Jakarta (ANTARA News) - PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II menilai UU No.17/2008 tentang Pelayaran mestinya direvisi dan tetap memposisikan badan usaha milik negara bidang pelabuhan itu sebagai operator pelabuhan.

"Mestinya direvisi karena spiritnya benar, tetapi implementasinya malah jauh dari nilai kompetisi, Pelindo malah bisa jadi monopoli," kata Dirut PT Pelindo II, R.J. Lino, dalam "Maritim Talk" di Wisma ANTARA di Jakarta, Selasa.

Dalam diskusi bertajuk "Tantangan dan Peluang Bisnis Kepelabuhanan Pasca Pemberlakuan UU No 17/2008 tentang Pelayaran" yang diselenggarakan Perum LKBN ANTARA dan Namarin, Lino mengatakan bahwa semangat untuk memisahkan regulator dan operator bagus, tetapi ternyata implementasinya malah menjadikan Pelindo II bisa menjadi operator biasa.

"Dulu, Pelindo swasta bisa masuk dan kerja sama dengan Pelindo, kini UU No 17/2008 malah menjadikan Pelindo tak perlu ajak swasta. Artinya, Pelindo II kini bisa jadi monopoli," katanya.

Menurut Lino, silahkan saja fungsi regulator diambil, tetapi fungsi bisnis di pelabuhan tetap bisa kompetitif. "Fungsi Pelindo II sebagai `land lord` bisa saja diambil, tetapi fungsi sebagai port operator mestinya dipertahankan, selesai !," katanya.

Lino mengatakan, saat ini fungsi `land lord` tersebut akan diambilalih oleh Otoritas Pelabuhan (OP), sementara organ di dalam OP selama ini adalah birokrasi dan tak punya pengalaman bisnis.

"Mestinya OP ini diserahkan ke Pelindo II sehingga kesannya adalah makin memperkuat posisi dan membesarkan Pelindo, bukan sebaliknya, sementara fungsi pengaturan dan pengawasan tetap di tangan pemerintah," katanya.

Sebelumnya, pemerintah melalui amanat presiden sudah pernah berniat melakukan revisi atas UU No 17/2008 tentang Pelayaran, tetapi hal itu urung dilakukan karena ditolak Komisi V DPR.

Hasil kesepakatan pemerintah dan Komisi V DPR ternyata hanya merevisi salah satu Peraturan Pemerintah dari UU No 17/2008 itu, khususnya terkait kapal khusus untuk keperluan minyak dan gas di lepas pantai.

Menanggapi hal itu, Direktur The National Maritim Institute (Namarin) Siswanto Rusdi usai acara itu kepada pers mengatakan, pihaknya juga berniat melakukan gugatan uji materil UU No 17/2008 tentang Pelayaran ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Dalam bulan ini, kami akan mendaftarkan gugatannya ke MK," katanya.

Siswanto mengatakan, gugatan akan dialamatkan ke sejumlah pasal krusial dalam UU itu, khususnya terkait dengan OP. "OP ini adalah jelmaan Badan Pengatur dan Pengelola Pelabuhan (BPPP) dulu ketika Pelindo belum berada dalam naungan kementerian BUMN," katanya.

Melalui, OP ini, Kementerian Perhubungan berniat melakukan liberalisasi yang dibungkus dengan koridor hukum. "Mestinya PT Pelindo sebagai BUMN diproteksi untuk dibuat menjadi lebih besar, bukan malah sebaliknya. Jika Pelindo sama dengan Badan Usaha Pelabuhan (BUP) lainnya, lalu ada swasta BUP asing yang kuat, habis Pelindo," katanya.

Siswanto menekankan, di dunia mana pun yang namanya BUMN mendapatkan perlakuan khusus dari pemerintahnya.

Evaluasi Aset

Hal yang aneh di sekitar persoalan OP, kata Siswanto, adalah amanat UU No 17/2008 tentang revaluasi aset PT Pelindo sampai saat ini belum tuntas, tetapi OP sudah mengklaim.

"Sebelum 7 Mei, revaluasi aset mestinya sudah selesai, ternyata sampai sekarang belum jelas," katanya.

Sementara itu, tegasnya, Kementerian Perhubungan sudah melakukan klaim aset yang dikelola PT Pelindo sebagai asetnya. "Ini akan menimbulkan carut marut di lapangan dan menimbulkan ketidakpastian usaha di sektor kepelabuhanan, selama revaluasi aset belum dilakukan," katanya.

Ia mencontohkan, praktik asal klaim oleh OP sudah terjadi atas Terminal Zamrud di Tanjung Perak Surabaya yang nota bene aset PT Pelindo III beberapa bulan lalu.

"Lalu OP menyerahkannya kepada PT Pelabuhan Jatim I (BUMD Jatim) yang juga berfungsi sebagai Badan Usaha Pelabuhan (BUP)," katanya.

Tidak hanya itu, OP Pelabuhan Tanjung Priok sudah berancang-ancang mengambil alih stok tender Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat (APBMI).

"Padahal, stok tender itu selama ini adalah aset PT Pelindo II," kata Siswanto.

(E008/S004/S026)