party School, tempat kader-kader PKC digembleng, bahkan terpaksa mengasingkan diri ke luar negeri.
Cai menuding terjadi pembusukan PKC dari dalam tubuh partai oleh penumpukan kekuasaan yang dilakukan Xi yang memang mengisi posisi-posisi terpenting, mulai sekretaris jenderal Partai Komunis China (PKC) sampai Presiden China dan kini cenderung berkuasa seumur hidup dengan cara mengubah aturan masa berkuasa menjadi lebih dari dua periode.
Untuk melawan kritik, Xi menempuh serangkaian langkah yang di antaranya mengawasi ketat media sosial lewat undang-undang pengawasan media sosial pada 2018 yang dilembagakan dalam bentuk Badan Ruang Siber China (CAC).
Namun, akumulasi kekuasaan semacam ini bisa membuat Xi malah makin lekat mengasosiasikan diri dengan stabilitas nasional yang pada akhirnya membungkam perbedaan pendapat, sekalipun negara sentralistis seperti China memang tak terbiasa dengan perbedaan pendapat.
Masalahnya, dengan kian makmurnya China, penduduk pun kian sejahtera dan semakin melek dan ini membuat penduduk menjadi memiliki kesempatan luas dalam mengenal untuk kemudian berinteraksi dengan nilai, budaya dan realitas di luar China, termasuk budaya berpendapat di ruang publik.
Dan transaksi nilai dan budaya lintas batas seperti ini terlalu sulit dikendalikan oleh UU siber sekalipun, kecuali China menutup diri yang mustahil terjadi mengingat proyeksi pengaruh dan kekuatan China sudah demikian jauh melewati batas-batas teritorialnya.
Baca juga: WTA ancam batalkan turnamen di China akibat kasus Peng Shuai
Baca juga: Djokovic sebut situasi Peng mengerikan, tenis harus bersatu
Copyright © ANTARA 2021
Tags: