Jakarta (ANTARA News) - Kesan modern dan futuristik tidak hanya terlihat dari modelnya tapi juga sky bridge di puncaknya. Sepintas maket gedung berbentuk U terbalik berlantai 36 itu memang seperti hotel bintang lima.




Siapa sangka itu gedung wakil rakyat di negara yang pendapatan perkapitanya pada 2010 mencapai 2.963 dolar AS itu atau posisi 109, masih dibawah Fiji, apalagi dibanding Malaysia dan Thailand.




Gedung yang dari rancangannya sudah terlihat amat mewah itu akan menjadi tempat kerja para anggota dewan untuk beberapa tahun mendatang.




Kontroversi kemudian menyelimuti rencana pembangunannya. Banyak kalangan yang menentangnya, tak terkecuali dari wakil-wakil rakyat sendiri. Empat fraksi --Gerindra, PDIP, Hanura dan PAN-- bahkan telah menolaknya.




Lalu bagaimana sih pandangan rakyat sendiri mengenai soal ini?




Sepekan lalu, ANTARA News menemui masyarakat dari berbagai kalangan untuk mendapatkan pandangan mereka atas rancangan pembangunan gedung baru tersebut. Asumsi kami, mereka kan rakyat, dan yang di sana itu wakil rakyat. Sederhananya, kami ingin mendapatkan kesesuaian suara antara rakyat dan wakilnya.




Beberapa yang kami temui menanggapi kritis rencana. Beberapa lainnya bahkan menolaknya. Tetapi, ada yang sama sekali enggan mengomentarinya. "Malas ah...nggak pernah didengar!" kata salah seorang dari mereka.




Boim Wong (31), tukang ojek, mengaku tak pernah mendengar dan mengetahui rancangan gedung baru DPR tersebut.




Namun dia tahu gedung baru DPR itu akan menghabiskan dana negara RP1,2 triliun. Boim, seperti kebanyakan masyarakat sekalangannya, mengusulkan uang itu digunakan untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia.




"Emang DPR nggak ada urusan lain selain membangun gedung baru ya?" katanya kepada kami di sebuah sudut di mana dia biasa mangkal.




Boim masih mau diajak berpendapat, tapin Muhammad Surip (46) yang sehari-hari menjual makanan rempeyek guna menyambung hidup, sama sekali tidak peduli. Pokoknya, tidak ingin tahu apa yang terjadi dengan politikus senayan, katanya.




"Saya tidak tahu apa-apa, ngapain mikirin kerja DPR, kita sendiri masih gini-gini aja, mendingan jualan," katanya, saat kami temui di satu kompleks jajanan sampil Hotel Sari Pan Pasific, Jakarta.




Tidak hanya Surip, Ayu Asfandiani (22), karyawan Pusat Perbelanjaan Sarinah juga mengaku belum pernah mendengar rencana DPR itu. Dia bahkan tidak tahu seperti apa bentuk gedung DPR yang baru itu, gedung yang justru menjadi tempat aspirasinya disampaikan wakil-wakilnya.




"Saya tidak tahu berita itu," katanya.




Tapi begitu mengetahui setriliun rupiah lebih uang akan dipakai untuk gedung itu, Ayu terperanjat dan serta merta dia menolaknya.




"Tidak setuju, titik! Mending tuh uang buat rakyat saja, bukankah rakyat kita masih pada miskin?" katanya, tepat menunjuk sejumlah pengemis yang ngumpul di satu sudut dekat Sarinah.




Sangat pesimis




Aneh memang. Banyak sekali yang tidak mengetahui gedung baru itu, padahal itu kan bakal menjadi gedung wakil rakyat. Dan mereka itu rakyat.




Tapi banyak juga yang tahu, dan mengikuti perkembangan. Salah satunya, Dadang Zaenal (44), pegawai Telkom Indonesia di Jalan Merdeka Selatan.




"Jika uangnya ada dan tidak mendesak dengan kebutuhan lainnya, ya sah-sah saja, lagipula gedung itu tidak untuk satu atau dua tahun.




Tapi, sambungnya, "Jika uang itu diperlukan untuk kebutuhan lain yang mendesak, maka rencana harus dong ditinjau ulang."




Dadang juga meminta para anggota dewan untuk lebih mendengar, mementingkan dan mengedepankan kepentingan rakyat. Dia bahkan menagih upaya DPR dalam menjelaskan akhir kasus Century yang dinilainya menguap entah ke mana.




"Kinerja DPR belum sesuai dengan harapan kami," katanya.




Dedy Sofyan (27), seorang pencari kerja dari Bekasi Timur, juga berpandangan sejurus dengan Dadang. Tapi dia sangat pesimis suara-suara rakyat seperti dirinya akan didengar wakil-wakil rakyat.




"Emang jika saya berkoar-koar gedungnya batal? Tentu tidak kan? Uang sudah ada, tanah sudah ada, tinggal apa lagi coba?" katanya.




ANTARA News juga menemui beberapa aktivis mahasiswa dari Badan Ekesekutif Mahasiswa se-Indonesia yang sedang berdemonstrasi di Bundaran Hotel, Indonesia.




Miftahuddin (23), mahasiswa Universitas Borobudur, mengaku mengatakan dia telah mengetahui rencana tersebut, namun dia menolak keras penggunaan dana Rp1,2 triliun untuk pembangunan gedung baru itu.




Dia mengkhawatirkan dana sebesar itu rawan dikorupsi, apalagi DPR belum bisa melepaskan diri dari citra lembaga yang korup. Miftahuddin menunjuk beberapa anggota DPR yang diciduk aparat hukum, termasuk KPK, sebagai indikator klaimnya itu.




Miftahuddin terbilang masih moderat, tetapi Lendi Oktapriadi, Ketua BEM Se-Indonesia, mengutarakan pandangan yang sangat keras.




Perhatikan, kata dia, rakyat diwakilkan DPR, perkataan DPR adalah perkataan rakyat. Jadi, katanya, jangan mengabaikan suara rakyat.




"Nggak usah tanya rakyat, anggotanya sendiri masih ada yang tidak setuju," sambung Lendi.




Soal Desain




Bukan hanya anggaran, rakyat biasa juga mengkritik desain gedung yang disebut mereka tidak mencerminkan filosofi keindonesiaan.




"Nggak kreatif, memang tidak ada model lain?" kata Dadang.




Sketsa gedung baru DPR itu memang hampir sama dengan gedung parlemen Chile, Congreso Nacional di Valparaiso. Ada juga yang menyamakannya dengan Monumen Arche de la Défense di Prancis.




Arsitek gedung baru DPR, Budi Asdar Sukada, langsung membantah klaim-klaim itu.




"Kami mengambil U terbalik itu dengan mengambil filosofi gerbang. Ini melambangkan DPR sebagai gerbang aspirasi rakyat menuju masa depan yang lebih baik," katanya seperti dikutip Tempointeraktif.




Tetapi masyarakat tetap memandangnya lain.




Maga Pagiling (42), warga Toraja, Sulawesi Selatan yang sedang berada di Jakarta, menyayangkan desain yang terlalu mengedepankan sisi modern, tanpa mengedepankan sisi Indonesia.




"Saya tidak melihat corak bangunan Indonesia, bukankah Indonesia memiliki banyak rumah suku," kata lelaki yang mengaku pegawai swasta ini.




Dia kecewa karena gedung baru DPR yang notabene "rumah rakyat" malah tidak memiliki bentuk, corak dan pilar gedung yang sesuai dengan gaya Indonesia.




"Satupun tidak ada yang nyantol," katanya.




Penilaian sama disampaikan Firman Maulana (28), penjaga keamaman di Hotel Indonesia. Dia mengaku heran gedung baru DPR itu tidak membawa unsur-unsur etnik Indonesia.




"Mengapa tidak membuat seperti candi?" katanya.




Dia berasa lucu saat mendapat informasi bahwa gedung baru itu akan dilengkapi kolam renang. "Nggak salah tuh bang? Itu kantor atau waterboom? ha ha ha," katanya.




Firman menyambung, "Terlepas itu semua, gedung itu nggak ada taste-nya." Taste artinya "cita rasa." Kalimat yang sederhana, tapi amat menggelitik. (*)